PENGEMBANGAN BATIK DI KERATON CIREBON
1. Deskripsi Cirebon, Keraton, dan Kitarannya
Cirebon dengan letak geografisnya di daerah pesisir pantai Pulau Jawa, tentu saja termasuk ke dalam mata rantai perdagangan internasional (Jalur Sutera) pada masa itu. Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada 1415 M armada Angkatan Laut Cina singgah di Cirebon dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam.
Selain pelayaran oleh Laksamana Cheng Ho, banyak lagi pelayaran yang dilakukan oleh pedagang Cina dan juga Kekaisaran Cina, termasuk pelayaran Putri Ong Tin yang menikah dengan Sunan Gunung Jati pada tahun 1481.
Bahwa Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan oleh Tomé Pires pada tahun 1513 M. Mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Krian (kini dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Catatan Tomé Pires menunjukkan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang besar dan ramai, jauh lebih ramai dari pelabuhan Demak. Hal tersebut diukur berdasarkan kemampuannya untuk dilayari jenis perahu junk. Pelabuhan Cirebon didukung dengan adanya Sungai Bondet yang dapat dilayari oleh perahu junk sejauh 9 mil (Corteaso, 1967 :183,186).
Kota Cirebon adalah salah satu kota di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang terletak di bagian ujung timur laut Jawa. Selain merupakan pusat kegiatan pemerintah, sosial politik, pendidikan, dan kebudayaan, juga merupakan pusat kegiatan perekonomian yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan daerah ini sebagai daerah tujuan wisata, perdagangan, pelabuhan, dan industri.
Wilayah Cirebon pada masa pemerintahan kolonial terdiri dari Kota Cirebon, dengan empat kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Kota Cirebon terletak pada lintas 108 33, BT 6 41 LS dan terbentang pada suatu dataran rendah sepanjang 7 km dari pantai utara ke arah timur laut dari Jawa Barat dengan panjang rata-rata 5 km.
Wilayah kota Cirebon dibatasi oleh:
– sebelah utara / barat laut : Sungai Kedung Pane
– sebelah barat : Sungai Banjir Kanal / Kab. DT. II Cirebon
– sebelah selatan : Sungai Kalijaga
– sebelah timur : Laut Jawa
Luas Kota Cirebon hanya mencapai 37,36 km2. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat jumlah penduduk 272.263 jiwa dari lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Kejaksan, Kecamatan Kesambi, Kecamatan Lemahwungkuk, Kecamatan Harjamukti, dan Kecamatan Pekalipan. Selain dari kalangan pribumi, di Kota Cirebon terdapat sejumlah orang asing atau pendatang yang pernah atau masih menetap sampai sekarang. Mereka terdiri dari orang Eropa, Cina, dan Timur Asia lain. Dalam kelompok orang Eropa yang paling banyak jumlahnya adalah Belanda, sedangkan pada kelompok Timur Asing jumlah pendatang terbanyak berasal dari Cina dan Arab. Selain kelompok etnis Cina, sesudah Indonesia merdeka peran orang-orang Eropa dapat dikatakan tidak lagi berarti. Bahkan, secara berangsur-angsur mereka pulang ke negaranya. Sementara orang Arab dan Cina berhasil mengintegrasikan diri dalam masyarakat Cirebon, dan karena kesamaan keyakinan bagi orang Arab, mereka tidak dipandang sebagai orang asing lagi. Sebagian dari pendatang tersebut tinggal dan berbaur dengan masyarakat pribumi, sedangkan yang lainnya hidup dengan kelompoknya masing-masing dan terkonsentrasi pada suatu daerah. Salah satu perkampungan Arab di wilayah kota adalah daerah Panjunan dan Pecinan di daerah Karanggetas, Pasuketan, dan Pekiringan. Para pendatang tersebut berperan penting dalam menggerakkan sektor perdagangan kota Cirebon.
Dalam perjalanan sejarah Kota Cirebon telah mengalami beberapa kali pergantian status pemerintahan. Mula-mula menjadi pusat kerajaan Cirebon, kemudian berlanjut pada masa pendudukan Belanda sebagai ibu kota Karesidenan, ibu kota kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota distrik. Bahkan pada tahun 1906 daerah Kota Cirebon dijadikan sebagai gemeente (kotapraja). Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Cirebon juga sekaligus merupakan jalur lalu-lintas perekonomian antara Jawa Barat, DKI Jakarta, serta Jawa Tengah, tidak heran jika Cirebon berkembang sebagai kota pelabuhan, perdagangan, industri, dan budaya di Jawa Barat. Sementara itu berdasarkan pembagian wilayah pemerintahan, Cirebon dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon.
Kota Cirebon memiliki empat buah bangunan keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kaprabonan, dan Keraton Kacirebonan. Kompleks bangunan keraton di Cirebon dipisahkan dengan bangunan lainnya. Pemisahan bangunan keraton biasanya dengan tembok keliling, parit atau sungai buatan, dan sungai alamiah.
Keraton Kasepuhan yang dibangun pada zaman Mbah Kuwu Cerbon (Pangeran Cakrabuana) dan Syekh Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), merupakan kelanjutan atau perkembangan dari Keraton Pakungwati yang dibatasi oleh tembok, juga Sungai Sipadu dan Sungai Kriyan. Letak Keraton Kasepuhan memanjang dari utara ke selatan, didirikan pada sebidang tanah seluas kurang lebih 64.000 meter persegi. Secara administratif Keraton Kasepuhan berada di Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, tepatnya pada koordinat 06 43. 559 Lintang Selatan dan 108 34. 244 Bujur Timur.
Lokasi Keraton Kanoman terletak di Jalan Lemahwungkuk sebelah timur, Jalan Pulasaren sebelah selatan, yang tepatnya berada di jalan Winaon, kampung Kanoman, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk. Keraton Kanoman ini berada pada dataran pantai tepat pada koordinat 06 43. 15,8 Lintang Selatan dan 108 34. 12,4 Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, dan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Tata letak Keraton Kanoman memanjang dari utara ke selatan dan menempati tanah seluas kurang lebih 20.000 meter persegi, sedangkan Keraton Kacirebonan yang dibangun pada tahun 1814 M ini memanjang dari utara ke selatan di atas tanah seluas kurang lebih 18.000 meter persegi.
Keraton Kacirebonan terletak di tengah-tengah kota yang tepatnya di Jalan Pulasaren No. 48. Kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan. Tempat tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan umum angkutan kota (angkot). Untuk memasuki Keraton Kacirebonan pengunjung hanya dapat berjalan kaki melewati alun-alun Keraton Kacirebonan, dan kondisi sekitarnya terdapat toko dan gedung. Jarak Keraton Kacirebonan dari kantor pusat Pemerintahan (Walikota) Cirebon diperkirakan 3 km.
Keraton Kacirebonan merupakan keraton termuda dan terkecil di Cirebon. Tetapi walaupun secara fisik merupakan keraton terkecil di Cirebon, namun di dalamnya terdapat berbagai kekayaan budaya.
2. Sejarah Batik di Kota Cirebon
Sebelum kita membahas sejarah batik Cirebon, kita terlebih dahulu membahas tentang sejarah Keraton Cirebon yang mejadi inspirasi motif batik Cirebon. Pada zaman dahulu, sejarah sering dipertukarkan dengan silsilah. Dari silsilah tersebut seseorang dapat memperoleh legitimasi untuk meraih kekuasaannya secara turun-temurun dari pendahulunya. Namun sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah secara umum, yaitu kejadian atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi pada masa lampau yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat.
Berbicara tentang sejarah Cirebon, kita seolah masuk ke dalam hutan belantara yang penuh dengan misteri. Seorang wisatawan yang belajar dan mendapat gelar doktornya tentang budaya di Cirebon, Alan Tomas, mengatakan “Cirebon is a big secret”. Belum ada satu orang pun yang dapat merekonstruksikan secara tepat peristiwa yang terjadi ratusan tahun silam. Upaya yang dilakukan untuk mengupas sejarah Cirebon begitu sulit.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Drs. Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Carbon”, berubah lagi menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat”, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”, kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage”, dan berproses lagi menjadi “Grage”. Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana). Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi.
Awal Mula Kerajaan Cirebon
Di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, dan ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara tersebut, sehingga ia menikahi sang putri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini dilahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang keluar dan meninggalkan lingkungan keraton, disusul kemudian oleh adiknya Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih, yang memilki seseorang putri yang bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi putri pendeta itu, kemudian mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati yang berasal dari Mekah. Setelah mereka berguru beberapa tahun lamanya, dan dianggap selesai dalam pelajaran dasar agama Islam, Raden Walangsungsang dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir. Pada waktu itu disebut juga Tegal Alang-alang, tepatnya berlokasi di Lemahwungkuk. Raden Walangsungsang oleh gurunya diberi nama Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti namanya menjadi Haji Abdullah Iman.
Raden Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnik bercampur, agama juga bercampur. Raden Walangsungsang kemudian dipilih oleh masyarakat sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurus pertanian dan perikanan, sehingga ia diberi gelar Ki Cakrabumi dan Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu”.
Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang (di Tanah Suci berganti nama menjadi Syarifah Mudaim), karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di Tanah Suci ini, Nyai Lara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan Muhammad keturunan Bani Hasyim, dan mempunyai keturunan bernama Syarif Hidayatullah dan Nurullah.
Setelah pernikahan adiknya, Raden Walangsungsang memutuskan kembali ke Jawa untuk bersyiar dan mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal, Raden Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban II dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang, selanjutnya Pangeran Cakrabuana mendapat gelar sebagai Sri Mangana yang diberikan dari ayahnya, Prabu Siliwangi. Menurut oral history, Pangeran Cakrabuana membuat umbul-umbul pertama di Cirebon, berdasarkan ilham dari bendera Majapahit, yaitu “gula kelapa”, bendera merah putih yang menjadi bendera Kerajaan Demak Bintoro, umbul-umbul ini masih terdapat di pedaleman Keraton Kasepuhan, yang kondisinya sudah rapuh. Umbul-umbul ini berwarna hijau, berisikan dua kalimat syahadat dan umbul-umbul ini juga merupakan kebesaran yang pertama dibuat di Cirebon, yang mencerminkan kebangsaan dari Cirebon. Pangeran Cakrabuana juga membuat dan membatik bendera Cirebon, yang di dalamnya terdapat ragam hias tiga Sing Barwang, Golok Cabang, bacaan Basmalah, al-Quran Surat al-Ikhlas dan al-Anam ayat 103 Seta Bintang. Menurut Negara Kretabhumi, bendera ini kemudian diberikan ke Mangkunegaran.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya dan berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada ulama di Mekah dan Baghdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama uwaknya. Posisi tersebut diganti oleh adiknya, Nurullah.
Sebelum tiba di Jawa, Syarif Hidayatullah singgah dulu di beberapa tempat selama beberapa waktu, kemudian setelah sampai di Jawa beliau bertemu dengan Sunan Ampel dan ikut ke Jawa Timur untuk memperdalam syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Setibanya di Caruban, ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia, kemudian ia digelari Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.
Syekh Jati menikah dengan Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan, tetapi tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia karena sakit. Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan putri Pangeran Cakrabuana, Dewi Pakungwati, yang masih sepupu sendiri. Syekh Jati kemudian mengembangkan Islam di Banten dan bertemu dengan Bupati Kawunganten (keturunan Pajajaran). Beliau sangat tertarik pada hal-hal yang diajarkan oleh Syek Jati itu, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari pernikahan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah seorang putra yang bernama Pangeran Sabakingking yang dikenal dengan nama Maulana Hasanuddin yang kelak meneruskan perjalanan ayahnya (Syekh Jati) di Banten. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati untuk kembali ke Caruban untuk menggantikan kedudukannya dan dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala Nagari Caruban dengan diberi gelar Susuhunan Jati, yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1479 M inilah, Caruban Larang mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kasultanan di Cirebon atau kerajaan Islam di daerah Sunda Pesisir, dan Keraton Pakungwati dijadikan pusat pemerintahannya.
Pada tahun 1481, Susuhunan Jati menikah dengan Ong Tien seorang putri Cina. Tidak lama kemudian, pada tahun 1485 istrinya meninggal dunia, dan setelah itu beliau menetap di kedaton Pakungwati.
Gambar 1. Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan
Masjid Agung Cirebon, yang sekarang terletak di sebelah utara alun-alun Kasepuhan, bernama Ciptarasa, merupakan hasil kerja orang Demak dan Cirebon. Konon pekerjanya berjumlah 500 orang dipimpin oleh Raden Sepet atau Raden Sepat, yang sebagaimana juga pembangunan masjid Demak, di bawah pengawasan para wali yang diketuai oleh Sunan Kalijaga.
Menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, tahun pembangunannya memakai Candra Sangkala, yang berbunyi: mungal (1) mangil (1) mungup (4) duwe ning asu (1), yaitu tahun 1141 Saka/ 1489 M.
Setelah Sunan Ampel wafat, pusat pensyiaran para Wali Sembilan bersumber di Cirebon. Menurut tradisi, Sunan Gunung Jati diangkat menjadi wadana para wali dan Cirebon disebut puser bumi, sebagai pusat penyiaran agama Islam untuk wilayah sebelah barat.
Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) wafat. ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan, seperti yang dijalankan oleh kakeknya (Sunan Gunung Jati). Sultan lebih banyak bertindak sebagai ulama daripada umaro. Bidang agama lebih dipentingkan daripada persoalan politik dan ekonomi. Kedudukannya selaku ulama, merupakan salah satu alasan yang menyebabkan Sultan Mataram segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. VOC mencoba mendekati Panembahan Ratu, tetapi tidak berhasil, tetapi Mataram malah mempererat hubungan dengan Cirebon dengan perkawinan politis antara putra Panembahan Ratu dengan putri Kerajaan Mataram. Perkawinan politis juga dilakukan oleh cucu ke dua belah pihak, yaitu antara Panembahan Girilaya dengan putri Sunan Amangkurat I (cucu Sultan Agung).
Ketika Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649, dalam usia yang sangat tua, yaitu 102 tahun, ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II, karena anaknya, Pangeran Seda ing Gayam telah wafat lebih dahulu. Dari pernikahannya dengan putri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memilki tiga orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sementara itu, Sunan Amangkurat I, anak Sultan Agung, berbeda sikap terhadap Kerajaan Cirebon. Semasa Panembahan Ratu I masih hidup, Cirebon sangat disegani dan masih dihormatinya, meskipun pada akhirnya Amangkurat I berubah pikiran. Sikapnya yang berubah itu semakin jelas, ketika Panembahan Girilaya dengan kedua putranya, Martawijaya dan Kertawijaya, diharuskan tinggal di Mataram. Bahkan akhirnya, Panembahan Girilaya meninggal di Mataram pada tahun 1667. Pada masa inilah Kerajaan Cirebon mulai mengalami perpecahan di antara sesama saudara karena memperebutkan kedudukan, yang juga sebagai imbas dari permainan politik Kerajaan Mataram, Banten, dan VOC.
Setelah Panembahan Girilaya wafat, Kasultanan Cirebon terbagi tiga yaitu: pertama, Kasultanan Kasepuhan, yang dirajai oleh Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Raja Syamsuddin dan dikenal juga sebagai Sultan Sepuh I. Kedua, Kasultanan Kanoman, yang dirajai oleh Pangeran Kertawijaya dengan gelar Sultan Muhammad Badriddin yang dikenal juga sebagai Sultan Anom I, dan yang ketiga, Panembahan Cerbon yang dikepalai oleh Pangeran Wangsakerta atau dikenal dengan Panembahan Cirebon I.
Gambar 2. Keraton Kasepuhan
Gambar 3. Keraton Kanoman
Sultan Sepuh I memiliki dua putra, yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cerbon. Ketika Sultan Sepuh I meninggal dunia pada tahun 1697, Kasultanan Kasepuhan dibagi menjadi dua yaitu Kasepuhan dengan sultannya Pangeran Dipati Anom dan Kacirebonan dengan dipimpin Pangeran Aria Cerbon. Pembagian ini terjadi akibat kedua putra Sultan Sepuh I sama-sama ingin mendapatkan jabatan menjadi sultan di Kasepuhan. Sejak tahun 1699 di Cirebon terdapat empat keraton, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Panembahan.
Sultan Anom I mempunyai tiga istri. Istri yang pertama (permaisuri) tidak mempunyai keturunan, sedangkan istri yang kedua, Ratu Sultan Panengah mempunyai keturunan yang pertama bernama Pangeran Raja Adipati Kaprabon dan kedua Ratu Raja Kencana. Istri yang ketiga, Nyai Mas Ibu mempunyai putra yang bernama Pangeran Manduraredja.
Gambar 4. Bangsal luar Keraton Kaprabonan
Pangeran Raja Adipati Kaprabonan (putra pertama Raja Kanoman dari istri kedua) setelah ibundanya wafat, oleh ayahnya diangkat dengan diberi gelar Sultan Pandita Agama Islam, dan diserahi busana pakaian perang kerajaan wali yang dinamakan Kaprabon. Pangeran Raja Adipati, diserahi juga warisan ajaran agama dan ilmu untuk disebarkan kepada seluruh umat khususnya di Cirebon. Kemudian ia ditugaskan untuk bertahta di suatu tempat bekas kediaman Ki Gedeng Pengalang-alang dan Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang), yang terletak di lingkungan Lemahwungkuk, sebelah timur alun-alun Keraton Kanoman. Kemudian tempat kediaman Pangeran Raja Adipati ini menjadi terkenal oleh masyarakat sekitar, sehingga tersebar luas dan masyarakat menyebutnya Kaprabonan, sampai sekarang. Pangeran Raja Adipati Kaprabon merasa senang dan cocok di tempat tersebut, lalu ia membangun rumah dan masjid (mesigit/ tajug), dan kemudian menjadi tempat tinggal Pangeran Raja Adipati Kaprabon.
Setelah Sultan Anom I wafat, hak waris pengganti kekuasaannya jatuh pada Pangeran Raja Adipati Kaprabon, tetapi karena Pangeran tersebut hatinya sedang antusias belajar ilmu agama, maka pengangkatan sultan ini diwakilkan untuk sementara waktu kepada adiknya dari istri Sultan Anom I yang ketiga, Pangeran Manduraredja. Pada waktu Sultan Anom I wafat, Pangeran Raja Adipati Kaprabon berada di Keraton Kaprabonan sehingga pemerintahan Keraton Kanoman dipegang oleh Nyi Mas Ibu (istri ketiga, Sultan Anom I) yang banyak pendekatannya dengan pemerintah Belanda, sehingga Pangeran Manduraredja lebih diakui dengan gelar Sultan Carbon Qodirudin di Keraton Kanoman, sedangkan Pangeran Raja Adipati Kaprabon sendiri menjadi tertutup hak warisnya atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Gambar 5. Gambar 6.
Pangeran Angkawijaya Kaprabon Pangeran Aruman Raja Kaprabon
(1918-1946) (1946-1974)
Sultan Kaprabonan VII Sultan Kaprabonan VIII
Gambar 7. Gambar 8.
Pangeran Herman Raja Kaprabon Pangeran Hempi Raja Kaprabon
(1974-2001) (2001 s/d sekarang)
Sultan Kaprabonan IX Sultan Kaprabonan X
Dari riwayat ini lah Pangeran Raja Adipati Kaprabon menjadi Sultan pertama di Keraton Kaprabonan, yang mempunyai misi mengembangkan ajaran agama Islam seperti perjuangan para waliyullah terdahulu terutama karuhunnya, Sunan Gunung Jati. Di Keraton Kaprabonan, Pangeran Raja Adipati Kaprabon mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kebathinan kepada murid-muridnya, dan beberapa tahun kemudian banyak orang yang berdatangan baik dari pribumi maupun luar daerah untuk belajar agama dan menjadi murid di Keraton Kaprabonan.
Setelah Pangeran Raja Adipati Kaprabon wafat pada tahun ± 1734 M, kemudian kedudukannya dan ajaran agamanya secara turun-temurun diteruskan oleh putra-putranya sampai sekarang.
Keraton Kaprabonan mempunyai lambang pusaka yaitu Dalung Damar Wayang, yang berbentuk “manuk beri” yang merupakan lambang dari Nur Muhammad “bibiting roh” induk dari ruh-ruh makhluk yang diciptakan Allah SWT.
Gambar 9. Lambang Keraton Kaprabonan “Dalung Damar Wayang”
Gambar 10. Pangeran Raja Kaprabon (Sultan Kaprabonan VIII), anggota konstituante RI berserta garwa (istri) dengan memakai kain batik khas Kaprabonan
Di Keraton Kacirebonan Awal, Pangeran Aria Cerbon meninggal, Keraton Kacirebonan oleh Belanda ditiadakan, tidak ada penerus sebagai pimpinan Keraton Kacirebonan. Kemudian pada abad ke-18, Belanda yang semakin sewenang-wenang ikut campur dalam birokrasi di Keraton Cirebon, dan selanjutnya pembagian kekuasaan di Cirebon itu sampai tahun 1768 tidak mengalami perubahan. Pembagian yang dilakukan oleh VOC mengenai simbol kekuasaan, tanah-tanah sesuai ukuran luasnya, dan jumlah daerah dengan cacahnya sampai akhir abad ke-18 tetap menimbulkan perselisihan di kalangan penguasa-penguasa di Cirebon itu, dan banyak para Pangeran dan ulama yang keluar dari lingkungan keraton karena tidak suka dengan sikap Belanda.
Gambar 11. Pangeran Patih (duduk, keempat dari kiri) dan Famili Kasultanan Kanoman
Gambar 12. Sultan Kanoman(duduk di tengah) bersama Pengageng Sultan di Keraton Kanoman
Pada masa Kasultanan Kanoman dipimpin Sultan Khaeruddin Awal, Belanda terang-terangan melibatkan diri dalam urusan pemerintahan, dan menyebarkan budaya-budaya yang dilarang dalam agama, seperti berdansa dan minum-minuman beralkohol. Mufti Kasultanan Kanoman, Kyai Muqoyyim (pendiri Pesantren Buntet) mengundurkan diri dan memilih keluar dari lingkungan keraton. Ia membentuk kekuatan dengan mendirikan podok-pondok di pedalaman sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda.
Setelah Sultan Khaeruddin wafat, putranya yang bernama Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela campur tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi meninggalkan keraton dan bergabung dengan guru ayahnya, Kyai Muqoyyim di Buntet. Pangeran Raja Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang. Belanda memilih menobatkan orang lain yang pro dengannya, walaupun bukan pewaris kedudukan sultan. Semenjak itu rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta agar kedudukan sultan diganti oleh Pangeran Raja Kanoman.
Perlawanan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di daerah Cirebon saja, melainkan meluas juga ke wilayah Kabupaten Karawang yang pada waktu itu beribukota di Kandanghaur, dan di Sumedang arah timur-laut. Sasaran utama dari gerakan perlawanan rakyat Cirebon ialah orang-orang Cina, karena mereka dianggap bekerjasama dengan Belanda dan secara langsung memeras rakyat, sehingga banyak orang Cina yang dibunuh, seperti di Palimanan, Lohbener, dan Dermayu.
Gambar 13. Keraton Kacirebonan
S.H. Rose selaku Residen Cirebon pada waktu itu dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang menyebarluaskan desas-desus sehingga rakyat membenci pemerintah Belanda ialah Pangeran Raja Kanoman beserta sebagian dari kaum agama (ulama) yang telah memihak Kanoman. Untuk mengembalikan keamanan di daerah Cirebon harus dilakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap oleh Belanda sebagai kaum rusuh.
Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman di Ambon, Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin berontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para ulama mendesak dan menginginkan agar Pangeran Raja Kanoman dipulangkan dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman diangkat sebagai Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri yang terjadi pada tahun 1802-1806 M.
Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 M ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton, tetapi singgah di Gua Sunyaragi. Pada tanggal 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan Kacirebonan. Selama menjadi Sultan, Pangeran Raja Kanoman tidak mempunyai istana (keraton), karena menurut Belanda ia adalah pemberontak. Sultan Kacirebonan menjadikan tempat di dekat Gua Sunyaragi sebagai pusat kekuasaanya. Selama Sultan Kacirebonan memerintah, ia tidak banyak berhubungan dengan pihak Belanda, dan bahkan selama hidupnya tidak menerima bantuan apapun dari Belanda.
Sementara itu, setelah gerakan perlawanan tidak berdaya lagi menghadapi kekuatan militer kolonial, maka sebagai akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda di bidang politik, nampaklah bahwa posisi dan peranan pemimpin pribumi yang diangkat Belanda hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga antara mereka dengan rakyat terdapat jurang pemisah yang semakin lebar. Tahun 1809 merupakan titik puncak runtuhnya peranan kepemimpinan sultan-sultan di Cirebon, karena daerah Cirebon sejak tahun itu dijadikan hak milik pemerintah kolonial Belanda. Sultan-sultan diangkat sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji.
Pada tahun 1814, Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II wafat. Untuk melanjutkan peranan beliau kepada keturunannya, istri sultan meminta hak-hak kerja Sultan Kacirebonan selama hidupnya. Berkat kecerdasan istrinya, dengan uang gaji itu ia membangun Keraton Kacirebonan yang diteruskan oleh keturunannya yang bergelar Madenda.
Gambar 14. Sultan Raja Madenda IV
(1931-1950)
Sultan Kacirebonan V
Gambar 15. Sultan Moch. Mulyana Amir Natadiningrat
(1968-1997)
Sultan Kacirebonan VIII
Gambar 16. Sultan Abdul Gani Natadiningrat
(1997 s/d sekarang)
Sultan Kacirebonan IX
Gambar 17. Jumenengan Sultan Raja Muhammad Zulkarnaen di Gedung Karesidenan Cirebon (1873)
Gambar 18. Jumenengan Sultan Raja Muhammad Nurbuat di Gedung Karesidenan Cirebon (1938)
Sejarah Batik Cirebon
Dalam perjalanan waktu, ternyata Trusmi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Keraton Cirebon. Sejarah Batik Trusmi pun tidak lepas dari nama Mbah Buyut Trusmi serta Ki Gedeng Trusmi, yang terletak di Desa Trusmi, Kecamatan Weru, 7 km sebelah barat Cirebon dan 1,5 km utara Cirebon-Bandung atau jalur utama Cirebon-Jakarta. Untuk transportasi umum ke Trusmi cukup banyak dari Cirebon, yakni dengan menggunakan angkot jurusan ke Plered, dan ke Situs Trusmi bisa dengan becak atau ojeg.
Situs Trusmi adalah situs yang kedua setelah Situs Astana dalam hal pengunjung dan festivalnya, walaupun ukurannya lebih kecil dari Astana. Tidak seperti Astana, yang langsung di bawah pengawasan keraton, Trusmi sekarang tidak lagi demikian. Dalam kepengurusan makam di Trusmi, harus keturunan dari pengurus yang lalu, tetapi dalam beberapa hal, keputusan terakhir dimusyawarahkan dengan aparat desa, terutama kepala desa dan tidak melibatkan sultan. Dalam hal ini tidak jelas sejak kapan kesepakatan ini dimulai.
Menurut buku yang diterbitkan Badan Kombudpar Kabupaten Cirebon, Mbah Buyut Trusmi adalah Pangeran Cakrabuana yang datang ke daerah tersebut untuk mengajarkan Islam, bercocok tanam dan mengasuh cucunya Bung Cikal (Pangeran Trusmi), setelah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Sunan Gunung Jati. Bung Cikal dalam buku ini merupakan anak dari Pangeran Arya Carbon dengan Nyi Cupuk, anak Ki Gede Trusmi (Muhaimin, 2001). Pangeran Arya Carbon telah meninggal ketika Bung Cikal masih kecil. Sedangkan Ki Gede Trusmi merupakan orang taklukan Mbah Kuwu Cerbon II. Menurut buku ini, nama Trusmi diambil dari kebiasaan Bung Cikal sewaktu kecil yang senang memangkas tanaman yang baru bersemi. Namun setiap kali dipangkas, tanaman tersebut semakin subur, sehingga dinamakan Pedukuhan Trusmi. Pedukuhan Trusmi berubah menjadi Desa Trusmi diperkirakan pada tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya Perang Diponegoro.
Ki Gedeng Trusmi dalam Naskah Mertasinga disebut sebagai Bung Cikal. Bung Cikal asal kata dari rebung (bambu muda). Ketika itu, ibu Bung Cikal, Nyi Rara Konda yang merupakan anak dari Pangeran Cakrabuana, sangat menginginkan makan rebung. Menurut naskah tersebut, Bung Cikal adalah anak Nyi Rara Konda dengan Sunan Gunung Jati, yang kelak menuntut gugat waris kepada para wali pada saat pemerintahan Panembahan Ratu. Namun usahanya menuntut waris gagal, karena pada saat itu hadir Sunan Kalijaga yang mengatakan bahwa Bung Cikal tidak mendapatkan hak waris karena bukan putra.
Dalam hal ini sejarah Ki Gedeng Trusmi merupakan sejarah peteng, yaitu sejarah yang ditutupi duduk perkaranya, mengingat kondisi sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Setelah beliau gagal menggugat waris, oleh Sunan Kalijaga Bung Cikal diperintahkan pergi ke daerah gundul untuk ditanami. Lama-kelamaan daerah tersebut tumbuh tunas-tunas yang terus bersemi sehingga menjadi pedukuhan yang kian ramai sehingga diberi nama Trusmi.
Namun menurut sumber lain, Naskah Mertasinga, ketika Sang Anom (Sunan Gunung Jati) tengah duduk tafakur di Jabal Muqamat, di bawah pohon Bambu Gading, dia melihat ada seorang gadis berlalu di kaki bukit, yaitu Nyi Rara Konda, anak Nyi Gedeng Jati dengan Pangeran Cakrabuana. Melihat gadis itu hati Sang Anom tergetar tiada henti, sebagaimana halnya jejaka melihat gadis, hatinya terasa bahagia sekali, sang Anom kemudian meraga sukma. Rara Konda pulang dan menangis tersedu-sedu dihadapan ibundanya, dia merajuk tak bisa dibujuk lagi menginginkan rebung (anak pohon bambu) mangsa katiga. Nyi Gedeng Jati sangat masygul hatinya melihat putrinya resah seperti itu. Dia pun pergi mencari rebung di puncak bukit. Sementara itu Sang Anom telah meninggalkan tempat tersebut.
Sang ibu memperoleh anak pohon bambu (rebung) gading dari puncak bukit yang besarnya hanya sekepal. Kemudian rebung itu diberikan pada putrinya. Nyi Rara Konda sangat gembira dan tidak menunggu dimasak lagi, didorong keinginannya yang demikian besar, dia segera menyantapnya mentah-mentah. Setelah menyantap rebung tersebut, konon Nyi Rara Konda menjadi hamil tanpa bersuami dan melahirkan anak laki-laki. Nyi Gedeng Jati sangat bahagia karena memperoleh seorang cucu laki-laki.
Mengenai rebung tunggal ini semua orang pernah mendengarnya. Anak itulah yang kelak bernama Gedeng Trusmi (dipanggil juga Bung Cikal, ‘Bung’ asal kata dari rebung) dan kelak menggugat waris pusaka dari para Wali. Permintaan itu ditolak dengan jawaban ‘ora oleh sing konone’ (tidak dapat dari sananya), sehingga kemudian dikenal ada peribahasa ‘ora olih sing Konda’. Gedeng trusmi pada kenyataannya bukan anak dari perkawinan, itulah yang disebut ‘yuga’, bukan anak sebenarnya, sehingga dia tidak memperoleh pusaka. Tetapi itu adalah masalah duniawi, karena tidak ada yang menyamai dengan derajat yang diwarisinya, yaitu kewaspadaan dalam hal ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut versi orang Trusmi, Ki Gedeng Jati mempunyai seorang anak gadis. Ketika gadis itu lewat di Kedaleman, kebetulan Pedaleman Sinuhun (Sunan Gunung Jati) di Gunung Jati Kulon sedang duduk-duduk di bawah rindangnya awi gading (bambu gading). Ketika melihat gadis itu, meneteslah titisnya dan jatuh di atas rebung.
Pada suatu hari gadis itu berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin sekali makan rebung bambu gading. Ki Gedeng pun pergilah memintanya di Kedaleman. Tak lama kemudian gadis itu hamil. Pada waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki bernama Bung Cikal. Tidak dikisahkan masa kecil anak tersebut, tetapi setelah menginjak dewasa ia datang menghadap ke Kedaleman untuk meminta warisan. Pada sekitar tahun 1568 M itu yang menjadi sultan adalah Panembahan Cerbon I karena Pedaleman Sinuhun di Gunung Jati Kulon sudah meninggal dunia.
Sunan Kalijaga yang pada waktu itu berada di situ menolak permintaan Bung Cikal dengan mengatakan, “He Bung Cikal, sia teu boga waris sabab lain putra”. (He Bung Cikal, kamu tidak punya hak waris sebab bukan anak) dan memerintahkan membersihkan atau membuka leuweung kulon (hutan barat). Bung Cikal menebas semua pepohonan yang ada di hutan itu sehingga berubah menjadi tegalan gundul. Setelah terlihat demikian keadaannya, Bung Cikal diperintahkan lagi untuk mengolahnya. Maka ditanamilah tegalan yang telah gundul itu dengan pohon buah-buahan. Lama kelamaan pelataran itu amat subur dan menjadi pemukiman baru yang diberi nama Dayeuh Trusmi.
Di daerah Trusmi tersebut Ki Gede Trusmi melakukan penyebaran agama Islam sembari membatik. Menurut “Buku Sejarah Nama Desa di Cirebon”, Ki Gedeng Trusmi meninggal pada usia remaja dan dimakamkan dipuncak Gunung Ciremai.
Sedangkan Ki Gede Trusmi, menurut buku Dinas Kombudpar Cirebon, merupakan orang taklukan PangeranWalangsungsang Cakrabuana yang kemudian memeluk agama Islam.
Baik Pangeran Cakrabuana maupun Sunan Gunung Jati memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan sejarah Trusmi. Pangeran Cakrabuana mendirikan Pesantren Curug Landung. Pesantren ini menatar para calon gegede/ ki gede tentang berbagai ilmu agama dan ilmu kemasyarakatan. Di pesantren ini pula Sunan Gunung Jati mengucapkan pepatah-petitih yang menjadi wasiat Sunan Gunung Jati yaitu “Bumi becil ala menungsa, Ingsun titip tajug lan fakir miskin”.Tajug pada zaman dahulu bukan hanya tempat shalat, tetapi merupakan tempat belajar. Miskin di sini bukan saja miskin harta tetapi juga miskin akidah dan nilai-nilai agama.
Sejalan dengan perkembangan batik di keraton, di daerah Trusmi juga berkembang batik Trusmi. Trusmi pada saat itu termasuk ke dalam wilayah keraton Cirebon, di sana terdapat para penggede Keraton Cirebon. Situs-situsnya pun hingga kini masih dapat ditemui di daerah Trusmi, di antaranya situs petilasan Mbah Buyut Trusmi dan Ki Gede Trusmi. Situs Mbah Buyut Trusmi dan makam Ki Gedeng Trusmi hingga kini masih terawat dengan baik. Bahkan setiap tahun dilakukan upacara yang cukup khidmat, yaitu upacara Ganti Welit (atau rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun sekali.
Versi yang berbeda ditemukan dalam Muhaimin (2001). Dalam disertasinya yang dibukukan itu, dijelaskan bahwa orang yang tinggal pertama di daerah Trusmi adalah Ki Gede Bambangan. Ketika beliau sedang membersihkan tanaman, beliau mendengar ucapan salam misterius, “Asalamualaikum.” Namun tak ada seorangpun di sana. Bersamaan dengan ucapan salam tersebut, tanaman liar yang sedang dibersihkannya tersebut tumbuh bersemi kembali. Tidak lama kemudian, muncullah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati dengan mengucap salam persis seperti yang ia dengar sebelumnya. Kemudian Ki Gede Bambangan masuk Islam.
Dari ke empat sumber di atas, Naskah Mertasinga dan Naskah Carios Ki Gedeng Trusmi merupakan bukti sekunder dalam sejarah, karena tidak ditulis sezaman dengan isi naskah tersebut. Secara logika, tidaklah mungkin Bung Cikal berasal dari titis Sunan Gunung Jati. Di sini mulai didapat titik terang, yaitu antara Ki Gedeng Trusmi dan Ki Gede Trusmi adalah orang yang berbeda. Keturunan kemit sekarang bukanlah keturunan Bung Cikal melainkan keturunan Ki Gede Trusmi. Kemungkinan Bung Cikal menuntut hak waris Pangeran Cakrabuana, yang sebelum Sunan Gunung Jati bertahta, beliau menjadi penguasa Cirebon. Inilah yang dimaksud dari sejarah peteng. Sejarah sebenarnya dalam Keraton Cirebon yang tidak diceritakan karena hal ini di kemudian hari dapat menjadi percikan yang memyebabkan, perpecahan perebutan warisan dan tahta kepemimpinan.
Dari narasi-narasi naskah dan bukti yang ada di atas, dapat dilihat bahwa
1. Trusmi pada saat itu merupakan bagian dari Keraton Cirebon, dimana para penggedenya masih kerabat keluarga Keraton Cirebon.
2. Mbah Buyut Trusmi, Ki Gedeng Trusmi, dan Ki Gede Trusmi (Pangeran Trusmi) adalah orang yang berbeda. Pangeran Trusmi meninggal ketika masih remaja, sehingga tidak mungkin pengelola situs Mbah Buyut Trusmi adalah keturunan Ki Gedeng Trusmi (Pangeran Trusmi yang nota bene adalah keturunan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana). Yang masih mungkin adalah keturunan Ki Gede Trusmi dari jalur yang lain.
3. Batik Keraton Cirebon telah berkembang lebih dahulu dibandingkan Trusmi. Karena Sunan Gunung Jati pada waktu pelantikannya telah memakai batik.
Situs Trusmi terdiri atas dua areal yang dipisahkan oleh ruang kecil dari pintu masuk bagian barat, menuju pintu masuk bagian timur. Areal pertama berada di sebelah selatan, yang terdiri atas masjid dan paviliunnya, sedangkan areal kedua berada di sebelah utara, yaitu makam Ki Gede Trusmi dan Pangeran Trusmi. Kedua areal tersebut dikelilingi oleh tembok batu-batu kuno setinggi 2 meter yang disusun tanpa semen.
Gambar 19. Situs Trusmi
Gambar 20. Witana
Bangunan tertua yang didirikan oleh Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) disebut Witana, bandingkan dengan kata Witana dalam bahasa Jawa Kuna, adalah singkatan dari ‘wiwit ana’ yang berarti ‘yang pertama ada (dibangun)’. Witana oleh Walangsungsang dipakai untuk beristirahat dan mengajarkan ajaran Islam. Bangunan tersebut terletak dekat Pekulahan, kolam tempat mandi dan berwudlu yang airnya berasal dari sungai di dekat situ. Di sebelah witana berdiri masjid, salah satu bangunan utama kramat, meskipun sering direnovasi, masih tetap terlihat keantikannya karena struktur bangunan, atap kayu (sirap), tiang-tiang, memolo (kubah), mimbar dan kendi-kendi air (padasan) untuk berwudlu dipertahankan sebagaimana aslinya.
Bagian makam terdiri atas pendopo (ruangan penerimaan tamu), pekuncen (pondok juru kunci), dua jinem, bandingkan dengan kata Jinem dalam bahasa Jawa Kuna, (singkatan dari si-ji kang ne-nem, ‘satu mengandung enam’) di barat dan timur, untuk pemondokan para peziarah yang bermalam, sebuah ruangan penyimpanan 17 macam batu, ruang ganti pakaian juru kunci, paseban (ruangan peziarah), dan gedongan (bangunan batu) tempat makam Ki Buyut Trusmi dan Pangeran Trusmi. Semuanya adalah tanggung jawab 9 kelompok penjaga yang disebut kuncen. Mereka dipimpin oleh seorang sep (kepala juru kunci) yang direkrut dengan cara yang sama seperti pemilihan kepala desa. Sep yang sekarang adalah generasi ke-15 sejak Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana).
Sep dibantu oleh empat juru kunci dan empat kyai, para pembantu kunci, yang merupakan keturunan kuncen terdahulu. Jumlah sembilan penjaga ini, menurut Ki Turdjani, seorang kunci di Trusmi, bermakna ganda. Makna pertama adalah pekerjaan sembilan wali, penyebar Islam di Jawa, dan yang kedua adalah sembilan penyebar Islam di dunia, yakni Nabi, empat Khalifah pengganti Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan empat imam mazhab syariat (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i).
Bangunan fisik dan tradisi di Trusmi membawa pesan-pesan simbolis yang menekankan arti agama Islam sebagai agama yang rukun dan damai. Panjang keseluruhan tembok adalah 60 depa. Jumlah ini adalah perlambang jumlah nabi-nabi, 25 diantaranya adalah para rasul, dengan Nabi Muhammad sebagai rasul yang terakhir. Gagasan 25 pembawa wahyu dan nabi terakhir ditandai pada perayaan tradisional Maulid (muludan) di Trusmi, yang dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud. Penggunaan depa (jangkauan dua tangan yang diluruskan, kira-kira sepanjang 1,75 m.) merefleksikan bahwa setiap nabi memimpin umat manusia menuju jalan yang lurus (sirat al-mustaqim), jalan satu-satunya yang membaawa manusia hidup selamat di dunia dan akhirat. Di seluruh tembok kompleks juga terdapat 60 kubah batu (candi laras), yang melambangkan bahwa risalah yang dibawa 60 nabi adalah guna menuju hidup yang harmonis antar sesama manusia dan alam.
Gambar 21. Pintu makam Mbah Buyut Trusmi
Pintu masuk makam Mbah Buyut Trusmi, terdapat gapura yang punya arti ampunan, yang bermaksud bahwa tujuan utama dari orang-orang yang mengunjungi tempat tersebut ialah untuk memohon ampunan Tuhan, baik untuk orang lain yang masih hidup dan yang telah meninggal maupun diri sendiri. Pintu masuk sebelah timur yang menuju masjid, terdapat di dalamnya sebuah tabir dalam bentuk tembok yang berukuran tinggi 2 meter dan lebar 2 meter. Hal ini menandakan, jika seseorang ingin melakukan ibadah (shalat berjamaah di masjid), orang tersebut harus memiliki keputusan yang teguh dan rendah hati, yaitu hanya untuk Allah semata, bukan untuk orang lain. Pintu masuk sebelah barat yang menuju ke pendopo juga mempunyai maksud dan arti yang sama seperti penjelasan yang di atas, dengan tujuan untuk menjumpai orang-orang dan pekuncen (tempat juru kunci) untuk berziarah, sedekah atau untuk berhubungan dengan orang banyak, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup.
Menurut Ki Turjani, yang terpenting dari hal-hal yang di atas adalah adanya landasan kuat untuk menarik kesimpulan dari sekian banyak amsal bahwa Islam adalah agama yang damai, seperti yang diperkenalkan oleh para wali dengan cara yang damai dan halus, dengan menggunakan pendekatan berangsur-angsur, persuasi, dan cara-cara yang patut dicontoh. Dalam hal ini, aspek-aspek Islam sebagai agama damai dan selaras sangat ditekankan. Pada akhirnya, penggunaan kiasan dan cerita-cerita dongeng sebagai representasi simbolik sesuai dengan kondisi yang ada dan pandangan tentang dunia dan tradisi, merupakan ciri utama.
Gambar 22. Denah makam Mbah Buyut Trusmi
Keterangan
1. Gerbang barat 12. Kuta hijab
2. Kuta hijab 13. Pekulahan
3. Pendopo 14. Witana
4. Pakemitan 15. Pewadonan
5. Jinem Kulon 16. Ruang istirahat untuk wanita
6. Batu-batuan (Watu Pendadaran) 17. Masjid
7. Ruang pakaian 18. Jembatan
8. Paseban 19. Sungai
9. Makam Mbah Buyut Trusmi 20. Perkampungan
10. Jinem Wetan 21. Jalan
11. Gerbang Timur 22. Kantor Desa
Para perajin batik di Trusmi pada awalnya merupakan sekelompok orang yang mendalami ilmu tarikat dan tergabung dalam sebuah wadah tarikat Naqsabandiah wal Qodiriah yang dipimpin oleh Panembahan Trusmi. Wadah tarikat di sini mungkin saja berasal dari pesantren yang dulu didirikan oleh Pangeran Cakrabuana. Para perajin Trusmi dan Kalitengah pada saat itu didominasi oleh kaum pria, sehingga pekerjaan membatik dilakukan sebagai ibadah. Kemudian mereka berinisiatif melakukan usaha bisnis yang bersifat ekonomis dan bernilai agama sembari berdakwah.
Kegiatan membatik di Trusmi dan di keraton mengalami pasang surut. Terlebih ketika pada abad ke- 18 Cirebon mengalami berbagai macam masalah seperti kelaparan, wabah, kerusuhan sosial, dan emigrasi masal (Siddique,1977). Pada tahun 1943, di Cirebon terjadi kelaparan yang sangat serius karena Cirebon yang tadinya produsen dan pengekspor beras dipaksa menanam kopi, gula, tarum, teh, dan cengkeh oleh Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia. Sehingga jangankan untuk membeli bahan sandang, untuk makan pun masyarakat mengalami masa susah.
Pembuatan batik Cirebon dilakukan oleh para perajin pada periode akhir hingga sekarang, dilakukan oleh orang yang sama, yaitu pembatik di desa Trusmi, sebuah desa di wilayah Kabupaten Cirebon, yang berjarak hanya beberapa kilometer saja dari Kota Cirebon. Desa tersebut sebagian besar penduduknya mengerjakan kerajinan batik. Tempat ini sekarang menjadi pusat industri kerajinan batik, baik tulis maupun cap. Seiring berjalanya waktu, para pembatik di keraton mulai memudar. Tetapi kegiatan membatik di daerah Trusmi berkembang kian pesat.
Gambar 23. Sesepuh Trusmi
Di sana industri batik berkembang dengan pesat karena sebagian besar pengusaha menganggap usaha batik merupakan usaha bisnis murni. Business is business, sehingga persaingan usaha batik di sana sangatlah keras. Mungkin inilah yang menyebabkan para perajin Trusmi lupa, bahwa mereka, menurut Kartani (2008), sudah tercabut dari akar rumputnya yaitu tarikat. Bahkan banyak perajin dan pengusaha tidak mengerti makna filosofis yang terkandung dalam batik itu sendiri.
Kondisi persaingan batik yang ketatlah yang menjadikan usaha batik berkembang pesat terutama batik pesisiran yang banyak diminati oleh pasar. Usaha baitik menjadi business minded. Sedangkan pemesan Batik Keraton Cirebon hanyalah kalangan keraton, seniman, dan kolektor. Namun demikian motif batik keraton yang berkembang di Cirebon tetap berakar dari keraton-keraton Cirebon.
Masa keemasan Batik Trusmi terjadi sekitar tahun 1950-1968. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah sekolah dari tingkat SD hingga SMA dan Koperasi Batik Budi Tresna yang sanggup membangun Gedung Koperasi yang sangat megah. Bangunan koperasi itu kini menjadi Museum Batik di daerah Trusmi.
Batik yang sekarang berkembang di daerah Trusmi sudah beraneka ragam. Bahkan beberapa galeri tidak hanya membuat batik Cirebon tetapi batik dari daerah lain. Hal tersebut dipicu oleh faktor pangsa pasar yang ada. Produsen batik membuat batik berdasarkan permintaan konsumen di pasaran.
Gambar 24. Pengurus Koperasi Batik di Trusmi tahun 1927. Baris atas nomor 2 dari kiri Madsimo, nomor 4 dari kiri Bapak Kadimini, dan nomor 5 dari kiri Sad Fis. Baris bawah nomor 2 (tengah-tengah) adalah Madciri Narkadi.
Menurut penuturan Elang Sugiarto, nenek buyutnya yang bernama Pangeran Parta Kusuma dan istrinya Ratu Dewi Saputri, pada tahun 1899 M telah membeli sebidang tanah dan rumah yang terletak di Jalan Pulasaren, seharga 1500 gulden dari H. Ahmad Sodik dan istrinya Hj. Saodah. Rumah H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah tersebut merupakan salah satu pusat tempat pembatikan di Kota Cirebon yang terletak di Jalan Pulasaren, sebelah barat Keraton Kacirebonan Kota Cirebon. Pada masa-masa tersebut, banyak penduduk sekitar yang menjadi perajin batik di bawah pimpinan H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah.
Menurut Drs. Rafan Hasim, mahasiswa S2 Filologi Universitas Padjadjaran Bandung, ada saran dari Keraton Kaprabonan kepadanya untuk nyalar (bertamu) kepada Pangeran H. Adimulya, putra dari Insan Kamil, yang tinggal di Pegajahan dan merupakan sesepuh keturunan Keraton Kaprabonan. Pangeran H. Adimulya menjelaskan bahwa pengertian mega mendung bukan dari Tiongkok, akan tetapi ciptaan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sebelum kedatangan Putri Ong Tin dari Cina. Ketika Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yang dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon (pendiri Cirebon) hendak berwudhu di sebuah telaga, beliau melihat bayangan mega mendung di danau tersebut. Bayangan mega mendung tersebut selalu bergerak tanpa henti, namun pada pusat mega mendung itu terdapat pusat pemberhentian yaitu klungsu, yang kalau interpretasi sekarang adalah mirip dengan koma, bukan titik. Klungsu adalah nama dari biji buah asem. Nama lain Klungsu adalah lungsi, Lungse adalah balungane yaitu kerangka atau skeleton, maka arti simbolisnya adalah ibadah harus terus-menerus atau tidak boleh terputus supaya tidak kelungse. Apabila lungse tidak dilanjutkan, maka pewarnaan unsur mega mendung maupun wadasan, baik pada batik maupun lukis kaca, akan gagal.
Menurut para sesepuh Keraton Kanoman dan Kasepuhan, cikal bakal motif mega mendung adalah kelungsu. Kelungsu adalah biji buah asem yang bentuk dasarnya mirip dengan bentuk awan.
Di Desa Pejambon, Cirebon, pernah ditemukan arca gajah megalitik. Bentuk arca gajah itu digambarkan sangat sederhana dalam posisi duduk, kaki belakang berlipat. Belalai menjulat ke depan, sementara kaki depan tidak nampak. Arca seperti ini merupakan media pemujaan dari masa megalitik yang berlanjut ke masa Hindu.
Menurut E. Moh. Raharja, yang menjabat sebagai pemandu Keraton Kanoman, (ditemui pada tgl 16 Oktober 08) batik Cirebon berasal dari kata jempana (jem-jem ing prana) yang mempunyai arti “setia di hati.” Kereta jempana tersebut mudah ditiru dan diinspirasikan dengan beragam motif dan variasi wadasan dan mega mendung yang mudah diambil sebagai motif batik, pada abad 15 (1428 M / 1350 Syaka) pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Di samping kereta jempana, paksi naga liman juga sebagai dasar motif pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati. Di dalam paksi naga liman termuat motif dasar motif paksi, motif naga, dan motif liman. Motif paksi artinya motif burung garuda melambangkan simbol budaya Islam, di samping sebagai kekuatan udara. Motif naga artinya motif ular naga (naga raja) merupakan simbol budaya Cina, di samping sebagai lambang kekuatan laut. Motif liman artinya motif gajah sebagai simbol budaya Hindu di samping lambang kekuatan darat. Jadi intinya, sumber utama motif batik Cirebon berasal dari jempana dan paksi naga liman.
Selain motif-motif yang telah disebutkan di atas, ada beberapa motif yang sangat khusus dipakai oleh para sultan dan keluarga pada acara-acara tertentu seperti upacara penobatan, pertemuan para raja-raj, upacara panjang jimat, grebeg agung, dan grebeg sawal. Motif-motif itu adalah;
1. Beskap Ageng Sultan Kanoman
Beskap Ageng ini merupakan baju kebesaran sultan yang dipakai ketika upacara penobatan dan pertemuan raja-raja. Lancar dhodotan, dominasi warna hitam dan emas sebagai lambang keagungan, kemakmuran, lestari dan pengayoman, sementara motif batik yang dipakai adalah delimaan.
2. Dhodot Sunan Ageng
Busana ritus yang dipakai oleh sultan dan pangeran patih ketika memimpin upacara ritual adat, contohnya memimpin upacara panjang jimat, grebeg agung sebagai penutup kepala menggunakan destar Mustaka Sunan dengan jubah warna kuning emas, pelambang keagungan, beskap putih, dan kain lancar motif kangkungan.
3. Beskap Pangeran
Beskap ini dipakai oleh bangsawan Kesultanan Kanoman ketika mengikuti upacara adat yang dilaksanakan pada siang hari. Motif yang dipakai kain lancar yang digunakan lebih sering menggunakan naga semirang.
4. Batik lain-lainnya, seperti batik pandan, batik kembang wijaya kusuma.
Gambar 25. Sanira, salah seorang penjual dan penghubung batik Trusmi dengan pihak keraton, yang merupakan gejala Trusmi.
3. Batik Keraton Cirebon sebagai Seni Tradisional
Kembalinya popularitas batik Cirebon yang baru muncul kurang lebih lima belas tahun terakhir ini, menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Cirebon pada umumnya. Pada waktu dulu, masyarakat lebih mengenal batik Jawa Tengah terutama batik Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan, baik berupa batik tulis maupun batik cetak.
Proses pembuatan batik di Jawa Barat, khususnya Cirebon ini merupakan tradisi yang sama tuanya dengan di Jawa Tengah. Teknik mencelup yang tahan air sudah diketahui dan digunakan di Jawa Barat, jika dipelajari beberapa sisa peninggalan batik ini.
Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu tinggi dilihat dari segi kehalusan dan keindahannya. Batik adalah corak atau gambar pada kain yang pembuatannya khusus, dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Cara tradisional adalah sikap, cara berpikir, atau bertindak yang selalu berpegang teguh pada adat dan kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Cirebon yang dimaksud disini adalah wilayah Caruban Nagari yaitu daerah wilayah kekuasaan Pemerintahan Sunan Gunung Jati pada saat memerintah di Pakungwati.
Seni batik tradisional Cirebon merupakan suatu proses dari olah cipta, rasa, dan karsa, juga pemikiran yang panjang. Di dalamnya merupakan penunjuk kepribadian tanzul taraqi. Tanzul berarti keadaan seseorang yang sedang dalam limpahan sifat-sifat keilahian yang layak bagi dirinya, sehingga sifat-sifat ilahi itu diamalkannya dalam tindakan dan pergaulan. Taraqi berarti keadaan seseorang yang sedang melepaskan sifat-sifat jahat dari dirinya untuk naik ke sifat-sifat ilahi yang mulia, sehingga dalam kehidupannya dia tidak lagi selalu berbuat salah.
Batik Keraton Cirebon adalah batik yang ragam hiasnya berasal dari keraton, baik berupa wujud fisik bangunannya, sumber-sumber naskah, serta filosofi yang terkandung di dalamnya, sejak Cirebon menjadi negara yang merdeka pada saat pemerintahan Sunan Gunung Jati. Batik Cirebon terutama batik Keraton Cirebon dari dulu sampai sekarang tetap dilestarikan sebagai seni tradisional di Cirebon, hanya saja sekarang batik Keraton Cirebon sudah tidak ada aktivitas membatik di dalam keraton, melainkan dikembangkan oleh masyarakat Desa Trusmi. Para perajin batik di Desa Trusmi banyak mendapat pesanan motif-motif batik keratonan dari kalangan keluarga Keraton Cirebon, sehingga sekarang di Desa Trusmi berkembang pula batik Keratonan Cirebon, dan menjadi pusat perkembangan batik Cirebon.
Batik Keraton Cirebon yang dihasilkan telah tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bukan hanya di wilayah Indonesia, namun batik ini juga sudah tersebar hingga ke mancanegara dengan nama Batik Cirebon.
4. Ciri Batik Keraton Cirebon
Dalam penyajian penulisan, agar runtut dan memudahkan dalam pola pikir, penulis kategorikan pola hias dalam batik menjadi tiga kelompok, yaitu unsur-unsur batik, motif-motif batik, dan gabungan motif batik. Unsur-unsur batik masing-masing, secara sendiri-sendiri, mempunyai karakter dan makna yang spesifik. Unsur-unsur batik yang variatif serta ditambah dengan ragam hias pokok atau ide pokok yang ingin ditampilkan oleh perupa, akan membentuk suatu motif batik pada satu bidang kain. Suatu motif batik yang merupakan himpunan dari unsur-unsur ragam hias serta ragam hias pokok mempunyai karakter serta makna simbolik yang khusus, istimewa, bahkan mungkin tendensius.
Beberapa motif batik baik dua, tiga, atau lebih dihimpun oleh seniman batik, menjadi gabungan motif batik, yang tentunya mempunyai “pesan” yang sangat kompleks dan rumit, namun tetap nyaman secara estetika untuk dinikmati.
Menurut Yuniko, dahulu di daerah Cirebon, kesenian melukis, termasuk melukis di atas tekstil, dikerjakan hanya kaum pria. Tradisi ini dapat dilihat di pemukiman ahli kriya seperti di Trusmi dan dilanjutkan hingga jauh ke abad 20. Pada abad ke 19 hingga akhir, peranan wanita dalam bidang ini mulai berkembang karena perubahan dalam pola perekonomian di wilayah Cirebon. Tanah-tanah semasa penjajahan Belanda memerlukan banyak tenaga laki-laki. Lambat laun industri batik yang ada di Cirebon, yang kebanyakan masih merupakan karya di lingkungan rumah (home industry) diambil alih oleh wanita. Sebelumnya, kewajiban mereka semata-mata ditujukan kepada kerja detil, seperti mengisi latar belakang, akan tetapi dengan adanya migrasi lelaki untuk memenuhi kebutuhan kebun-kebun besar tuan tanah, wanita juga memulai mengerjakan penempelan lilin tekstil. Seniman lelaki tetap mengambil bagian dalam proses pembuatan batik, akan tetapi jumlah mereka semakin mengecil dan selama sepuluh tahun terakhir hanya beberapa saja yang tinggal. Kini wanitalah yang mendapatkan peranan lebih aktif dimulai dari merancang sampai ke membatik dan menjual hasil karyanya.
Jenis dan ragam corak batik Cirebon sangat menarik perhatian dan berbeda dengan batik yang ada di Jawa Tengah khususnya Surakarta dan Yogyakarta, serta juga hasil karya bagian lain pantai utara Jawa. Jika dibandingkan dengan batik dari Keraton Jawa Tengah misalnya, maka batik Cirebon tampak berani, tidak menggunakan corak simetris di seluruh bahan, melainkan lebih sebagai suatu corak yang menggambarkan sesuatu yang nyata di atas bahan polos. Corak itu lebih mendekati kenyataan dan kurang distilisasikan dan berketentuan daripada corak Jawa Tengah. Ini mungkin disebabkan penggunaan asli beberapa corak, teristimewa yang melukiskan gambaran yang disembunyikan dalam desain lambang, bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan yang mempunyai makna tertentu dalam cerita tradisional, pemandangan, pola geometrik, dan kaligrafi Arab. Dilukiskan di atas bahan teknik batik, bahan itu dipakai sebagai lukisan bersifat keagamaan (wafak), dipakai untuk menghias rumah, juga untuk menolak hal-hal jahat dan melindungi rumah beserta penghuninya (tolak bala). Sedangkan umbul-umbul dan panji-panji adalah bagian dari prosesi keagamaan di hari-hari yang kurang berkesan.
Hingga sekarang batik Cirebon termasyhur karena mempunyai pola dan corak istimewa yang tidak diketemukan dalam perbendaharaan batik di daerah penghasil batik lainnya di Indonesia. Peta perbatikan nusantara telah mencatat nama Cirebon sebagai salah satu sentra batik. Cirebon sebagai sebuah lokus yang memiliki karakteristik kebudayaan yang khas, hidup di antara dua budaya besar Sunda dan Jawa, didukung dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi pedagang dunia (Sedyawati, 1995), menjadikan sebuah tatanan kebudayaan masyarakat yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikan itu tampak pula pada ekspresi keseniannya, termasuk di dalamnya karya kriya batiknya. Kekhasan batik Cirebon itu tidak dapat dipisahkan dengan latar sosial budaya yang melingkupi pertumbuhan dan perkembangan batik Cirebon. Perkembangan batik Cirebon merupakan salah satu titik penting dalam peta batik Indonesia pada umumnya.
Salah satu ciri lain batik Cirebon adalah bahwa batik itu dapat dibedakan karena warna-warna khusus yang dipakai sebagai dasar. Batik Cirebon dan sekitarnya mempunyai warna dasar kuning-gading atau kuning muda yang biasanya disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon untuk membedakannya dari kuning tua (kuning oker) yang terdapat pada batik Banyumas, atau putih bersih pada batik Yogyakarta. Juga biasa dipakai warna coklat soga, warna batik tradisional. Tetapi sedikit sekali digunakan variasi warna-warna coklat tua yang biasa terdapat pada batik Jawa Tengah. Karena air lebih asin di Indramayu, warna-warna ini tidak bisa tercapai dan kekhasan batik Indramayu adalah warna biru tarum, nila muda, biru muslim dengan kombinasi biru hitam yang biasa terdapat pada keramik-keramik Timur Tengah dan juga pada porselen Cina; serta penggunaan merah bata, atau yang di daerah Cirebon disebut sebagai merah mengkudu, yang dibuat dari tangkai-tangkai pohon mengkudu. Ciri lain batik daerah ini adalah perasaan lega-luas yang diciptakan oleh corak tersebut yang tampaknya gemar memusatkan garis-garis besar suatu gambar, tanpa harus mengisi kekosongan-kekosongan seperti yang terdapat pada batik Yogyakarta dan Surakarta, yang biasanya semua tempat diisi isen, dengan berbagai macam motif. Isen yang terkenal dan mungkin yang tertua adalah bentuk yang disebut cecek atau titik. Kegemaran untuk mengisi kekosongan dengan isen juga dipakai di Indramayu, tetapi hanya dalam bentuk titik. Sedangkan akhir-akhir ini beberapa perusahaan batik di Cirebon yang biasanya menerima pesanan berdasarkan mode, menggunakan motif-motif isen dari Jawa Tengah dan dengan demikian meninggalkan ciri-ciri tradisional batik Cirebon. Ciri lain yang terdapat baik pada ukir-ukiran maupun batik adalah campuran warna. Warna-warna utama dibagi ke dalam beberapa nada warna, mulai dari warna yang sangat muda sampai ke warna yang tua, misalnya warna merah muda, lalu ke merah mawar sampai ke merah anggur.
5. Sumber Inspirasi Batik Keraton Cirebon dan Produk Seni Lainnya
Bertambah majunya Islam serta perkembangan kerajaan pesisir Islam juga menyebabkan cetusan artistik yang baru. Pusat keagamaan dan kesenian yang baru, muncul di sekitar Demak dan terutama di Mantingan. Para seniman mengambil alih simbol-simbol yang disalurkan oleh berbagai media, salah satunya adalah pintado yang warna-warni, sebagaimana orang Portugis menamakan bahan-bahan yang dilukis, yang datang dari Pulicat dan Gujarat di India, mungkin saja adalah batik. Kain brokat, permadani, dan barang pecah belah dari Timur Tengah mungkin juga menjadi sumber-sumber inspirasi.
Sumber inspirasi batik Cirebon berasal dari :
1. Keramik (terutama keramik Putri Ong Tin)
2. Ornamen ukir pada pintu, makam atau ukir kayu dan ukir batu
3. Kereta Singa Barong dan Paksi Naga Liman
4. Wayang Golek Cepak atau wayang kulit Cirebon
5. Naskah dan Mushaf al Quran
6. Bangunan Taman Dalem Agung Pakungwati
7. Lukis Kaca
8. Kaligrafi, dibuat corak binatang yang disembunyikan dalam huruf-huruf Arab.
6. Proses Pembuatan Batik
Batik Cirebon merupakan produk turun-temurun keluarga keraton. Proses pembuatannya menggunakan bahan, alat, dan teknik tradisional. Waktu itu, batik berfungsi sebagai barang seni, yang kemudian bergeser menjadi barang sandang.
Gambar 26. Salah satu contoh proses pembuatan Batik Keraton Cirebon
Dalam proses pembuatan batik dibutuhkan bahan-bahan sebagai berikut :
a. bahan pokok :
1. Kain mori atau kain putih prima/ primisima
2. Lilin batik
Lilin batik dapat diperoleh dari gondorukem, bubur ketan, aci (tepung tapioka yang diberi air) dan lain-lain dan disebut malam. Malam ini dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair.
3. Cap Warna
b. Bahan pembantu atau bahan tambahan :
1. Gondoruken (gandar)
2. Minyak kacang
3. Soda abu
4. Kaustik soda
5. Minyak tanah
6. Tepung tapioka
7. Tapol/ tripol
8. Kayu bakar
Dalam proses pembuatan batik, digunakan peralatan yang sebagian besar dapat dibuat sendiri. Peralatan yang digunakan untuk membuat batik di antaranya :
1. Kenceng (wadah yang terbuat dari tembaga), fungsinya untuk mencuci kain mori dan tempat melilin kain.
2. Alat pemukul yang terdiri dari kayu kemplongan dan pemukulnya, tempat merapatkan dan meratakan kain mori yang telah dicuci.
3. Papan, landasan dalam pengemplangan.
4. Gawangan (terbuat dari bambu atau kayu jati), tempat meletakkan kain yang akan dibatik.
5. Canting (terbuat dari tembaga atau kayu). Canting mempunyai berbagai bentuk dan fungsi, di antaranya :
• Canting bermata kecil untuk isén -isén
• Canting bermata sedang untuk me-réngréng
• Canting bermata besar untuk némbok
• Canting bermata dua untuk membuat garis dobel.
6. Bak (dari batu atau semen) untuk tempat merendam batik.
7. Bak (dari kayu) untuk tempat pewarnaan positif dan negatif.
8. Plorodan atau tong (wadah yang terbuat dari logam), tempat merebus batik agar lilin meleleh.
9. Gawang penjemuran (terbuat dari bambu) untuk tempat menjemur kain yang telah dikétél atau selesai dibatik.
10. Solder (terbuat dari besi dan kayu) untuk menghapus bagian yang salah.
11. Wajan (terbuat dari besi cor) tempat mencairkan lilin.
12. Kompor sebagai alat pemanas.
13. Dingklik (bangku dari kayu) untuk tempat duduk para perajin.
14. Kalender, alat untuk menghaluskan kain yang selesai dibatik.
15. Press berfungsi sebagai alat untuk melipat kain agar rapi.
Proses pembuatan batik terdiri dari tiga tahapan, yaitu persiapan, pembuatan, dan penyelesaian.
1. Tahap Persiapan
Kain yang digunakan pada kain Batik Cirebon biasanya kain putih prima atau primisima, mori, dan sutra. Urutannya meliputi:
a. Memotong kain mori sesuai ukuran. Untuk membuat kain panjang biasanya dipotong dengan ukuran 2,5 meter. Kemudian ujung kain yang telah dipotong dijahit, agar serat-serat kain tidak lepas.
b. Meréndang kain mori untuk menghilangkan bahan kanji atau tepung tapioka yang telah diproses, dengan cara diberi air, direbus, dan diberi sedikit tripol. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan zat kimia yang menghambat proses pewarnaan (mengétél). Kemudian kain dibilas dan dijemur sampai kering.
c. Mengétél atau merendam atau meremas-remas kain mori dalam rendaman adonan bahan pembantu, kemudian dijemur. Proses ini dilakukan berulang-ulang, membutuhkan waktu 4-7 hari agar kanji pada serat kain hilang sama sekali.
d. Mencuci kain yang telah dikétél dengan soda abu agar kain bebas dari bekas adonan kétélan.
e. Mengkanji kain mori secara tipis-tipis agar lilin tidak melekat pada benang. Tujuannya agar kain mudah dibalik. Kemudian dijemur di bawah sinar matahari.
f. Mengeplong atau menghaluskan kain yang telah dikanji dengan cara memukul-mukul kain berkali-kali agar pori-pori terbuka, sehingga warna dapat meresap secara maksimal.
2. Tahap Pembuatan
Tahap proses pembuatan batik Cirebon terlebih dahulu membuat pola pada kertas roti yang disebut dengan plak atau tingkes, kemudian diadaptasi menjadi seni melukis di atas kain yaitu batik. Pada bagian lain kita bisa menyelami teknik membatik, yaitu teknik mencetak atau melukis kain dengan cara menutup sebagian kain dengan malam atau perekat yang dibuat dari beras dan bahan yang sudah sangat tua umurnya, seperti juga patung dari batu atau kayu yang mulanya merupakan bagian dari upacara tradisional.
a. memindahkan rancangan ragam hias (tingkes) ke atas kain. Me-reng-reng atau membuat pola motif langsung di atas kain menggunakan canting ukuran sedang. Proses menggoreskan malam ke atas kain haruslah sejajar dengan permukaan kain, agar malam tidak tumpah. Kemudian meniup ujung canting agar malam tidak menyumbat ujung canting. Jika ujung canting tersumbat, maka diperlukan lidi kecil untuk mendorong sumbatan.
b. Meng-isen-isen atau mengisi bagian tengah motif. Misalnya menggambar bulu pada motif burung dengan canting yang berukuran kecil. Mengisen-isen ada tiga macam, yaitu membuat totol, sawud, dan lingkaran.
c. Menembok atau menutup bagian yang dikosongkan dengan lilin menggunakan canting bermata besar.
d. Mengentus atau menjemur kain tidak sampai kering setelah ditembok dan direndam dengan air.
3. Tahap penyelesaian
a. Mewarnai kain mori yang telah ditus dengan mencelupkan ke dalam bak berwarna negatif untuk warna dasar. Kemudian ditus dan dimasukkan ke dalam bak pewarna positif. Pewarna batik dimulai dengan pewarna yang lebih muda lebih dulu. Kemudian ditutup dengan malam untuk menghambat warna pada kain yang sudah diwarnai sebelumnya dengan menggunakan malam yang mencair saat dipanaskan, sehingga pencelupan dilakukan menggunakan pewarna celup dingin. Proses tersebut diteruskan dengan pewarna yang lebih gelap.
Pewarna pada batik didapat baik dari pewarna alami maupun pewarna buatan.
Pewarna alami yang dapat digunakan pada batik berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon nila untuk pewarnaan biru. Pohon tersebut digunakan juga untuk tarum, nila muda, dan biru muslim.
Warna merah cerah didapat dari pengolahan kayu sepang (Caesalpina sappan) dan mengkudu (Morinda citrifolia) untuk mendapatkan merah tua, ungu, dan coklat. Warna kuning, jingga, hingga coklat didapat dari kunyit atau kunir (Curcuma domestika) dengan nila.
Bahan kimia untuk pewarna buatan pabrik dibagi menjadi dua yaitu pewarna langsung (direct) maupun pewarna tidak langsung (indirect). Pewarna langsung seperti rapid, prosion, dan rhemasol. Pewarna tidak langsung di antaranya nafthol dan indigosol.
Gambar 27. Sebagian contoh Pewarna Alami Batik Keraton Cirebon. Jambal menghasilkan warna cokelat kayu, Secang menghasilkan warna cokelat kemerahan, Tingi menghasilkan warna cokelat, Tegeran menghasilkan warna cokelat kopi, Bixa menghasilkan warna merah atau cokelat, dan Jalawe menghasilkan warna cokelat.
b. Menghilangkan lilin atau penyongan atau plorodan. Setelah dicuci dengan air bersih, dilorot atau direbus dengan air mendidih 100C, kemudian dijemur.
Proses penjelasan di atas disebut sekali proses. Bila proses tersebut selesai, kain batik akan kembali dilorot, maka disebut dua kali proses. Sekali proses lebih baik dari segi warna, namun kurang baik dari segi seninya.
Secara kualitas, batik tulis lebih baik daripada batik cap dan batik fotokopi, sehingga harganya lebih mahal, karena batik tulis pengerjaannya dilakukan secara tradisional. Selain itu pengerjaan selembar kain batik dapat dikerjakan lebih dari satu orang. Biasanya ada yang khusus membuat pola, me-reng-reng dan mengisen-isen. Jenis isen-isen ada tiga yaitu totol (titik), sawud (garis), dan lingkaran. Teknik cantinglah yang membuat batik Cirebon beridentitas.
Gambar 28. Ciri khas teknik menutup dengan malam sehingga terbentuk garis tipis Gambar 29. Garis tipis khas Batik Cirebon hasil menutup dengan malam
Gambar 30. Contoh kebalikan teknik di atas
Ciri khas batik tulis yaitu besarnya motif yang satu dengan yang lain tidak sama. Selain itu pewarnaan antara bagian luar dan dalam batik sama baiknya.
Kekhasan Batik Keraton Cirebon, selain menggunakan motif-motif keratonan, seperti bentuk pakem pandan wangi, wadasan, mega mendung, juga teknik cantingnya yang khas. Pada batik Cirebon tidak diharuskan untuk mengisi seluruh ruang yang ada, seperti batik di daerah Solo dan Yogyakarta. Batik Cirebon proses pembuatannya hampir mirip dengan teknik seni lukis kaca yang berkembang. Untuk motif-motif di atas dipergunakan gradasi warna, biasanya dengan jumlah yang ganjil (dapat mencapai 9-11 gradasi warna).
Warna pada kain batik Cirebon yang khas yaitu kuning gading atau kuning muda yang disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon (Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982).
Gambar 31. Proses pembuatan batik menurut Yuniko, dengan maskot pinguin tanpa meninggalkan ciri khas Keraton Cirebon dengan adanya unsur mega mendung.
Catatan akhir
Purwaka Caruban Nagari, pupuh 193.
Daftar nama kecamatan di Kota sesuai dengan peraturan pemerintah No. 35 tahun1986 tanggal 21 Agustus 1986. Selayang Pandang Kotamadya Cirebon 1994, hlm. 7
H. Rokhmin Dahuri, Dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon ( Jakarta: Percetakan Negara RI, 2004), hlm. 23.
Ibid., hlm. 14. Bahkan, pada masa pemerintahan Belanda, kawasan Cirebon pernah menjadi pusat penanaman tebu terbesar keempat di Jawa, lihat William J. O’ Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anna Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 242.
Eddy Sunarto, dkk., Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, 2007), hlm. 264.
Ibid., hlm. 271.
Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 74.
Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2
Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 37.
Ibid., hlm. 40.
Putri Pangeran Gunung Panti Cucu Panembahan Losari.
P. Hempi Raja Kaprabonan, Sejarah Keraton Kaprabonan, hlm. 3-6.
Ibid., hlm. 12.
Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
Ibid,.
Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 265.
Alih bahasa oleh Aman N. Wahyu, 2007.
Generasi ke-10 yaitu Ki Thalhah, seorang mursyid terkemuka aliran Qadariyah wan Naqsabandiyah di Jawa Barat dan murid Syekh Khatib Sambas, seorang Jawa yang tinggal di Mekah, dan pendiri aliran ini. Mursyid adalah seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk menandakan bagi penganut baru tarekat (ajaran Sufi). Khatib Sambas adalah seorang sarjana Indonesia abad 19 yang terkenal di Mekah, yang lahir di Kalimantan. Ia diakui sebagai orang yang menggabungkan ajaran-ajaran Qadariyah dan Naqsabandiyah menjadi satu ajaran yaitu Qadariyah wan Naqsabandiyah. Aliran ini mungkin telah memiliki benteng yang kuat di Trusmi dan Astana. Lihat, Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, hlm. 268-269.
Ibid., hlm. 269-272.
Pangeran Insan Kamil bertempat tinggal di jalan Pegajahan menikah dengan Ratu Mayawati. Pangeran Insan Kamil adalah seorang kaum ningrat Cirebon keturunan dari Keraton Kaprabonan. Beliau mempunyai murid tarekat yang berasal dari Desa Trusmi dan sekitarnya antara lain: Madmil, Kibol dan Kadmini. Para murid dan rekan-rekan lainnya membentuk suatu kegiatan bisnis bersama yaitu membuet batik. Motif-motif yang dibuat adalah motif batik keratonan sesuai dengan pesanan dari Pangeran Insan Kamil maupun istrinya, Ratu Mayawati. Selain motif keratonan mereka pun berkreasi menciptakan motif sendiri, karena mayoritas pembuat batik adalah para pengikut tarekat yang kebanyakan laki-laki, maka motif batik yang dibuat lebih bersifat maskulin/ kelaki-lakian (bersifat pria), dimana jarang terdapat unsur batik yang bermotif atau bergambar bunga. Dari nama murid atau tokoh pembuat batik di atas, Mang Kibol adalah paman dari Sanira (wawancara dengan Yuniko).
Wawancara dengan Elang Sugiarto dan diperkuat kakaknya, Elang Muhammad Hilman, S. Arsiparis, pada tanggal 15 Agustus 2008.
Wawancara dengan H. Supriatna.
Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon” (t.t.p: LIPI, tt), hlm. 129.
Ibid., hlm.139.
Ibid., hlm. 134.
Casta dan Taruna, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), hlm. 56.
Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon”, hlm. 141.
Oleh Drh. Bambang Irianto, BA
Jl. Gerilyawan No. 04 Kesambi Kota Cirebon 45133 HP 081312017567
-6.716667
108.566667