PENGENALAN BATIK KERATON CIREBON

PENGENALAN BATIK KERATON CIREBON

1. Pendahuluan
Batik bukanlah merupakan produk budaya yang seketika ada. Namun mempunyai sejarah yang panjang pada proses pembentukannya sehingga muncul dalam bentuknya dewasa ini. Makna atau arti dari suatu ragam hias tidak mudah untuk diterangkan dengan kata-kata. Seorang seniman yang memakai suatu ragam hias, kerap kali berbuat begitu saja tanpa mengetahui artinya, karena memang seniman tersebut mempelajari seni tersebut dari gurunya, begitu saja tanpa mengetahui maknanya. Jika kita hendak mengerti tentang makna simbolik dari suatu produk seni budaya, maka kita harus menelusurinya kembali jauh dalam sejarah, bahkan harus tiba di zaman prasejarah. Kita harus mempelajari pengaruh-pengaruh terpenting dari zaman sejarah dan zaman prasejarah yang membentuk seni budaya Indonesia.
Menurut A.N.J. Th. van der Hoop.(1949), para seniman Indonesia sekarang harus mempelajari jiwa dan arti seni yang lebih kuno, tetapi mereka harus mencari jalan baru sendiri.
Jika dilihat dari ragam hiasnya, motif batik Indonesia banyak bersumber dari seni hias zaman prasejarah seperti ragam hias geometrik dan ragam hias perlambangan. Penerapan ornamen dengan berbagai motif geometrik pada batik tidak banyak bedanya dengan pola ornamen pada hiasan perumahan dan benda kerajinan di daerah pedalaman. Pola ornamen ini selalu menjadi ciri dasar dan selalu berulang pada karya seni rupa tradisional di daerah .
Ternyata kesenian yang dianggap primitif dari zaman prasejarah justru mempunyai kekuatan batin dan dasar-dasar rohani, yang tidak terdapat pada bentuk-bentuk seni yang lebih sempurna pada zaman berikutnya. Dalam seni budaya primitif, arti ragam hias lebih penting bila dibandingkan dengan seni budaya mutakhir, yang lebih mengutamakan keindahan/ (estetika) belaka. Kalau kita mempelajari ragam hias dari berbagai bangsa dan dari berbagai zaman, maka kita akan merasa kagum melihat penyebaran secara luas menurut tempat dan waktu dengan ragam hias yang sama. Mengapa dengan ragam hias yang sama, bisa terdapat pada daerah yang sangat berjauhan serta rentang waktu yang sangat berbeda?
Ada tiga teori yang mungkin bisa menjawab tentang penyebaran ragam hias di berbagai benua :
1. Teori Difusi (Diffusion Theory) menunjukan bahwa penyebaran ragam hias berasal dari satu pusat/daerah tertentu ke berbagai benua, sehingga ragam hias di berbagai benua tersebut mempunyai kesamaan atau kemiripan. Namun teori ini menemui banyak sanggahan untuk bisa diterima.
2. Teori yang kedua berasal dari seorang ahli berbangsa Jerman bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 M) yang menyatakan bahwa persamaan ragam hias di berbagai negeri yang berjauhan letaknya (paralelisme) karena pada dasarnya jiwa manusia di mana-mana adalah sama pula. Teori ini dinamakan Elementargedenken.
3. Teori ketiga dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dari sudut ilmu jiwa yang memperkuat teori kedua. Ia mengatakan bahwa selalu munculnya lagi lambang yang sama adalah akibat dari archetypen yang terletak jauh di dalam alam bawah sadar tiap-tiap diri manusia.

Permasalahan tersebut di atas berlaku pula bagi Indonesia. Ambil sebagai contoh: ular. Ragam hias ular, yang biasa disebut naga dalam pewayangan, bersesuaian dengan ragam hias dari India yang berbasis kebudayaan Hindu. Padahal ragam hias ular sudah dipakai oleh orang Papua, jauh sebelum masa kedatangan Hindu. Demikian pula dengan gambaran-gambaran ular yang dipakai orang Dayak di Kalimantan, lebih mirip dengan naga dari Tiongkok. Hal ini berlaku pula untuk ragam hias yang lain seperti burung. Orang Indonesia dengan mudahnya menerima berbagai ragam hias Hindu, justru karena mereka telah mengenalnya dalam kebudayaan mereka sendiri yang lebih tua. Tetapi justru inilah yang menjadi sebab perubahan makna pada motif yang sama dari periode waktu tertentu ke periode waktu selanjutnya.
Indonesia telah lama sekali didiami manusia. Di zaman es, negeri ini belum menjadi kepulauan, tetapi masih bersatu dengan daratan Asia. Sudah hidup orang primitif seperti Pithecantropus erectus dan Homo soloensis yang hidup 200.000 tahun yang lalu. Kita tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang seni budaya orang-orang tersebut. Lama sekali setelah itu, nenek moyang orang Papua dan nenek moyang orang Melanesia harus berjalan melalui kepulauan ini, untuk tinggal pada akhirnya di Papua dan Melanesia. Di tempat kediaman mereka sekarang, mereka mempunyai kebudayaan sendiri. Akhirnya, kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang lain merambah memasuki wilayah Papua. Kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi, terjadi imigrasi nenek moyang orang Indonesia yang berasal dari Yunnan (Tiongkok Selatan).
Dari sana mereka berjalan ke pantai barat dan timur Hindia Belakang, kemudian mereka berjalan terus ke selatan dan pada akhirnya tiba di Indonesia yang sekarang. Orang-orang Indonesia yang paling pertama ini belum dapat menulis. Jadi mereka hidup dalam tingkat kebudayaan zaman prasejarah. Juga mereka tidak dapat mengerjakan logam, tetapi mereka membuat perkakas-perkakas dari batu yang digosok. Karena itulah zaman mereka hidup kita sebut zaman “batu muda” atau Neolithicum. Mereka mulai menanam padi di sawah, terbukti dengan ditemukannya mata cangkul/pacul yang terbuat dari batu. Kemungkinan mereka sudah berternak kerbau, bertenun, dan membakar periuk. Mereka mengerjakan kayu dan menghiasnya dengan ukir-ukiran serta membuat perahu. Terbukti dengan ditemukannya kampak beliung batu, pahat-pahat lengkung, dan sebagainya. Juga telah dibuat oleh mereka arca-arca leluhur untuk pemujaan ruh leluhur mereka. Pada tahun-tahun 500-300 sebelum Masehi, mulailah ditemukan logam perunggu dan sedikit besi yang berasal dari Tonkin bagian utara Indo Cina. Dengan segera orang Indonesia belajar membuat perunggu dan menempa besi. Kebudayaan yang memiliki kepandaian mengerjakan logam disebut kebudayaan perunggu atau kebudayaan Dong Son, menurut nama tempat penemuan Dong Son di Tonkin. Batang-batang perunggu itu sangat bagus, penuh dengan ragam hias. Dengan demikian kebudayaan Dong Son mempunyai pengaruh yang besar atas seni budaya Indonesia.
Di zaman Neolitikum, seni budaya Indonesia kuno bersifat monumental dan bersifat lambang. Pada saat itu, orang sudah menatah batu dan kayu dengan gambar-gambar tertentu seperti pintu kayu dengan pahatan cicak atau biawak. Kepercayaan tentang cicak atau biawak pada awalnya adalah jelmaan para dewa yang ditaruh di atas pintu lumbung untuk mengusir hantu dan mencegah malapetaka. Jadi, disain seni budaya tidak digunakan untuk perhiasan, tetapi menjadi usaha spiritual (perbuatan sakti). Justru karena itu kesenian primitif ini menimbulkan kesan yang khusus.
Dalam kebudayaan perunggu atau Dong Son, niat menghias semakin tampil mengemuka dan bidang benda-benda dihias. Namun untuk ragam hias ini, lambang-lambang tetap digunakan seperti yang sering kita lihat pada pilin berbentuk huruf S atau pilin berganda, swastika, meander, atau banzi. Ragam hias inilah yang menjadi ragam hias alam dan ragam hias peredaran matahari, yang dalam hal ini berhubungan dengan pemujaan matahari pada zaman itu. Ragam hias ini banyak terdapat dalam seni budaya kita sampai sekarang.
Kebudayaan Neolitikum dan kebudayaan perunggu kedua-duanya menjadi dasar bagi kebudayaan Indonesia. Yang umum terkenal adalah pengaruh besar yang diberikan budaya India kepada budaya Indonesia.
Batik Keraton Cirebon adalah suatu karya seni yang dilukis pada kain melalui teknik celup rintang, menggunakan malam dengan corak dan gaya Keraton Cirebon, yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat Keraton Cirebon. Batik tradisional Keraton Cirebon yang merupakan produk seni, dalam sejarah perkembangannya yang panjang hingga masa masuknya Islam di Cirebon, telah diwarnai dengan pemaknaan dari sudut pandang tarekat yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan di Keraton Cirebon.
Ungkapan batik menurut kalangan petarekan Cirebon (para pengikut tarekat di Cirebon), merupakan singkatan dari ba titike ning esor, bagiya sing andhap asor, Artinya, huruf ba (huruf kedua hijaiyah Arab) mempunyai titik pada bagian bawahnya, berbahagialah orang yang berlaku rendah hati. Huruf ba menurut kaum petarekan sangat penting karena merupakan huruf awal dari kalimat Bismilaahirrohmaanirrohiim seperti yang tertera pada bagian pangkal dari batik bendera Cirebon, yang mempunyai arti “dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Batik juga merupakan suatu alat untuk menyimpan “suatu semangat atau cita-cita tertentu” yang disampaikan sebagai risalah atau pesan untuk generasi berikutnya atau generasi penerus, sehingga cita-cita bersama itu akan tetap hidup dan tidak pudar. Hal serupa sebagai media penyimpan pesan tersebut juga tertuang pada produk seni tradisional Cirebon lainnya, antara lain pada batu (nisan), kayu (seni ukir), lukis kaca, serta keramik atau gerabah, di samping tertera pada naskah kertas daluang maupun lontar.

2. Batik Secara Umum
Beberapa pengertian batik yang bisa ditampilkan sebagai berikut:
Definisi batik Keraton Cirebon menurut penulis, Batik Keraton Cirebon ialah suatu seni kriya yang dibuat dengan cara melukiskan malam pada sebuah kain, yang dipergunakan oleh kalangan Keraton Pakungwati /Caruban Nagari, beserta keturunannnya sampai dewasa ini yang tersebar di wilayah Cirebon.
Seni Batik Tradisional Keraton Cirebon adalah keahlian membuat corak atau gambar pada kain yang bermutu tinggi, yang pembuatannya secara khusus selalu berpegang teguh pada adat dan kebiasaan yang ada secara turun temurun, sejak masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.

3. Pengelompokan Batik Cirebon.
Berdasarkan perkembangan sejarahnya batik Cirebon dibagi menjadi batik Keraton Cirebon dan batik pesisiran Cirebon. Penggolongan tersebut dibedakan berdasarkan pada sifat ragam hias dan pola pewarnaannya, serta ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatannya.
Baik motif batik Keraton Cirebon maupun motif batik Cirebon persisiran banyak dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan kebudayaan di Cirebon. Hal tersebut tidak lepas dari benturan, perpaduan, asimilasi dengan kebudayaan kerajaan-kerajaan kuno, kebudayaan asing seperti Cina, India, Arab, dan Persia serta kebudayaan yang masuk kemudian seperti budaya kolonial (Eropa). Salah satu unsur penting pembentukan kebudayaan tersebut adalah letak geografisnya yang terletak di persilangan jalur lalu-lintas antara benua Timur dan benua Barat. Jalur pelayaran tersebut melintas sepanjang pantai utara Pulau Jawa (“jalur menyusur pantai”) dan Jalur Sutera Darat, sehingga produk budaya yang terbentuk di Cirebon merupakan hasil dari pluralitas kebudayaan bangsa-bangsa yang singgah di sana.

• Batik Keraton Cirebon
Bila di Keraton Yogya dan Solo, batik keratonan dikenal dengan sebutan Batik Vorstenlanden,-yaitu seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan pada zaman penjajahan Belanda.-maka batik keratonan di Cirebon sudah berkembang sejak awal perkembangan agama Islam di daerah Cirebon. Lebih awal atau mungkin hampir bersamaan dengan perkembangan batik di Mataram, karena dari sejarah pendiriannya, Keraton Cirebon telah berkembang lebih dulu dibandingkan Keraton Mataram yang berkembang di kemudian hari, sehingga kerajinan batik di Cirebon diduga telah berkembang sebelum berdirinya Kerajaan Mataram di Yogya dan Solo.
Kalaupun ada kemiripan antara batik Cirebon dan batik Yogya dan Solo, bukan berarti batik Cirebon meniru batik Yogya dan Solo, sebab deskripsi sejarah Cirebon, jauh lebih tua daripada Keraton Mataram. Begitu pula bila terdapat penggunaan batik Yogya dan Solo yang digunakan dalam wisuda Jumenengan Sultan Cirebon, itu karena terpaksa atau dipaksa. Hal itu berkaitan dengan kepemimpinan Panembahan Adining Kusuma atau Panembahan Ratu Akhir, yang naik tahta pada tahun 1649 dalam status tawanan Raja Mataram Amangkurat I di ibukota Mataram selama tidak kurang dari dua belas tahun hingga wafatnya. Pada saat itu, segala aspek sosial budaya diharuskan berkiblat pada aturan Mataram.

• Batik Pesisiran Cirebon
Batik Pesisiran Cirebon yaitu batik yang berasal dari luar keraton-keraton di Cirebon. Pada saat itu para perajin batik membuat batik keratonan, namun mereka sendiri tidak boleh memakai hasil batik mereka, karena motif-motif keratonan hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton, sehingga mereka menciptakan motif pesisiran yang inspirasinya diambil dari pengamatan alam sekitar, misalnya budaya masyarakat, pemandangan alam yang sifatnya lebih naturalis, dinamis dan bebas. Aktivitas membuat batik juga pada awalnya bukan pekerjaan utama masyarakat pesisir yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Kebebasan seniman batik yang didominasi oleh kebutuhan pangsa pasar batik, membuat batik berfungsi sebagai barang dagangan.
Motif batik Pesisiran Cirebon lebih bebas baik motif maupun pewarnaannya. Motif-motif yang digunakan pada batik pesisiran biasanya berasal dari alam, seperti motif flora dan fauna, baik darat maupun laut. Ragam hias burung, kupu-kupu, udang, ikan, mimi, ganggeng umum kita jumpai pada batik ini
Batik Pesisiran Cirebon ini kental dengan pengaruh budaya asing baik dalam ragam hiasnya maupun pewarnaannya. Batik Pesisiran di Cirebon memiliki warna yang lebih cerah. Banyak menggunakan warna bang-biru, hijau, kuning dan putih. Bang-biru artinya abang atau merah merupakan pengaruh dari budaya Cina dan biru merupakan pengaruh dari budaya Eropa. Batik Pesisir yang paling banyak berkembang di Cirebon adalah batik yang mempunyai pengaruh dari budaya Cina. Sampai sekarang ragam hiasnya masih banyak dijumpai seperti motif flora dan fauna, meliputi bunga, burung, binatang laut, binatang darat, ikan, pepohonan, dan daun. Motif-motif Eropa seperti Batik Kompeni sudah jarang kita temui lagi.
Contoh-contoh motif Batik Pesisiran Cirebon di antaranya: kapal minggir, kapal kandas, kapal keruk, piring hias selapandan, karang jahe, kopi susu, lengko-lengko, puser bumi, daro tarung, angen-angen, banyak angrem, tambal sewu, banji tepak, iwak mangrup, tikel balung, gunung giwur, supit urang, pucang kanginan, pangkalan anggrek, mato daro, dan masih banyak lagi motif yang lainnya.
Bentuk-bentuk yang diadopsi oleh batik keratonan di Cirebon di antaranya bentuk naga, wadasan, mega mendung yang berakar dari budaya Cina. Pengaruh ini tidak lepas dari salah satu istri Sunan Gunung Jati yaitu Ong Tin, perempuan asal Cina yang peduli dengan budaya dan kesenian lokal. Bentuk singa yang berakar dari budaya Cina, Arab, dan Persia, serta bentuk gajah dan trisula yang berakar dari budaya India (Hindu-Budha), dan tumbuhan rambat yang berakar dari budaya lokal.
Motif batik keratonan biasanya mempunyai pakem-pakem tertentu dan mempunyai ciri yang khas yang terletak pada motifnya. Contoh khas motif Batik Keraton Cirebon sebagian besar menggunakan: wadasan, mega mendung, dan pandan wangi yang merupakan hiasan pokok batik Cirebon. Hiasan-hiasan pokok tersebut merupakan pengaruh dari budaya Cina. Ada pula beberapa yang menggunakan ragam hias pohon lam alif, singa barong, paksi naga liman, dan macan ali, serta motif lokal tumbuhan rambat seperti kangkung.
Ragam hias pokok motif batik Cirebon didominasi oleh pengaruh Cina yang sudah distilisasikan, namun lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam seluruh ragam hias batik Keraton Cirebon. Meskipun motif tersebut merupakan pengaruh budaya Cina, sehingga secara fisik Cina, namun pada perkembangannya motif tersebut ruhnya bernafaskan ajaran Agama Islam.
Ruh Islam di dunia Batik Keraton Cirebon merupakan pengejawantahan dari tarekat di Cirebon. Keindahan tarekat dituangkan dalam keindahan motif batik Cirebon, dengan menyimpan risalah pesan yang secara implisit tertuang dalam corak motif batik.
Muncul sebuah pertanyaan: “mengapa Islam?”, karena semenjak berdirinya, Caruban Nagari adalah sebuah negara yang bersifat multi kultur, merupakan melting pot dari budaya-budaya Arab, Persia, India, Cina, maupun lokal nusantara, yang semua itu disatukan dalam ruh Islam. Hal ini dapat dilihat dari kondisi dan jumlah masyarakat Cirebon pada awal didirikannya.
Wilayah Cirebon memiliki kekayaan khasanah budaya batik yang variatif, baik yang masih tetap ada sampai sekarang, maupun yang sudah punah tinggal kenangan.
Pengelompokan batik berdasarkan sentra-sentra pembuatan dan sekaligus ciri khas masing-masing, bisa kita berikan sebagai berikut:
1. Batik Keraton.
Di dalam perkembangannya Keraton Cirebon dewasa ini terbagi menjadi empat keraton yang masing-masing mempunyai ciri khas sendiri, yaitu Keraton Kasepuhan mempunyai khas batiknya adalah singa barong, Keraton Kanoman mempunyai khas batiknya adalah paksi naga liman, Keraton Kaprabonan juga mempunyai khas batiknya yaitu dalung dan motif tanpa gambar hewan, dan terakhir Keraton Kacirebonan, yang mempunyai khas batiknya yaitu yang berhubungan dengan bintulu.
2. Batik Kenduruan.
Batik Kenduruan diproduksi dan dipakai oleh komunitas Tionghoa, terletak di tengah-tengah Kota Cirebon. Kenduruan dihuni oleh masyarakat Cina yang murni, yang dalam proses asimilasinya mengambil batik sebagai bahan pakaiannya. Corak khas Cina seperti banzi, swastika, anjing laut, burung phoenix, kapas, dan tentu saja lokcan . Seperti yang dipakai pada batik pesisiran lain, warna yang digunakan adalah yang umum digunakan pada keramik tensulam Cina, antara lain biru dan putih atau merah dan putih dengan kelibatan hijau, kuning, jingga, dan merah. Batik Kenduruan sekarang sudah tidak diproduksi lagi.
3. Batik Plumbon.
Plumbon merupakan suatu daerah yang terletak di Kabupaten Cirebon, berasal dari kata palu amba. Pimpinannya bergelar Ki Gedeng Palu Amba, murid Sunan Gunung Jati. Di daerah ini terdapat pemukiman masyarakat yang pada suatu waktu mempunyai hubungan penting dengan keraton-keraton Cirebon. Ki Gede Palu Amba dimakamkan berdampingan dengan Ki Gede Kuningan. Ki Gede Kuningan adalah murid Sunan Gunung Jati yang setia. Batik Plumbon sudah tidak diproduksi lagi, tetapi batiknya masih disimpan pada beberapa keluarga dan dikenal dengan warna merah mengkudunya, serta motifnya yang kuat atas pengaruh motif lung-lungan dan utah-utahan.
4. Batik Trusmi.
Trusmi adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Cirebon. Batik Trusmi dewasa ini sudah sangat terkenal, baik lokal, nasional, bahkan sampai mancanegara. Di samping itu pun ada batik Kali Tengah yang kedua-duanya merupakan pusat para perajin.
5. Batik Paoman.
Paoman adalah nama salah satu desa di Kabupaten Indramayu, yang terletak ditepi sungai Cimanuk sebelum alirannya dipindahkan karena sering banjir. Semua batik Paoman masih dibuat dengan teknik tulis (painting), umumnya para pengusaha dan pengrajin batik di Paoman adalah wanita, sedangkan kaum laki-lakinya mayoritas berprofesi sebagai nelaya dan dahulu para nelayan Paoman berangkat ke laut lewat sungai Cimanuk.

Catatan akhir
Batik termasuk jenis seni klasik, maka pengetahuan tentang ornamen dan desain hiasan batik dan arti perlambangan dari motif hias dituntut bagi seorang pembatik. Tuntutan itu diperlukan agar nilai perlambangan yang ada pada setiap hiasan tidak lenyap. Demikian pula tata warna pada batik klasik tidak dapat sembarangan diubah karena setiap warna yang tampil mempunyai pula arti perlambangan. Arti perlambangan dari hiasan batik, ada yang tampil pada ragam hias geometrik secara murni di samping ragam hias yang bersifat geometrik dari hasil rekaan bentuk-bentuk organik. Lihat, Wiyoso Yudoseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama (Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008), hlm. 217.
Ibid., hlm. 216.
Ibid., hlm. 215-216. Sementara para ahli berpendapat bahwa batik merupakan salah satu khasanah kebudayaan asli Indonesia, terdapat juga dugaan lain yang menyatakan bahwa batik berasal dari luar Indonesia, seperti dari Turki, Mesir, Persia, dan India. Yang jelas, seperti halnya keris dan wayang, batik telah menempuh sejarah perjalanan yang lama. Dugaan bahwa sejak zaman prasejarah pembuatan batik sudah dimulai adalah berdasarkan kenyataan bahwa tradisi batik kuno sampai sekarang masih dipakai di beberapa pedalaman yang terasing dari kebudayaan luar. .
1. Menurut William Kwan, kata batik berasal dari kirata bahasa Jawa yaitu amba dan tik. Amba artinya menggambar. Tik artinya titik-titik. Jadi yang dimaksud dengan membatik adalah kegiatan menggambar titik-titik.
2. Batik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
a. Corak atau gambar pada kain yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
b. Cak (ragam percakapan) kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
3. Menurut Kamus Bahasa Cirebon – Indonesia, batik, membatik, batikan adalah lukis, melukis, melukis pada bahan kain (lawon) untuk tata busana (batik nganggit gambar rerupa endah ning lawon bakal tapih, tumrape tata busana batik paoman duwe ciri warnaning rupa biron lan putihan, utawa kulit dukuhan).
4. Batik menurut kamus bahasa Cirebon karya T.D Sudjana, dkk. adalah karya seni pada kain.
5. Tidak terdapat pada kamus Kawi-Indonesia, karya Prof. Wojowasito.
6. Menurut buku “Batik Cirebon” karya Casta, M.Pd. dan Taruna, S.Pd, yang menyebabkan munculnya istilah batik adalah isen tutul yang bercirikan titik-titik. Suku kata tik pada kata “batik” disebabkan batik banyak mengunakan isen-isen yang berbentuk bintik-bintik atau titik-titik.
7. Menurut “Buku Tekstil”, oleh Cut Kamaril Wardhani dan Ratna Panggabean, batik merupakan cara menghias latar kain melalui teknik celup rintang. Cara ini telah dilakukan sejak masa pelukisan dinding-dinding gua. Batik kemudian berkembang dan menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, kepercayaan, serta perlambang.

Lokcan bukan nama motif tapi merupakan bahan yang digunakan untuk membatik. Menurut Sewan Susanto, lokcan berarti lok = sutra, can= biru, atau sutra biru yang dipakai untuk bahan membatik. Motifnya bisa terdiri dari motif burung Hong, bunga, dan daun seperti yang terdapat dalam selendang juana. Hampir semua batik pesisir memiliki corak yang terdapat dalam lokcan ini.

PENGEMBANGAN BATIK DI KERATON CIREBON

PENGEMBANGAN BATIK DI KERATON CIREBON

1. Deskripsi Cirebon, Keraton, dan Kitarannya
Cirebon dengan letak geografisnya di daerah pesisir pantai Pulau Jawa, tentu saja termasuk ke dalam mata rantai perdagangan internasional (Jalur Sutera) pada masa itu. Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada 1415 M armada Angkatan Laut Cina singgah di Cirebon dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam.
Selain pelayaran oleh Laksamana Cheng Ho, banyak lagi pelayaran yang dilakukan oleh pedagang Cina dan juga Kekaisaran Cina, termasuk pelayaran Putri Ong Tin yang menikah dengan Sunan Gunung Jati pada tahun 1481.
Bahwa Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan oleh Tomé Pires pada tahun 1513 M. Mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Krian (kini dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Catatan Tomé Pires menunjukkan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang besar dan ramai, jauh lebih ramai dari pelabuhan Demak. Hal tersebut diukur berdasarkan kemampuannya untuk dilayari jenis perahu junk. Pelabuhan Cirebon didukung dengan adanya Sungai Bondet yang dapat dilayari oleh perahu junk sejauh 9 mil (Corteaso, 1967 :183,186).
Kota Cirebon adalah salah satu kota di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, yang terletak di bagian ujung timur laut Jawa. Selain merupakan pusat kegiatan pemerintah, sosial politik, pendidikan, dan kebudayaan, juga merupakan pusat kegiatan perekonomian yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan daerah ini sebagai daerah tujuan wisata, perdagangan, pelabuhan, dan industri.
Wilayah Cirebon pada masa pemerintahan kolonial terdiri dari Kota Cirebon, dengan empat kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Kota Cirebon terletak pada lintas 108 33, BT 6 41 LS dan terbentang pada suatu dataran rendah sepanjang 7 km dari pantai utara ke arah timur laut dari Jawa Barat dengan panjang rata-rata 5 km.
Wilayah kota Cirebon dibatasi oleh:
– sebelah utara / barat laut : Sungai Kedung Pane
– sebelah barat : Sungai Banjir Kanal / Kab. DT. II Cirebon
– sebelah selatan : Sungai Kalijaga
– sebelah timur : Laut Jawa
Luas Kota Cirebon hanya mencapai 37,36 km2. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat jumlah penduduk 272.263 jiwa dari lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Kejaksan, Kecamatan Kesambi, Kecamatan Lemahwungkuk, Kecamatan Harjamukti, dan Kecamatan Pekalipan. Selain dari kalangan pribumi, di Kota Cirebon terdapat sejumlah orang asing atau pendatang yang pernah atau masih menetap sampai sekarang. Mereka terdiri dari orang Eropa, Cina, dan Timur Asia lain. Dalam kelompok orang Eropa yang paling banyak jumlahnya adalah Belanda, sedangkan pada kelompok Timur Asing jumlah pendatang terbanyak berasal dari Cina dan Arab. Selain kelompok etnis Cina, sesudah Indonesia merdeka peran orang-orang Eropa dapat dikatakan tidak lagi berarti. Bahkan, secara berangsur-angsur mereka pulang ke negaranya. Sementara orang Arab dan Cina berhasil mengintegrasikan diri dalam masyarakat Cirebon, dan karena kesamaan keyakinan bagi orang Arab, mereka tidak dipandang sebagai orang asing lagi. Sebagian dari pendatang tersebut tinggal dan berbaur dengan masyarakat pribumi, sedangkan yang lainnya hidup dengan kelompoknya masing-masing dan terkonsentrasi pada suatu daerah. Salah satu perkampungan Arab di wilayah kota adalah daerah Panjunan dan Pecinan di daerah Karanggetas, Pasuketan, dan Pekiringan. Para pendatang tersebut berperan penting dalam menggerakkan sektor perdagangan kota Cirebon.
Dalam perjalanan sejarah Kota Cirebon telah mengalami beberapa kali pergantian status pemerintahan. Mula-mula menjadi pusat kerajaan Cirebon, kemudian berlanjut pada masa pendudukan Belanda sebagai ibu kota Karesidenan, ibu kota kabupaten, dan sekaligus sebagai ibukota distrik. Bahkan pada tahun 1906 daerah Kota Cirebon dijadikan sebagai gemeente (kotapraja). Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Cirebon juga sekaligus merupakan jalur lalu-lintas perekonomian antara Jawa Barat, DKI Jakarta, serta Jawa Tengah, tidak heran jika Cirebon berkembang sebagai kota pelabuhan, perdagangan, industri, dan budaya di Jawa Barat. Sementara itu berdasarkan pembagian wilayah pemerintahan, Cirebon dibagi menjadi dua yaitu Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon.
Kota Cirebon memiliki empat buah bangunan keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kaprabonan, dan Keraton Kacirebonan. Kompleks bangunan keraton di Cirebon dipisahkan dengan bangunan lainnya. Pemisahan bangunan keraton biasanya dengan tembok keliling, parit atau sungai buatan, dan sungai alamiah.
Keraton Kasepuhan yang dibangun pada zaman Mbah Kuwu Cerbon (Pangeran Cakrabuana) dan Syekh Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), merupakan kelanjutan atau perkembangan dari Keraton Pakungwati yang dibatasi oleh tembok, juga Sungai Sipadu dan Sungai Kriyan. Letak Keraton Kasepuhan memanjang dari utara ke selatan, didirikan pada sebidang tanah seluas kurang lebih 64.000 meter persegi. Secara administratif Keraton Kasepuhan berada di Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, tepatnya pada koordinat 06 43. 559 Lintang Selatan dan 108 34. 244 Bujur Timur.
Lokasi Keraton Kanoman terletak di Jalan Lemahwungkuk sebelah timur, Jalan Pulasaren sebelah selatan, yang tepatnya berada di jalan Winaon, kampung Kanoman, Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk. Keraton Kanoman ini berada pada dataran pantai tepat pada koordinat 06 43. 15,8 Lintang Selatan dan 108 34. 12,4 Bujur Timur. Di sebelah utara keraton terdapat pasar tradisional, dan di sebelah selatan dan timur merupakan pemukiman penduduk. Tata letak Keraton Kanoman memanjang dari utara ke selatan dan menempati tanah seluas kurang lebih 20.000 meter persegi, sedangkan Keraton Kacirebonan yang dibangun pada tahun 1814 M ini memanjang dari utara ke selatan di atas tanah seluas kurang lebih 18.000 meter persegi.
Keraton Kacirebonan terletak di tengah-tengah kota yang tepatnya di Jalan Pulasaren No. 48. Kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan. Tempat tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan umum angkutan kota (angkot). Untuk memasuki Keraton Kacirebonan pengunjung hanya dapat berjalan kaki melewati alun-alun Keraton Kacirebonan, dan kondisi sekitarnya terdapat toko dan gedung. Jarak Keraton Kacirebonan dari kantor pusat Pemerintahan (Walikota) Cirebon diperkirakan 3 km.
Keraton Kacirebonan merupakan keraton termuda dan terkecil di Cirebon. Tetapi walaupun secara fisik merupakan keraton terkecil di Cirebon, namun di dalamnya terdapat berbagai kekayaan budaya.

2. Sejarah Batik di Kota Cirebon
Sebelum kita membahas sejarah batik Cirebon, kita terlebih dahulu membahas tentang sejarah Keraton Cirebon yang mejadi inspirasi motif batik Cirebon. Pada zaman dahulu, sejarah sering dipertukarkan dengan silsilah. Dari silsilah tersebut seseorang dapat memperoleh legitimasi untuk meraih kekuasaannya secara turun-temurun dari pendahulunya. Namun sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah secara umum, yaitu kejadian atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi pada masa lampau yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat.
Berbicara tentang sejarah Cirebon, kita seolah masuk ke dalam hutan belantara yang penuh dengan misteri. Seorang wisatawan yang belajar dan mendapat gelar doktornya tentang budaya di Cirebon, Alan Tomas, mengatakan “Cirebon is a big secret”. Belum ada satu orang pun yang dapat merekonstruksikan secara tepat peristiwa yang terjadi ratusan tahun silam. Upaya yang dilakukan untuk mengupas sejarah Cirebon begitu sulit.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Drs. Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Carbon”, berubah lagi menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat”, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”, kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage”, dan berproses lagi menjadi “Grage”. Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana). Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi.

Awal Mula Kerajaan Cirebon
Di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, dan ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara tersebut, sehingga ia menikahi sang putri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini dilahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang keluar dan meninggalkan lingkungan keraton, disusul kemudian oleh adiknya Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih, yang memilki seseorang putri yang bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi putri pendeta itu, kemudian mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati yang berasal dari Mekah. Setelah mereka berguru beberapa tahun lamanya, dan dianggap selesai dalam pelajaran dasar agama Islam, Raden Walangsungsang dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir. Pada waktu itu disebut juga Tegal Alang-alang, tepatnya berlokasi di Lemahwungkuk. Raden Walangsungsang oleh gurunya diberi nama Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti namanya menjadi Haji Abdullah Iman.
Raden Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnik bercampur, agama juga bercampur. Raden Walangsungsang kemudian dipilih oleh masyarakat sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurus pertanian dan perikanan, sehingga ia diberi gelar Ki Cakrabumi dan Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu”.
Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang (di Tanah Suci berganti nama menjadi Syarifah Mudaim), karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di Tanah Suci ini, Nyai Lara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan Muhammad keturunan Bani Hasyim, dan mempunyai keturunan bernama Syarif Hidayatullah dan Nurullah.
Setelah pernikahan adiknya, Raden Walangsungsang memutuskan kembali ke Jawa untuk bersyiar dan mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal, Raden Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban II dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang, selanjutnya Pangeran Cakrabuana mendapat gelar sebagai Sri Mangana yang diberikan dari ayahnya, Prabu Siliwangi. Menurut oral history, Pangeran Cakrabuana membuat umbul-umbul pertama di Cirebon, berdasarkan ilham dari bendera Majapahit, yaitu “gula kelapa”, bendera merah putih yang menjadi bendera Kerajaan Demak Bintoro, umbul-umbul ini masih terdapat di pedaleman Keraton Kasepuhan, yang kondisinya sudah rapuh. Umbul-umbul ini berwarna hijau, berisikan dua kalimat syahadat dan umbul-umbul ini juga merupakan kebesaran yang pertama dibuat di Cirebon, yang mencerminkan kebangsaan dari Cirebon. Pangeran Cakrabuana juga membuat dan membatik bendera Cirebon, yang di dalamnya terdapat ragam hias tiga Sing Barwang, Golok Cabang, bacaan Basmalah, al-Quran Surat al-Ikhlas dan al-Anam ayat 103 Seta Bintang. Menurut Negara Kretabhumi, bendera ini kemudian diberikan ke Mangkunegaran.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya dan berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada ulama di Mekah dan Baghdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama uwaknya. Posisi tersebut diganti oleh adiknya, Nurullah.
Sebelum tiba di Jawa, Syarif Hidayatullah singgah dulu di beberapa tempat selama beberapa waktu, kemudian setelah sampai di Jawa beliau bertemu dengan Sunan Ampel dan ikut ke Jawa Timur untuk memperdalam syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Setibanya di Caruban, ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia, kemudian ia digelari Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.
Syekh Jati menikah dengan Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan, tetapi tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia karena sakit. Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan putri Pangeran Cakrabuana, Dewi Pakungwati, yang masih sepupu sendiri. Syekh Jati kemudian mengembangkan Islam di Banten dan bertemu dengan Bupati Kawunganten (keturunan Pajajaran). Beliau sangat tertarik pada hal-hal yang diajarkan oleh Syek Jati itu, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari pernikahan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah seorang putra yang bernama Pangeran Sabakingking yang dikenal dengan nama Maulana Hasanuddin yang kelak meneruskan perjalanan ayahnya (Syekh Jati) di Banten. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati untuk kembali ke Caruban untuk menggantikan kedudukannya dan dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala Nagari Caruban dengan diberi gelar Susuhunan Jati, yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1479 M inilah, Caruban Larang mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kasultanan di Cirebon atau kerajaan Islam di daerah Sunda Pesisir, dan Keraton Pakungwati dijadikan pusat pemerintahannya.
Pada tahun 1481, Susuhunan Jati menikah dengan Ong Tien seorang putri Cina. Tidak lama kemudian, pada tahun 1485 istrinya meninggal dunia, dan setelah itu beliau menetap di kedaton Pakungwati.

Gambar 1. Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan

Masjid Agung Cirebon, yang sekarang terletak di sebelah utara alun-alun Kasepuhan, bernama Ciptarasa, merupakan hasil kerja orang Demak dan Cirebon. Konon pekerjanya berjumlah 500 orang dipimpin oleh Raden Sepet atau Raden Sepat, yang sebagaimana juga pembangunan masjid Demak, di bawah pengawasan para wali yang diketuai oleh Sunan Kalijaga.
Menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, tahun pembangunannya memakai Candra Sangkala, yang berbunyi: mungal (1) mangil (1) mungup (4) duwe ning asu (1), yaitu tahun 1141 Saka/ 1489 M.
Setelah Sunan Ampel wafat, pusat pensyiaran para Wali Sembilan bersumber di Cirebon. Menurut tradisi, Sunan Gunung Jati diangkat menjadi wadana para wali dan Cirebon disebut puser bumi, sebagai pusat penyiaran agama Islam untuk wilayah sebelah barat.
Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) wafat. ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan, seperti yang dijalankan oleh kakeknya (Sunan Gunung Jati). Sultan lebih banyak bertindak sebagai ulama daripada umaro. Bidang agama lebih dipentingkan daripada persoalan politik dan ekonomi. Kedudukannya selaku ulama, merupakan salah satu alasan yang menyebabkan Sultan Mataram segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. VOC mencoba mendekati Panembahan Ratu, tetapi tidak berhasil, tetapi Mataram malah mempererat hubungan dengan Cirebon dengan perkawinan politis antara putra Panembahan Ratu dengan putri Kerajaan Mataram. Perkawinan politis juga dilakukan oleh cucu ke dua belah pihak, yaitu antara Panembahan Girilaya dengan putri Sunan Amangkurat I (cucu Sultan Agung).
Ketika Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649, dalam usia yang sangat tua, yaitu 102 tahun, ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II, karena anaknya, Pangeran Seda ing Gayam telah wafat lebih dahulu. Dari pernikahannya dengan putri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memilki tiga orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sementara itu, Sunan Amangkurat I, anak Sultan Agung, berbeda sikap terhadap Kerajaan Cirebon. Semasa Panembahan Ratu I masih hidup, Cirebon sangat disegani dan masih dihormatinya, meskipun pada akhirnya Amangkurat I berubah pikiran. Sikapnya yang berubah itu semakin jelas, ketika Panembahan Girilaya dengan kedua putranya, Martawijaya dan Kertawijaya, diharuskan tinggal di Mataram. Bahkan akhirnya, Panembahan Girilaya meninggal di Mataram pada tahun 1667. Pada masa inilah Kerajaan Cirebon mulai mengalami perpecahan di antara sesama saudara karena memperebutkan kedudukan, yang juga sebagai imbas dari permainan politik Kerajaan Mataram, Banten, dan VOC.
Setelah Panembahan Girilaya wafat, Kasultanan Cirebon terbagi tiga yaitu: pertama, Kasultanan Kasepuhan, yang dirajai oleh Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Raja Syamsuddin dan dikenal juga sebagai Sultan Sepuh I. Kedua, Kasultanan Kanoman, yang dirajai oleh Pangeran Kertawijaya dengan gelar Sultan Muhammad Badriddin yang dikenal juga sebagai Sultan Anom I, dan yang ketiga, Panembahan Cerbon yang dikepalai oleh Pangeran Wangsakerta atau dikenal dengan Panembahan Cirebon I.

Gambar 2. Keraton Kasepuhan
Gambar 3. Keraton Kanoman

Sultan Sepuh I memiliki dua putra, yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cerbon. Ketika Sultan Sepuh I meninggal dunia pada tahun 1697, Kasultanan Kasepuhan dibagi menjadi dua yaitu Kasepuhan dengan sultannya Pangeran Dipati Anom dan Kacirebonan dengan dipimpin Pangeran Aria Cerbon. Pembagian ini terjadi akibat kedua putra Sultan Sepuh I sama-sama ingin mendapatkan jabatan menjadi sultan di Kasepuhan. Sejak tahun 1699 di Cirebon terdapat empat keraton, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Panembahan.
Sultan Anom I mempunyai tiga istri. Istri yang pertama (permaisuri) tidak mempunyai keturunan, sedangkan istri yang kedua, Ratu Sultan Panengah mempunyai keturunan yang pertama bernama Pangeran Raja Adipati Kaprabon dan kedua Ratu Raja Kencana. Istri yang ketiga, Nyai Mas Ibu mempunyai putra yang bernama Pangeran Manduraredja.

Gambar 4. Bangsal luar Keraton Kaprabonan

Pangeran Raja Adipati Kaprabonan (putra pertama Raja Kanoman dari istri kedua) setelah ibundanya wafat, oleh ayahnya diangkat dengan diberi gelar Sultan Pandita Agama Islam, dan diserahi busana pakaian perang kerajaan wali yang dinamakan Kaprabon. Pangeran Raja Adipati, diserahi juga warisan ajaran agama dan ilmu untuk disebarkan kepada seluruh umat khususnya di Cirebon. Kemudian ia ditugaskan untuk bertahta di suatu tempat bekas kediaman Ki Gedeng Pengalang-alang dan Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang), yang terletak di lingkungan Lemahwungkuk, sebelah timur alun-alun Keraton Kanoman. Kemudian tempat kediaman Pangeran Raja Adipati ini menjadi terkenal oleh masyarakat sekitar, sehingga tersebar luas dan masyarakat menyebutnya Kaprabonan, sampai sekarang. Pangeran Raja Adipati Kaprabon merasa senang dan cocok di tempat tersebut, lalu ia membangun rumah dan masjid (mesigit/ tajug), dan kemudian menjadi tempat tinggal Pangeran Raja Adipati Kaprabon.
Setelah Sultan Anom I wafat, hak waris pengganti kekuasaannya jatuh pada Pangeran Raja Adipati Kaprabon, tetapi karena Pangeran tersebut hatinya sedang antusias belajar ilmu agama, maka pengangkatan sultan ini diwakilkan untuk sementara waktu kepada adiknya dari istri Sultan Anom I yang ketiga, Pangeran Manduraredja. Pada waktu Sultan Anom I wafat, Pangeran Raja Adipati Kaprabon berada di Keraton Kaprabonan sehingga pemerintahan Keraton Kanoman dipegang oleh Nyi Mas Ibu (istri ketiga, Sultan Anom I) yang banyak pendekatannya dengan pemerintah Belanda, sehingga Pangeran Manduraredja lebih diakui dengan gelar Sultan Carbon Qodirudin di Keraton Kanoman, sedangkan Pangeran Raja Adipati Kaprabon sendiri menjadi tertutup hak warisnya atas kesultanan di Keraton Kanoman.

Gambar 5. Gambar 6.
Pangeran Angkawijaya Kaprabon Pangeran Aruman Raja Kaprabon
(1918-1946) (1946-1974)
Sultan Kaprabonan VII Sultan Kaprabonan VIII

Gambar 7. Gambar 8.
Pangeran Herman Raja Kaprabon Pangeran Hempi Raja Kaprabon
(1974-2001) (2001 s/d sekarang)
Sultan Kaprabonan IX Sultan Kaprabonan X

Dari riwayat ini lah Pangeran Raja Adipati Kaprabon menjadi Sultan pertama di Keraton Kaprabonan, yang mempunyai misi mengembangkan ajaran agama Islam seperti perjuangan para waliyullah terdahulu terutama karuhunnya, Sunan Gunung Jati. Di Keraton Kaprabonan, Pangeran Raja Adipati Kaprabon mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kebathinan kepada murid-muridnya, dan beberapa tahun kemudian banyak orang yang berdatangan baik dari pribumi maupun luar daerah untuk belajar agama dan menjadi murid di Keraton Kaprabonan.
Setelah Pangeran Raja Adipati Kaprabon wafat pada tahun ± 1734 M, kemudian kedudukannya dan ajaran agamanya secara turun-temurun diteruskan oleh putra-putranya sampai sekarang.
Keraton Kaprabonan mempunyai lambang pusaka yaitu Dalung Damar Wayang, yang berbentuk “manuk beri” yang merupakan lambang dari Nur Muhammad “bibiting roh” induk dari ruh-ruh makhluk yang diciptakan Allah SWT.

Gambar 9. Lambang Keraton Kaprabonan “Dalung Damar Wayang”

Gambar 10. Pangeran Raja Kaprabon (Sultan Kaprabonan VIII), anggota konstituante RI berserta garwa (istri) dengan memakai kain batik khas Kaprabonan

Di Keraton Kacirebonan Awal, Pangeran Aria Cerbon meninggal, Keraton Kacirebonan oleh Belanda ditiadakan, tidak ada penerus sebagai pimpinan Keraton Kacirebonan. Kemudian pada abad ke-18, Belanda yang semakin sewenang-wenang ikut campur dalam birokrasi di Keraton Cirebon, dan selanjutnya pembagian kekuasaan di Cirebon itu sampai tahun 1768 tidak mengalami perubahan. Pembagian yang dilakukan oleh VOC mengenai simbol kekuasaan, tanah-tanah sesuai ukuran luasnya, dan jumlah daerah dengan cacahnya sampai akhir abad ke-18 tetap menimbulkan perselisihan di kalangan penguasa-penguasa di Cirebon itu, dan banyak para Pangeran dan ulama yang keluar dari lingkungan keraton karena tidak suka dengan sikap Belanda.

Gambar 11. Pangeran Patih (duduk, keempat dari kiri) dan Famili Kasultanan Kanoman

Gambar 12. Sultan Kanoman(duduk di tengah) bersama Pengageng Sultan di Keraton Kanoman

Pada masa Kasultanan Kanoman dipimpin Sultan Khaeruddin Awal, Belanda terang-terangan melibatkan diri dalam urusan pemerintahan, dan menyebarkan budaya-budaya yang dilarang dalam agama, seperti berdansa dan minum-minuman beralkohol. Mufti Kasultanan Kanoman, Kyai Muqoyyim (pendiri Pesantren Buntet) mengundurkan diri dan memilih keluar dari lingkungan keraton. Ia membentuk kekuatan dengan mendirikan podok-pondok di pedalaman sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda.
Setelah Sultan Khaeruddin wafat, putranya yang bernama Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela campur tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi meninggalkan keraton dan bergabung dengan guru ayahnya, Kyai Muqoyyim di Buntet. Pangeran Raja Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang. Belanda memilih menobatkan orang lain yang pro dengannya, walaupun bukan pewaris kedudukan sultan. Semenjak itu rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta agar kedudukan sultan diganti oleh Pangeran Raja Kanoman.
Perlawanan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di daerah Cirebon saja, melainkan meluas juga ke wilayah Kabupaten Karawang yang pada waktu itu beribukota di Kandanghaur, dan di Sumedang arah timur-laut. Sasaran utama dari gerakan perlawanan rakyat Cirebon ialah orang-orang Cina, karena mereka dianggap bekerjasama dengan Belanda dan secara langsung memeras rakyat, sehingga banyak orang Cina yang dibunuh, seperti di Palimanan, Lohbener, dan Dermayu.

Gambar 13. Keraton Kacirebonan

S.H. Rose selaku Residen Cirebon pada waktu itu dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang menyebarluaskan desas-desus sehingga rakyat membenci pemerintah Belanda ialah Pangeran Raja Kanoman beserta sebagian dari kaum agama (ulama) yang telah memihak Kanoman. Untuk mengembalikan keamanan di daerah Cirebon harus dilakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap oleh Belanda sebagai kaum rusuh.
Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman di Ambon, Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin berontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para ulama mendesak dan menginginkan agar Pangeran Raja Kanoman dipulangkan dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman diangkat sebagai Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri yang terjadi pada tahun 1802-1806 M.
Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 M ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton, tetapi singgah di Gua Sunyaragi. Pada tanggal 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan Kacirebonan. Selama menjadi Sultan, Pangeran Raja Kanoman tidak mempunyai istana (keraton), karena menurut Belanda ia adalah pemberontak. Sultan Kacirebonan menjadikan tempat di dekat Gua Sunyaragi sebagai pusat kekuasaanya. Selama Sultan Kacirebonan memerintah, ia tidak banyak berhubungan dengan pihak Belanda, dan bahkan selama hidupnya tidak menerima bantuan apapun dari Belanda.
Sementara itu, setelah gerakan perlawanan tidak berdaya lagi menghadapi kekuatan militer kolonial, maka sebagai akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda di bidang politik, nampaklah bahwa posisi dan peranan pemimpin pribumi yang diangkat Belanda hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga antara mereka dengan rakyat terdapat jurang pemisah yang semakin lebar. Tahun 1809 merupakan titik puncak runtuhnya peranan kepemimpinan sultan-sultan di Cirebon, karena daerah Cirebon sejak tahun itu dijadikan hak milik pemerintah kolonial Belanda. Sultan-sultan diangkat sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji.
Pada tahun 1814, Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II wafat. Untuk melanjutkan peranan beliau kepada keturunannya, istri sultan meminta hak-hak kerja Sultan Kacirebonan selama hidupnya. Berkat kecerdasan istrinya, dengan uang gaji itu ia membangun Keraton Kacirebonan yang diteruskan oleh keturunannya yang bergelar Madenda.

Gambar 14. Sultan Raja Madenda IV
(1931-1950)
Sultan Kacirebonan V
Gambar 15. Sultan Moch. Mulyana Amir Natadiningrat
(1968-1997)
Sultan Kacirebonan VIII

Gambar 16. Sultan Abdul Gani Natadiningrat
(1997 s/d sekarang)
Sultan Kacirebonan IX

Gambar 17. Jumenengan Sultan Raja Muhammad Zulkarnaen di Gedung Karesidenan Cirebon (1873)

Gambar 18. Jumenengan Sultan Raja Muhammad Nurbuat di Gedung Karesidenan Cirebon (1938)

Sejarah Batik Cirebon
Dalam perjalanan waktu, ternyata Trusmi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Keraton Cirebon. Sejarah Batik Trusmi pun tidak lepas dari nama Mbah Buyut Trusmi serta Ki Gedeng Trusmi, yang terletak di Desa Trusmi, Kecamatan Weru, 7 km sebelah barat Cirebon dan 1,5 km utara Cirebon-Bandung atau jalur utama Cirebon-Jakarta. Untuk transportasi umum ke Trusmi cukup banyak dari Cirebon, yakni dengan menggunakan angkot jurusan ke Plered, dan ke Situs Trusmi bisa dengan becak atau ojeg.
Situs Trusmi adalah situs yang kedua setelah Situs Astana dalam hal pengunjung dan festivalnya, walaupun ukurannya lebih kecil dari Astana. Tidak seperti Astana, yang langsung di bawah pengawasan keraton, Trusmi sekarang tidak lagi demikian. Dalam kepengurusan makam di Trusmi, harus keturunan dari pengurus yang lalu, tetapi dalam beberapa hal, keputusan terakhir dimusyawarahkan dengan aparat desa, terutama kepala desa dan tidak melibatkan sultan. Dalam hal ini tidak jelas sejak kapan kesepakatan ini dimulai.
Menurut buku yang diterbitkan Badan Kombudpar Kabupaten Cirebon, Mbah Buyut Trusmi adalah Pangeran Cakrabuana yang datang ke daerah tersebut untuk mengajarkan Islam, bercocok tanam dan mengasuh cucunya Bung Cikal (Pangeran Trusmi), setelah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Sunan Gunung Jati. Bung Cikal dalam buku ini merupakan anak dari Pangeran Arya Carbon dengan Nyi Cupuk, anak Ki Gede Trusmi (Muhaimin, 2001). Pangeran Arya Carbon telah meninggal ketika Bung Cikal masih kecil. Sedangkan Ki Gede Trusmi merupakan orang taklukan Mbah Kuwu Cerbon II. Menurut buku ini, nama Trusmi diambil dari kebiasaan Bung Cikal sewaktu kecil yang senang memangkas tanaman yang baru bersemi. Namun setiap kali dipangkas, tanaman tersebut semakin subur, sehingga dinamakan Pedukuhan Trusmi. Pedukuhan Trusmi berubah menjadi Desa Trusmi diperkirakan pada tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya Perang Diponegoro.
Ki Gedeng Trusmi dalam Naskah Mertasinga disebut sebagai Bung Cikal. Bung Cikal asal kata dari rebung (bambu muda). Ketika itu, ibu Bung Cikal, Nyi Rara Konda yang merupakan anak dari Pangeran Cakrabuana, sangat menginginkan makan rebung. Menurut naskah tersebut, Bung Cikal adalah anak Nyi Rara Konda dengan Sunan Gunung Jati, yang kelak menuntut gugat waris kepada para wali pada saat pemerintahan Panembahan Ratu. Namun usahanya menuntut waris gagal, karena pada saat itu hadir Sunan Kalijaga yang mengatakan bahwa Bung Cikal tidak mendapatkan hak waris karena bukan putra.
Dalam hal ini sejarah Ki Gedeng Trusmi merupakan sejarah peteng, yaitu sejarah yang ditutupi duduk perkaranya, mengingat kondisi sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Setelah beliau gagal menggugat waris, oleh Sunan Kalijaga Bung Cikal diperintahkan pergi ke daerah gundul untuk ditanami. Lama-kelamaan daerah tersebut tumbuh tunas-tunas yang terus bersemi sehingga menjadi pedukuhan yang kian ramai sehingga diberi nama Trusmi.
Namun menurut sumber lain, Naskah Mertasinga, ketika Sang Anom (Sunan Gunung Jati) tengah duduk tafakur di Jabal Muqamat, di bawah pohon Bambu Gading, dia melihat ada seorang gadis berlalu di kaki bukit, yaitu Nyi Rara Konda, anak Nyi Gedeng Jati dengan Pangeran Cakrabuana. Melihat gadis itu hati Sang Anom tergetar tiada henti, sebagaimana halnya jejaka melihat gadis, hatinya terasa bahagia sekali, sang Anom kemudian meraga sukma. Rara Konda pulang dan menangis tersedu-sedu dihadapan ibundanya, dia merajuk tak bisa dibujuk lagi menginginkan rebung (anak pohon bambu) mangsa katiga. Nyi Gedeng Jati sangat masygul hatinya melihat putrinya resah seperti itu. Dia pun pergi mencari rebung di puncak bukit. Sementara itu Sang Anom telah meninggalkan tempat tersebut.
Sang ibu memperoleh anak pohon bambu (rebung) gading dari puncak bukit yang besarnya hanya sekepal. Kemudian rebung itu diberikan pada putrinya. Nyi Rara Konda sangat gembira dan tidak menunggu dimasak lagi, didorong keinginannya yang demikian besar, dia segera menyantapnya mentah-mentah. Setelah menyantap rebung tersebut, konon Nyi Rara Konda menjadi hamil tanpa bersuami dan melahirkan anak laki-laki. Nyi Gedeng Jati sangat bahagia karena memperoleh seorang cucu laki-laki.
Mengenai rebung tunggal ini semua orang pernah mendengarnya. Anak itulah yang kelak bernama Gedeng Trusmi (dipanggil juga Bung Cikal, ‘Bung’ asal kata dari rebung) dan kelak menggugat waris pusaka dari para Wali. Permintaan itu ditolak dengan jawaban ‘ora oleh sing konone’ (tidak dapat dari sananya), sehingga kemudian dikenal ada peribahasa ‘ora olih sing Konda’. Gedeng trusmi pada kenyataannya bukan anak dari perkawinan, itulah yang disebut ‘yuga’, bukan anak sebenarnya, sehingga dia tidak memperoleh pusaka. Tetapi itu adalah masalah duniawi, karena tidak ada yang menyamai dengan derajat yang diwarisinya, yaitu kewaspadaan dalam hal ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut versi orang Trusmi, Ki Gedeng Jati mempunyai seorang anak gadis. Ketika gadis itu lewat di Kedaleman, kebetulan Pedaleman Sinuhun (Sunan Gunung Jati) di Gunung Jati Kulon sedang duduk-duduk di bawah rindangnya awi gading (bambu gading). Ketika melihat gadis itu, meneteslah titisnya dan jatuh di atas rebung.
Pada suatu hari gadis itu berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin sekali makan rebung bambu gading. Ki Gedeng pun pergilah memintanya di Kedaleman. Tak lama kemudian gadis itu hamil. Pada waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki bernama Bung Cikal. Tidak dikisahkan masa kecil anak tersebut, tetapi setelah menginjak dewasa ia datang menghadap ke Kedaleman untuk meminta warisan. Pada sekitar tahun 1568 M itu yang menjadi sultan adalah Panembahan Cerbon I karena Pedaleman Sinuhun di Gunung Jati Kulon sudah meninggal dunia.
Sunan Kalijaga yang pada waktu itu berada di situ menolak permintaan Bung Cikal dengan mengatakan, “He Bung Cikal, sia teu boga waris sabab lain putra”. (He Bung Cikal, kamu tidak punya hak waris sebab bukan anak) dan memerintahkan membersihkan atau membuka leuweung kulon (hutan barat). Bung Cikal menebas semua pepohonan yang ada di hutan itu sehingga berubah menjadi tegalan gundul. Setelah terlihat demikian keadaannya, Bung Cikal diperintahkan lagi untuk mengolahnya. Maka ditanamilah tegalan yang telah gundul itu dengan pohon buah-buahan. Lama kelamaan pelataran itu amat subur dan menjadi pemukiman baru yang diberi nama Dayeuh Trusmi.
Di daerah Trusmi tersebut Ki Gede Trusmi melakukan penyebaran agama Islam sembari membatik. Menurut “Buku Sejarah Nama Desa di Cirebon”, Ki Gedeng Trusmi meninggal pada usia remaja dan dimakamkan dipuncak Gunung Ciremai.
Sedangkan Ki Gede Trusmi, menurut buku Dinas Kombudpar Cirebon, merupakan orang taklukan PangeranWalangsungsang Cakrabuana yang kemudian memeluk agama Islam.
Baik Pangeran Cakrabuana maupun Sunan Gunung Jati memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan sejarah Trusmi. Pangeran Cakrabuana mendirikan Pesantren Curug Landung. Pesantren ini menatar para calon gegede/ ki gede tentang berbagai ilmu agama dan ilmu kemasyarakatan. Di pesantren ini pula Sunan Gunung Jati mengucapkan pepatah-petitih yang menjadi wasiat Sunan Gunung Jati yaitu “Bumi becil ala menungsa, Ingsun titip tajug lan fakir miskin”.Tajug pada zaman dahulu bukan hanya tempat shalat, tetapi merupakan tempat belajar. Miskin di sini bukan saja miskin harta tetapi juga miskin akidah dan nilai-nilai agama.
Sejalan dengan perkembangan batik di keraton, di daerah Trusmi juga berkembang batik Trusmi. Trusmi pada saat itu termasuk ke dalam wilayah keraton Cirebon, di sana terdapat para penggede Keraton Cirebon. Situs-situsnya pun hingga kini masih dapat ditemui di daerah Trusmi, di antaranya situs petilasan Mbah Buyut Trusmi dan Ki Gede Trusmi. Situs Mbah Buyut Trusmi dan makam Ki Gedeng Trusmi hingga kini masih terawat dengan baik. Bahkan setiap tahun dilakukan upacara yang cukup khidmat, yaitu upacara Ganti Welit (atau rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun sekali.
Versi yang berbeda ditemukan dalam Muhaimin (2001). Dalam disertasinya yang dibukukan itu, dijelaskan bahwa orang yang tinggal pertama di daerah Trusmi adalah Ki Gede Bambangan. Ketika beliau sedang membersihkan tanaman, beliau mendengar ucapan salam misterius, “Asalamualaikum.” Namun tak ada seorangpun di sana. Bersamaan dengan ucapan salam tersebut, tanaman liar yang sedang dibersihkannya tersebut tumbuh bersemi kembali. Tidak lama kemudian, muncullah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati dengan mengucap salam persis seperti yang ia dengar sebelumnya. Kemudian Ki Gede Bambangan masuk Islam.
Dari ke empat sumber di atas, Naskah Mertasinga dan Naskah Carios Ki Gedeng Trusmi merupakan bukti sekunder dalam sejarah, karena tidak ditulis sezaman dengan isi naskah tersebut. Secara logika, tidaklah mungkin Bung Cikal berasal dari titis Sunan Gunung Jati. Di sini mulai didapat titik terang, yaitu antara Ki Gedeng Trusmi dan Ki Gede Trusmi adalah orang yang berbeda. Keturunan kemit sekarang bukanlah keturunan Bung Cikal melainkan keturunan Ki Gede Trusmi. Kemungkinan Bung Cikal menuntut hak waris Pangeran Cakrabuana, yang sebelum Sunan Gunung Jati bertahta, beliau menjadi penguasa Cirebon. Inilah yang dimaksud dari sejarah peteng. Sejarah sebenarnya dalam Keraton Cirebon yang tidak diceritakan karena hal ini di kemudian hari dapat menjadi percikan yang memyebabkan, perpecahan perebutan warisan dan tahta kepemimpinan.
Dari narasi-narasi naskah dan bukti yang ada di atas, dapat dilihat bahwa
1. Trusmi pada saat itu merupakan bagian dari Keraton Cirebon, dimana para penggedenya masih kerabat keluarga Keraton Cirebon.
2. Mbah Buyut Trusmi, Ki Gedeng Trusmi, dan Ki Gede Trusmi (Pangeran Trusmi) adalah orang yang berbeda. Pangeran Trusmi meninggal ketika masih remaja, sehingga tidak mungkin pengelola situs Mbah Buyut Trusmi adalah keturunan Ki Gedeng Trusmi (Pangeran Trusmi yang nota bene adalah keturunan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana). Yang masih mungkin adalah keturunan Ki Gede Trusmi dari jalur yang lain.
3. Batik Keraton Cirebon telah berkembang lebih dahulu dibandingkan Trusmi. Karena Sunan Gunung Jati pada waktu pelantikannya telah memakai batik.
Situs Trusmi terdiri atas dua areal yang dipisahkan oleh ruang kecil dari pintu masuk bagian barat, menuju pintu masuk bagian timur. Areal pertama berada di sebelah selatan, yang terdiri atas masjid dan paviliunnya, sedangkan areal kedua berada di sebelah utara, yaitu makam Ki Gede Trusmi dan Pangeran Trusmi. Kedua areal tersebut dikelilingi oleh tembok batu-batu kuno setinggi 2 meter yang disusun tanpa semen.

Gambar 19. Situs Trusmi
Gambar 20. Witana

Bangunan tertua yang didirikan oleh Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) disebut Witana, bandingkan dengan kata Witana dalam bahasa Jawa Kuna, adalah singkatan dari ‘wiwit ana’ yang berarti ‘yang pertama ada (dibangun)’. Witana oleh Walangsungsang dipakai untuk beristirahat dan mengajarkan ajaran Islam. Bangunan tersebut terletak dekat Pekulahan, kolam tempat mandi dan berwudlu yang airnya berasal dari sungai di dekat situ. Di sebelah witana berdiri masjid, salah satu bangunan utama kramat, meskipun sering direnovasi, masih tetap terlihat keantikannya karena struktur bangunan, atap kayu (sirap), tiang-tiang, memolo (kubah), mimbar dan kendi-kendi air (padasan) untuk berwudlu dipertahankan sebagaimana aslinya.
Bagian makam terdiri atas pendopo (ruangan penerimaan tamu), pekuncen (pondok juru kunci), dua jinem, bandingkan dengan kata Jinem dalam bahasa Jawa Kuna, (singkatan dari si-ji kang ne-nem, ‘satu mengandung enam’) di barat dan timur, untuk pemondokan para peziarah yang bermalam, sebuah ruangan penyimpanan 17 macam batu, ruang ganti pakaian juru kunci, paseban (ruangan peziarah), dan gedongan (bangunan batu) tempat makam Ki Buyut Trusmi dan Pangeran Trusmi. Semuanya adalah tanggung jawab 9 kelompok penjaga yang disebut kuncen. Mereka dipimpin oleh seorang sep (kepala juru kunci) yang direkrut dengan cara yang sama seperti pemilihan kepala desa. Sep yang sekarang adalah generasi ke-15 sejak Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana).
Sep dibantu oleh empat juru kunci dan empat kyai, para pembantu kunci, yang merupakan keturunan kuncen terdahulu. Jumlah sembilan penjaga ini, menurut Ki Turdjani, seorang kunci di Trusmi, bermakna ganda. Makna pertama adalah pekerjaan sembilan wali, penyebar Islam di Jawa, dan yang kedua adalah sembilan penyebar Islam di dunia, yakni Nabi, empat Khalifah pengganti Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan empat imam mazhab syariat (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i).
Bangunan fisik dan tradisi di Trusmi membawa pesan-pesan simbolis yang menekankan arti agama Islam sebagai agama yang rukun dan damai. Panjang keseluruhan tembok adalah 60 depa. Jumlah ini adalah perlambang jumlah nabi-nabi, 25 diantaranya adalah para rasul, dengan Nabi Muhammad sebagai rasul yang terakhir. Gagasan 25 pembawa wahyu dan nabi terakhir ditandai pada perayaan tradisional Maulid (muludan) di Trusmi, yang dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud. Penggunaan depa (jangkauan dua tangan yang diluruskan, kira-kira sepanjang 1,75 m.) merefleksikan bahwa setiap nabi memimpin umat manusia menuju jalan yang lurus (sirat al-mustaqim), jalan satu-satunya yang membaawa manusia hidup selamat di dunia dan akhirat. Di seluruh tembok kompleks juga terdapat 60 kubah batu (candi laras), yang melambangkan bahwa risalah yang dibawa 60 nabi adalah guna menuju hidup yang harmonis antar sesama manusia dan alam.

Gambar 21. Pintu makam Mbah Buyut Trusmi

Pintu masuk makam Mbah Buyut Trusmi, terdapat gapura yang punya arti ampunan, yang bermaksud bahwa tujuan utama dari orang-orang yang mengunjungi tempat tersebut ialah untuk memohon ampunan Tuhan, baik untuk orang lain yang masih hidup dan yang telah meninggal maupun diri sendiri. Pintu masuk sebelah timur yang menuju masjid, terdapat di dalamnya sebuah tabir dalam bentuk tembok yang berukuran tinggi 2 meter dan lebar 2 meter. Hal ini menandakan, jika seseorang ingin melakukan ibadah (shalat berjamaah di masjid), orang tersebut harus memiliki keputusan yang teguh dan rendah hati, yaitu hanya untuk Allah semata, bukan untuk orang lain. Pintu masuk sebelah barat yang menuju ke pendopo juga mempunyai maksud dan arti yang sama seperti penjelasan yang di atas, dengan tujuan untuk menjumpai orang-orang dan pekuncen (tempat juru kunci) untuk berziarah, sedekah atau untuk berhubungan dengan orang banyak, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup.
Menurut Ki Turjani, yang terpenting dari hal-hal yang di atas adalah adanya landasan kuat untuk menarik kesimpulan dari sekian banyak amsal bahwa Islam adalah agama yang damai, seperti yang diperkenalkan oleh para wali dengan cara yang damai dan halus, dengan menggunakan pendekatan berangsur-angsur, persuasi, dan cara-cara yang patut dicontoh. Dalam hal ini, aspek-aspek Islam sebagai agama damai dan selaras sangat ditekankan. Pada akhirnya, penggunaan kiasan dan cerita-cerita dongeng sebagai representasi simbolik sesuai dengan kondisi yang ada dan pandangan tentang dunia dan tradisi, merupakan ciri utama.

Gambar 22. Denah makam Mbah Buyut Trusmi
Keterangan
1. Gerbang barat 12. Kuta hijab
2. Kuta hijab 13. Pekulahan
3. Pendopo 14. Witana
4. Pakemitan 15. Pewadonan
5. Jinem Kulon 16. Ruang istirahat untuk wanita
6. Batu-batuan (Watu Pendadaran) 17. Masjid
7. Ruang pakaian 18. Jembatan
8. Paseban 19. Sungai
9. Makam Mbah Buyut Trusmi 20. Perkampungan
10. Jinem Wetan 21. Jalan
11. Gerbang Timur 22. Kantor Desa

Para perajin batik di Trusmi pada awalnya merupakan sekelompok orang yang mendalami ilmu tarikat dan tergabung dalam sebuah wadah tarikat Naqsabandiah wal Qodiriah yang dipimpin oleh Panembahan Trusmi. Wadah tarikat di sini mungkin saja berasal dari pesantren yang dulu didirikan oleh Pangeran Cakrabuana. Para perajin Trusmi dan Kalitengah pada saat itu didominasi oleh kaum pria, sehingga pekerjaan membatik dilakukan sebagai ibadah. Kemudian mereka berinisiatif melakukan usaha bisnis yang bersifat ekonomis dan bernilai agama sembari berdakwah.
Kegiatan membatik di Trusmi dan di keraton mengalami pasang surut. Terlebih ketika pada abad ke- 18 Cirebon mengalami berbagai macam masalah seperti kelaparan, wabah, kerusuhan sosial, dan emigrasi masal (Siddique,1977). Pada tahun 1943, di Cirebon terjadi kelaparan yang sangat serius karena Cirebon yang tadinya produsen dan pengekspor beras dipaksa menanam kopi, gula, tarum, teh, dan cengkeh oleh Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia. Sehingga jangankan untuk membeli bahan sandang, untuk makan pun masyarakat mengalami masa susah.
Pembuatan batik Cirebon dilakukan oleh para perajin pada periode akhir hingga sekarang, dilakukan oleh orang yang sama, yaitu pembatik di desa Trusmi, sebuah desa di wilayah Kabupaten Cirebon, yang berjarak hanya beberapa kilometer saja dari Kota Cirebon. Desa tersebut sebagian besar penduduknya mengerjakan kerajinan batik. Tempat ini sekarang menjadi pusat industri kerajinan batik, baik tulis maupun cap. Seiring berjalanya waktu, para pembatik di keraton mulai memudar. Tetapi kegiatan membatik di daerah Trusmi berkembang kian pesat.

Gambar 23. Sesepuh Trusmi

Di sana industri batik berkembang dengan pesat karena sebagian besar pengusaha menganggap usaha batik merupakan usaha bisnis murni. Business is business, sehingga persaingan usaha batik di sana sangatlah keras. Mungkin inilah yang menyebabkan para perajin Trusmi lupa, bahwa mereka, menurut Kartani (2008), sudah tercabut dari akar rumputnya yaitu tarikat. Bahkan banyak perajin dan pengusaha tidak mengerti makna filosofis yang terkandung dalam batik itu sendiri.
Kondisi persaingan batik yang ketatlah yang menjadikan usaha batik berkembang pesat terutama batik pesisiran yang banyak diminati oleh pasar. Usaha baitik menjadi business minded. Sedangkan pemesan Batik Keraton Cirebon hanyalah kalangan keraton, seniman, dan kolektor. Namun demikian motif batik keraton yang berkembang di Cirebon tetap berakar dari keraton-keraton Cirebon.
Masa keemasan Batik Trusmi terjadi sekitar tahun 1950-1968. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah sekolah dari tingkat SD hingga SMA dan Koperasi Batik Budi Tresna yang sanggup membangun Gedung Koperasi yang sangat megah. Bangunan koperasi itu kini menjadi Museum Batik di daerah Trusmi.
Batik yang sekarang berkembang di daerah Trusmi sudah beraneka ragam. Bahkan beberapa galeri tidak hanya membuat batik Cirebon tetapi batik dari daerah lain. Hal tersebut dipicu oleh faktor pangsa pasar yang ada. Produsen batik membuat batik berdasarkan permintaan konsumen di pasaran.

Gambar 24. Pengurus Koperasi Batik di Trusmi tahun 1927. Baris atas nomor 2 dari kiri Madsimo, nomor 4 dari kiri Bapak Kadimini, dan nomor 5 dari kiri Sad Fis. Baris bawah nomor 2 (tengah-tengah) adalah Madciri Narkadi.

Menurut penuturan Elang Sugiarto, nenek buyutnya yang bernama Pangeran Parta Kusuma dan istrinya Ratu Dewi Saputri, pada tahun 1899 M telah membeli sebidang tanah dan rumah yang terletak di Jalan Pulasaren, seharga 1500 gulden dari H. Ahmad Sodik dan istrinya Hj. Saodah. Rumah H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah tersebut merupakan salah satu pusat tempat pembatikan di Kota Cirebon yang terletak di Jalan Pulasaren, sebelah barat Keraton Kacirebonan Kota Cirebon. Pada masa-masa tersebut, banyak penduduk sekitar yang menjadi perajin batik di bawah pimpinan H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah.
Menurut Drs. Rafan Hasim, mahasiswa S2 Filologi Universitas Padjadjaran Bandung, ada saran dari Keraton Kaprabonan kepadanya untuk nyalar (bertamu) kepada Pangeran H. Adimulya, putra dari Insan Kamil, yang tinggal di Pegajahan dan merupakan sesepuh keturunan Keraton Kaprabonan. Pangeran H. Adimulya menjelaskan bahwa pengertian mega mendung bukan dari Tiongkok, akan tetapi ciptaan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sebelum kedatangan Putri Ong Tin dari Cina. Ketika Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yang dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon (pendiri Cirebon) hendak berwudhu di sebuah telaga, beliau melihat bayangan mega mendung di danau tersebut. Bayangan mega mendung tersebut selalu bergerak tanpa henti, namun pada pusat mega mendung itu terdapat pusat pemberhentian yaitu klungsu, yang kalau interpretasi sekarang adalah mirip dengan koma, bukan titik. Klungsu adalah nama dari biji buah asem. Nama lain Klungsu adalah lungsi, Lungse adalah balungane yaitu kerangka atau skeleton, maka arti simbolisnya adalah ibadah harus terus-menerus atau tidak boleh terputus supaya tidak kelungse. Apabila lungse tidak dilanjutkan, maka pewarnaan unsur mega mendung maupun wadasan, baik pada batik maupun lukis kaca, akan gagal.
Menurut para sesepuh Keraton Kanoman dan Kasepuhan, cikal bakal motif mega mendung adalah kelungsu. Kelungsu adalah biji buah asem yang bentuk dasarnya mirip dengan bentuk awan.
Di Desa Pejambon, Cirebon, pernah ditemukan arca gajah megalitik. Bentuk arca gajah itu digambarkan sangat sederhana dalam posisi duduk, kaki belakang berlipat. Belalai menjulat ke depan, sementara kaki depan tidak nampak. Arca seperti ini merupakan media pemujaan dari masa megalitik yang berlanjut ke masa Hindu.
Menurut E. Moh. Raharja, yang menjabat sebagai pemandu Keraton Kanoman, (ditemui pada tgl 16 Oktober 08) batik Cirebon berasal dari kata jempana (jem-jem ing prana) yang mempunyai arti “setia di hati.” Kereta jempana tersebut mudah ditiru dan diinspirasikan dengan beragam motif dan variasi wadasan dan mega mendung yang mudah diambil sebagai motif batik, pada abad 15 (1428 M / 1350 Syaka) pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Di samping kereta jempana, paksi naga liman juga sebagai dasar motif pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati. Di dalam paksi naga liman termuat motif dasar motif paksi, motif naga, dan motif liman. Motif paksi artinya motif burung garuda melambangkan simbol budaya Islam, di samping sebagai kekuatan udara. Motif naga artinya motif ular naga (naga raja) merupakan simbol budaya Cina, di samping sebagai lambang kekuatan laut. Motif liman artinya motif gajah sebagai simbol budaya Hindu di samping lambang kekuatan darat. Jadi intinya, sumber utama motif batik Cirebon berasal dari jempana dan paksi naga liman.
Selain motif-motif yang telah disebutkan di atas, ada beberapa motif yang sangat khusus dipakai oleh para sultan dan keluarga pada acara-acara tertentu seperti upacara penobatan, pertemuan para raja-raj, upacara panjang jimat, grebeg agung, dan grebeg sawal. Motif-motif itu adalah;
1. Beskap Ageng Sultan Kanoman
Beskap Ageng ini merupakan baju kebesaran sultan yang dipakai ketika upacara penobatan dan pertemuan raja-raja. Lancar dhodotan, dominasi warna hitam dan emas sebagai lambang keagungan, kemakmuran, lestari dan pengayoman, sementara motif batik yang dipakai adalah delimaan.
2. Dhodot Sunan Ageng
Busana ritus yang dipakai oleh sultan dan pangeran patih ketika memimpin upacara ritual adat, contohnya memimpin upacara panjang jimat, grebeg agung sebagai penutup kepala menggunakan destar Mustaka Sunan dengan jubah warna kuning emas, pelambang keagungan, beskap putih, dan kain lancar motif kangkungan.
3. Beskap Pangeran
Beskap ini dipakai oleh bangsawan Kesultanan Kanoman ketika mengikuti upacara adat yang dilaksanakan pada siang hari. Motif yang dipakai kain lancar yang digunakan lebih sering menggunakan naga semirang.
4. Batik lain-lainnya, seperti batik pandan, batik kembang wijaya kusuma.

Gambar 25. Sanira, salah seorang penjual dan penghubung batik Trusmi dengan pihak keraton, yang merupakan gejala Trusmi.
3. Batik Keraton Cirebon sebagai Seni Tradisional
Kembalinya popularitas batik Cirebon yang baru muncul kurang lebih lima belas tahun terakhir ini, menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Cirebon pada umumnya. Pada waktu dulu, masyarakat lebih mengenal batik Jawa Tengah terutama batik Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan, baik berupa batik tulis maupun batik cetak.
Proses pembuatan batik di Jawa Barat, khususnya Cirebon ini merupakan tradisi yang sama tuanya dengan di Jawa Tengah. Teknik mencelup yang tahan air sudah diketahui dan digunakan di Jawa Barat, jika dipelajari beberapa sisa peninggalan batik ini.
Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu tinggi dilihat dari segi kehalusan dan keindahannya. Batik adalah corak atau gambar pada kain yang pembuatannya khusus, dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Cara tradisional adalah sikap, cara berpikir, atau bertindak yang selalu berpegang teguh pada adat dan kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Cirebon yang dimaksud disini adalah wilayah Caruban Nagari yaitu daerah wilayah kekuasaan Pemerintahan Sunan Gunung Jati pada saat memerintah di Pakungwati.
Seni batik tradisional Cirebon merupakan suatu proses dari olah cipta, rasa, dan karsa, juga pemikiran yang panjang. Di dalamnya merupakan penunjuk kepribadian tanzul taraqi. Tanzul berarti keadaan seseorang yang sedang dalam limpahan sifat-sifat keilahian yang layak bagi dirinya, sehingga sifat-sifat ilahi itu diamalkannya dalam tindakan dan pergaulan. Taraqi berarti keadaan seseorang yang sedang melepaskan sifat-sifat jahat dari dirinya untuk naik ke sifat-sifat ilahi yang mulia, sehingga dalam kehidupannya dia tidak lagi selalu berbuat salah.
Batik Keraton Cirebon adalah batik yang ragam hiasnya berasal dari keraton, baik berupa wujud fisik bangunannya, sumber-sumber naskah, serta filosofi yang terkandung di dalamnya, sejak Cirebon menjadi negara yang merdeka pada saat pemerintahan Sunan Gunung Jati. Batik Cirebon terutama batik Keraton Cirebon dari dulu sampai sekarang tetap dilestarikan sebagai seni tradisional di Cirebon, hanya saja sekarang batik Keraton Cirebon sudah tidak ada aktivitas membatik di dalam keraton, melainkan dikembangkan oleh masyarakat Desa Trusmi. Para perajin batik di Desa Trusmi banyak mendapat pesanan motif-motif batik keratonan dari kalangan keluarga Keraton Cirebon, sehingga sekarang di Desa Trusmi berkembang pula batik Keratonan Cirebon, dan menjadi pusat perkembangan batik Cirebon.
Batik Keraton Cirebon yang dihasilkan telah tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bukan hanya di wilayah Indonesia, namun batik ini juga sudah tersebar hingga ke mancanegara dengan nama Batik Cirebon.

4. Ciri Batik Keraton Cirebon
Dalam penyajian penulisan, agar runtut dan memudahkan dalam pola pikir, penulis kategorikan pola hias dalam batik menjadi tiga kelompok, yaitu unsur-unsur batik, motif-motif batik, dan gabungan motif batik. Unsur-unsur batik masing-masing, secara sendiri-sendiri, mempunyai karakter dan makna yang spesifik. Unsur-unsur batik yang variatif serta ditambah dengan ragam hias pokok atau ide pokok yang ingin ditampilkan oleh perupa, akan membentuk suatu motif batik pada satu bidang kain. Suatu motif batik yang merupakan himpunan dari unsur-unsur ragam hias serta ragam hias pokok mempunyai karakter serta makna simbolik yang khusus, istimewa, bahkan mungkin tendensius.
Beberapa motif batik baik dua, tiga, atau lebih dihimpun oleh seniman batik, menjadi gabungan motif batik, yang tentunya mempunyai “pesan” yang sangat kompleks dan rumit, namun tetap nyaman secara estetika untuk dinikmati.
Menurut Yuniko, dahulu di daerah Cirebon, kesenian melukis, termasuk melukis di atas tekstil, dikerjakan hanya kaum pria. Tradisi ini dapat dilihat di pemukiman ahli kriya seperti di Trusmi dan dilanjutkan hingga jauh ke abad 20. Pada abad ke 19 hingga akhir, peranan wanita dalam bidang ini mulai berkembang karena perubahan dalam pola perekonomian di wilayah Cirebon. Tanah-tanah semasa penjajahan Belanda memerlukan banyak tenaga laki-laki. Lambat laun industri batik yang ada di Cirebon, yang kebanyakan masih merupakan karya di lingkungan rumah (home industry) diambil alih oleh wanita. Sebelumnya, kewajiban mereka semata-mata ditujukan kepada kerja detil, seperti mengisi latar belakang, akan tetapi dengan adanya migrasi lelaki untuk memenuhi kebutuhan kebun-kebun besar tuan tanah, wanita juga memulai mengerjakan penempelan lilin tekstil. Seniman lelaki tetap mengambil bagian dalam proses pembuatan batik, akan tetapi jumlah mereka semakin mengecil dan selama sepuluh tahun terakhir hanya beberapa saja yang tinggal. Kini wanitalah yang mendapatkan peranan lebih aktif dimulai dari merancang sampai ke membatik dan menjual hasil karyanya.
Jenis dan ragam corak batik Cirebon sangat menarik perhatian dan berbeda dengan batik yang ada di Jawa Tengah khususnya Surakarta dan Yogyakarta, serta juga hasil karya bagian lain pantai utara Jawa. Jika dibandingkan dengan batik dari Keraton Jawa Tengah misalnya, maka batik Cirebon tampak berani, tidak menggunakan corak simetris di seluruh bahan, melainkan lebih sebagai suatu corak yang menggambarkan sesuatu yang nyata di atas bahan polos. Corak itu lebih mendekati kenyataan dan kurang distilisasikan dan berketentuan daripada corak Jawa Tengah. Ini mungkin disebabkan penggunaan asli beberapa corak, teristimewa yang melukiskan gambaran yang disembunyikan dalam desain lambang, bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan yang mempunyai makna tertentu dalam cerita tradisional, pemandangan, pola geometrik, dan kaligrafi Arab. Dilukiskan di atas bahan teknik batik, bahan itu dipakai sebagai lukisan bersifat keagamaan (wafak), dipakai untuk menghias rumah, juga untuk menolak hal-hal jahat dan melindungi rumah beserta penghuninya (tolak bala). Sedangkan umbul-umbul dan panji-panji adalah bagian dari prosesi keagamaan di hari-hari yang kurang berkesan.
Hingga sekarang batik Cirebon termasyhur karena mempunyai pola dan corak istimewa yang tidak diketemukan dalam perbendaharaan batik di daerah penghasil batik lainnya di Indonesia. Peta perbatikan nusantara telah mencatat nama Cirebon sebagai salah satu sentra batik. Cirebon sebagai sebuah lokus yang memiliki karakteristik kebudayaan yang khas, hidup di antara dua budaya besar Sunda dan Jawa, didukung dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi pedagang dunia (Sedyawati, 1995), menjadikan sebuah tatanan kebudayaan masyarakat yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikan itu tampak pula pada ekspresi keseniannya, termasuk di dalamnya karya kriya batiknya. Kekhasan batik Cirebon itu tidak dapat dipisahkan dengan latar sosial budaya yang melingkupi pertumbuhan dan perkembangan batik Cirebon. Perkembangan batik Cirebon merupakan salah satu titik penting dalam peta batik Indonesia pada umumnya.
Salah satu ciri lain batik Cirebon adalah bahwa batik itu dapat dibedakan karena warna-warna khusus yang dipakai sebagai dasar. Batik Cirebon dan sekitarnya mempunyai warna dasar kuning-gading atau kuning muda yang biasanya disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon untuk membedakannya dari kuning tua (kuning oker) yang terdapat pada batik Banyumas, atau putih bersih pada batik Yogyakarta. Juga biasa dipakai warna coklat soga, warna batik tradisional. Tetapi sedikit sekali digunakan variasi warna-warna coklat tua yang biasa terdapat pada batik Jawa Tengah. Karena air lebih asin di Indramayu, warna-warna ini tidak bisa tercapai dan kekhasan batik Indramayu adalah warna biru tarum, nila muda, biru muslim dengan kombinasi biru hitam yang biasa terdapat pada keramik-keramik Timur Tengah dan juga pada porselen Cina; serta penggunaan merah bata, atau yang di daerah Cirebon disebut sebagai merah mengkudu, yang dibuat dari tangkai-tangkai pohon mengkudu. Ciri lain batik daerah ini adalah perasaan lega-luas yang diciptakan oleh corak tersebut yang tampaknya gemar memusatkan garis-garis besar suatu gambar, tanpa harus mengisi kekosongan-kekosongan seperti yang terdapat pada batik Yogyakarta dan Surakarta, yang biasanya semua tempat diisi isen, dengan berbagai macam motif. Isen yang terkenal dan mungkin yang tertua adalah bentuk yang disebut cecek atau titik. Kegemaran untuk mengisi kekosongan dengan isen juga dipakai di Indramayu, tetapi hanya dalam bentuk titik. Sedangkan akhir-akhir ini beberapa perusahaan batik di Cirebon yang biasanya menerima pesanan berdasarkan mode, menggunakan motif-motif isen dari Jawa Tengah dan dengan demikian meninggalkan ciri-ciri tradisional batik Cirebon. Ciri lain yang terdapat baik pada ukir-ukiran maupun batik adalah campuran warna. Warna-warna utama dibagi ke dalam beberapa nada warna, mulai dari warna yang sangat muda sampai ke warna yang tua, misalnya warna merah muda, lalu ke merah mawar sampai ke merah anggur.

5. Sumber Inspirasi Batik Keraton Cirebon dan Produk Seni Lainnya
Bertambah majunya Islam serta perkembangan kerajaan pesisir Islam juga menyebabkan cetusan artistik yang baru. Pusat keagamaan dan kesenian yang baru, muncul di sekitar Demak dan terutama di Mantingan. Para seniman mengambil alih simbol-simbol yang disalurkan oleh berbagai media, salah satunya adalah pintado yang warna-warni, sebagaimana orang Portugis menamakan bahan-bahan yang dilukis, yang datang dari Pulicat dan Gujarat di India, mungkin saja adalah batik. Kain brokat, permadani, dan barang pecah belah dari Timur Tengah mungkin juga menjadi sumber-sumber inspirasi.
Sumber inspirasi batik Cirebon berasal dari :
1. Keramik (terutama keramik Putri Ong Tin)
2. Ornamen ukir pada pintu, makam atau ukir kayu dan ukir batu
3. Kereta Singa Barong dan Paksi Naga Liman
4. Wayang Golek Cepak atau wayang kulit Cirebon
5. Naskah dan Mushaf al Quran
6. Bangunan Taman Dalem Agung Pakungwati
7. Lukis Kaca
8. Kaligrafi, dibuat corak binatang yang disembunyikan dalam huruf-huruf Arab.

6. Proses Pembuatan Batik
Batik Cirebon merupakan produk turun-temurun keluarga keraton. Proses pembuatannya menggunakan bahan, alat, dan teknik tradisional. Waktu itu, batik berfungsi sebagai barang seni, yang kemudian bergeser menjadi barang sandang.

Gambar 26. Salah satu contoh proses pembuatan Batik Keraton Cirebon

Dalam proses pembuatan batik dibutuhkan bahan-bahan sebagai berikut :
a. bahan pokok :
1. Kain mori atau kain putih prima/ primisima
2. Lilin batik
Lilin batik dapat diperoleh dari gondorukem, bubur ketan, aci (tepung tapioka yang diberi air) dan lain-lain dan disebut malam. Malam ini dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair.
3. Cap Warna
b. Bahan pembantu atau bahan tambahan :
1. Gondoruken (gandar)
2. Minyak kacang
3. Soda abu
4. Kaustik soda
5. Minyak tanah
6. Tepung tapioka
7. Tapol/ tripol
8. Kayu bakar
Dalam proses pembuatan batik, digunakan peralatan yang sebagian besar dapat dibuat sendiri. Peralatan yang digunakan untuk membuat batik di antaranya :
1. Kenceng (wadah yang terbuat dari tembaga), fungsinya untuk mencuci kain mori dan tempat melilin kain.
2. Alat pemukul yang terdiri dari kayu kemplongan dan pemukulnya, tempat merapatkan dan meratakan kain mori yang telah dicuci.
3. Papan, landasan dalam pengemplangan.
4. Gawangan (terbuat dari bambu atau kayu jati), tempat meletakkan kain yang akan dibatik.
5. Canting (terbuat dari tembaga atau kayu). Canting mempunyai berbagai bentuk dan fungsi, di antaranya :
• Canting bermata kecil untuk isén -isén
• Canting bermata sedang untuk me-réngréng
• Canting bermata besar untuk némbok
• Canting bermata dua untuk membuat garis dobel.
6. Bak (dari batu atau semen) untuk tempat merendam batik.
7. Bak (dari kayu) untuk tempat pewarnaan positif dan negatif.
8. Plorodan atau tong (wadah yang terbuat dari logam), tempat merebus batik agar lilin meleleh.
9. Gawang penjemuran (terbuat dari bambu) untuk tempat menjemur kain yang telah dikétél atau selesai dibatik.
10. Solder (terbuat dari besi dan kayu) untuk menghapus bagian yang salah.
11. Wajan (terbuat dari besi cor) tempat mencairkan lilin.
12. Kompor sebagai alat pemanas.
13. Dingklik (bangku dari kayu) untuk tempat duduk para perajin.
14. Kalender, alat untuk menghaluskan kain yang selesai dibatik.
15. Press berfungsi sebagai alat untuk melipat kain agar rapi.

Proses pembuatan batik terdiri dari tiga tahapan, yaitu persiapan, pembuatan, dan penyelesaian.
1. Tahap Persiapan
Kain yang digunakan pada kain Batik Cirebon biasanya kain putih prima atau primisima, mori, dan sutra. Urutannya meliputi:
a. Memotong kain mori sesuai ukuran. Untuk membuat kain panjang biasanya dipotong dengan ukuran 2,5 meter. Kemudian ujung kain yang telah dipotong dijahit, agar serat-serat kain tidak lepas.
b. Meréndang kain mori untuk menghilangkan bahan kanji atau tepung tapioka yang telah diproses, dengan cara diberi air, direbus, dan diberi sedikit tripol. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan zat kimia yang menghambat proses pewarnaan (mengétél). Kemudian kain dibilas dan dijemur sampai kering.
c. Mengétél atau merendam atau meremas-remas kain mori dalam rendaman adonan bahan pembantu, kemudian dijemur. Proses ini dilakukan berulang-ulang, membutuhkan waktu 4-7 hari agar kanji pada serat kain hilang sama sekali.
d. Mencuci kain yang telah dikétél dengan soda abu agar kain bebas dari bekas adonan kétélan.
e. Mengkanji kain mori secara tipis-tipis agar lilin tidak melekat pada benang. Tujuannya agar kain mudah dibalik. Kemudian dijemur di bawah sinar matahari.
f. Mengeplong atau menghaluskan kain yang telah dikanji dengan cara memukul-mukul kain berkali-kali agar pori-pori terbuka, sehingga warna dapat meresap secara maksimal.

2. Tahap Pembuatan
Tahap proses pembuatan batik Cirebon terlebih dahulu membuat pola pada kertas roti yang disebut dengan plak atau tingkes, kemudian diadaptasi menjadi seni melukis di atas kain yaitu batik. Pada bagian lain kita bisa menyelami teknik membatik, yaitu teknik mencetak atau melukis kain dengan cara menutup sebagian kain dengan malam atau perekat yang dibuat dari beras dan bahan yang sudah sangat tua umurnya, seperti juga patung dari batu atau kayu yang mulanya merupakan bagian dari upacara tradisional.
a. memindahkan rancangan ragam hias (tingkes) ke atas kain. Me-reng-reng atau membuat pola motif langsung di atas kain menggunakan canting ukuran sedang. Proses menggoreskan malam ke atas kain haruslah sejajar dengan permukaan kain, agar malam tidak tumpah. Kemudian meniup ujung canting agar malam tidak menyumbat ujung canting. Jika ujung canting tersumbat, maka diperlukan lidi kecil untuk mendorong sumbatan.
b. Meng-isen-isen atau mengisi bagian tengah motif. Misalnya menggambar bulu pada motif burung dengan canting yang berukuran kecil. Mengisen-isen ada tiga macam, yaitu membuat totol, sawud, dan lingkaran.
c. Menembok atau menutup bagian yang dikosongkan dengan lilin menggunakan canting bermata besar.
d. Mengentus atau menjemur kain tidak sampai kering setelah ditembok dan direndam dengan air.

3. Tahap penyelesaian
a. Mewarnai kain mori yang telah ditus dengan mencelupkan ke dalam bak berwarna negatif untuk warna dasar. Kemudian ditus dan dimasukkan ke dalam bak pewarna positif. Pewarna batik dimulai dengan pewarna yang lebih muda lebih dulu. Kemudian ditutup dengan malam untuk menghambat warna pada kain yang sudah diwarnai sebelumnya dengan menggunakan malam yang mencair saat dipanaskan, sehingga pencelupan dilakukan menggunakan pewarna celup dingin. Proses tersebut diteruskan dengan pewarna yang lebih gelap.
Pewarna pada batik didapat baik dari pewarna alami maupun pewarna buatan.
Pewarna alami yang dapat digunakan pada batik berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon nila untuk pewarnaan biru. Pohon tersebut digunakan juga untuk tarum, nila muda, dan biru muslim.
Warna merah cerah didapat dari pengolahan kayu sepang (Caesalpina sappan) dan mengkudu (Morinda citrifolia) untuk mendapatkan merah tua, ungu, dan coklat. Warna kuning, jingga, hingga coklat didapat dari kunyit atau kunir (Curcuma domestika) dengan nila.
Bahan kimia untuk pewarna buatan pabrik dibagi menjadi dua yaitu pewarna langsung (direct) maupun pewarna tidak langsung (indirect). Pewarna langsung seperti rapid, prosion, dan rhemasol. Pewarna tidak langsung di antaranya nafthol dan indigosol.

Gambar 27. Sebagian contoh Pewarna Alami Batik Keraton Cirebon. Jambal menghasilkan warna cokelat kayu, Secang menghasilkan warna cokelat kemerahan, Tingi menghasilkan warna cokelat, Tegeran menghasilkan warna cokelat kopi, Bixa menghasilkan warna merah atau cokelat, dan Jalawe menghasilkan warna cokelat.

b. Menghilangkan lilin atau penyongan atau plorodan. Setelah dicuci dengan air bersih, dilorot atau direbus dengan air mendidih 100C, kemudian dijemur.

Proses penjelasan di atas disebut sekali proses. Bila proses tersebut selesai, kain batik akan kembali dilorot, maka disebut dua kali proses. Sekali proses lebih baik dari segi warna, namun kurang baik dari segi seninya.
Secara kualitas, batik tulis lebih baik daripada batik cap dan batik fotokopi, sehingga harganya lebih mahal, karena batik tulis pengerjaannya dilakukan secara tradisional. Selain itu pengerjaan selembar kain batik dapat dikerjakan lebih dari satu orang. Biasanya ada yang khusus membuat pola, me-reng-reng dan mengisen-isen. Jenis isen-isen ada tiga yaitu totol (titik), sawud (garis), dan lingkaran. Teknik cantinglah yang membuat batik Cirebon beridentitas.

Gambar 28. Ciri khas teknik menutup dengan malam sehingga terbentuk garis tipis Gambar 29. Garis tipis khas Batik Cirebon hasil menutup dengan malam

Gambar 30. Contoh kebalikan teknik di atas

Ciri khas batik tulis yaitu besarnya motif yang satu dengan yang lain tidak sama. Selain itu pewarnaan antara bagian luar dan dalam batik sama baiknya.
Kekhasan Batik Keraton Cirebon, selain menggunakan motif-motif keratonan, seperti bentuk pakem pandan wangi, wadasan, mega mendung, juga teknik cantingnya yang khas. Pada batik Cirebon tidak diharuskan untuk mengisi seluruh ruang yang ada, seperti batik di daerah Solo dan Yogyakarta. Batik Cirebon proses pembuatannya hampir mirip dengan teknik seni lukis kaca yang berkembang. Untuk motif-motif di atas dipergunakan gradasi warna, biasanya dengan jumlah yang ganjil (dapat mencapai 9-11 gradasi warna).
Warna pada kain batik Cirebon yang khas yaitu kuning gading atau kuning muda yang disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon (Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982).

Gambar 31. Proses pembuatan batik menurut Yuniko, dengan maskot pinguin tanpa meninggalkan ciri khas Keraton Cirebon dengan adanya unsur mega mendung.

Catatan akhir
Purwaka Caruban Nagari, pupuh 193.
Daftar nama kecamatan di Kota sesuai dengan peraturan pemerintah No. 35 tahun1986 tanggal 21 Agustus 1986. Selayang Pandang Kotamadya Cirebon 1994, hlm. 7
H. Rokhmin Dahuri, Dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon ( Jakarta: Percetakan Negara RI, 2004), hlm. 23.
Ibid., hlm. 14. Bahkan, pada masa pemerintahan Belanda, kawasan Cirebon pernah menjadi pusat penanaman tebu terbesar keempat di Jawa, lihat William J. O’ Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anna Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 242.
Eddy Sunarto, dkk., Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, 2007), hlm. 264.
Ibid., hlm. 271.
Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 74.
Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2
Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
Nina H. Lubis, dkk., hlm. 37.
Ibid., hlm. 40.
Putri Pangeran Gunung Panti Cucu Panembahan Losari.
P. Hempi Raja Kaprabonan, Sejarah Keraton Kaprabonan, hlm. 3-6.
Ibid., hlm. 12.
Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
Ibid,.
Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 265.
Alih bahasa oleh Aman N. Wahyu, 2007.
Generasi ke-10 yaitu Ki Thalhah, seorang mursyid terkemuka aliran Qadariyah wan Naqsabandiyah di Jawa Barat dan murid Syekh Khatib Sambas, seorang Jawa yang tinggal di Mekah, dan pendiri aliran ini. Mursyid adalah seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk menandakan bagi penganut baru tarekat (ajaran Sufi). Khatib Sambas adalah seorang sarjana Indonesia abad 19 yang terkenal di Mekah, yang lahir di Kalimantan. Ia diakui sebagai orang yang menggabungkan ajaran-ajaran Qadariyah dan Naqsabandiyah menjadi satu ajaran yaitu Qadariyah wan Naqsabandiyah. Aliran ini mungkin telah memiliki benteng yang kuat di Trusmi dan Astana. Lihat, Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, hlm. 268-269.
Ibid., hlm. 269-272.
Pangeran Insan Kamil bertempat tinggal di jalan Pegajahan menikah dengan Ratu Mayawati. Pangeran Insan Kamil adalah seorang kaum ningrat Cirebon keturunan dari Keraton Kaprabonan. Beliau mempunyai murid tarekat yang berasal dari Desa Trusmi dan sekitarnya antara lain: Madmil, Kibol dan Kadmini. Para murid dan rekan-rekan lainnya membentuk suatu kegiatan bisnis bersama yaitu membuet batik. Motif-motif yang dibuat adalah motif batik keratonan sesuai dengan pesanan dari Pangeran Insan Kamil maupun istrinya, Ratu Mayawati. Selain motif keratonan mereka pun berkreasi menciptakan motif sendiri, karena mayoritas pembuat batik adalah para pengikut tarekat yang kebanyakan laki-laki, maka motif batik yang dibuat lebih bersifat maskulin/ kelaki-lakian (bersifat pria), dimana jarang terdapat unsur batik yang bermotif atau bergambar bunga. Dari nama murid atau tokoh pembuat batik di atas, Mang Kibol adalah paman dari Sanira (wawancara dengan Yuniko).
Wawancara dengan Elang Sugiarto dan diperkuat kakaknya, Elang Muhammad Hilman, S. Arsiparis, pada tanggal 15 Agustus 2008.
Wawancara dengan H. Supriatna.
Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon” (t.t.p: LIPI, tt), hlm. 129.
Ibid., hlm.139.
Ibid., hlm. 134.
Casta dan Taruna, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), hlm. 56.
Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon”, hlm. 141.

Oleh Drh. Bambang Irianto, BA
Jl. Gerilyawan No. 04 Kesambi Kota Cirebon 45133 HP 081312017567

Sejarah Tiga Keraton terkait Batik Cirebon

Batik bukanlah merupakan produk budaya yang seketika ada. Namun mempunyai sejarah yang panjang pada proses pembentukannya sehingga muncul dalam bentuknya dewasa ini. Makna atau arti dari suatu ragam hias tidak mudah untuk diterangkan dengan kata-kata. Seorang seniman yang memakai suatu ragam hias, kerap kali berbuat begitu saja tanpa mengetahui artinya, karena memang seniman tersebut mempelajari seni tersebut dari gurunya, begitu saja tanpa mengetahui maknanya. Jika kita hendak mengerti tentang makna simbolik dari suatu produk seni budaya, maka kita harus menelusurinya kembali jauh dalam sejarah, bahkan harus tiba di zaman prasejarah. Kita harus mempelajari pengaruh-pengaruh terpenting dari zaman sejarah dan zaman prasejarah yang membentuk seni budaya Indonesia.
Menurut A.N.J. Th. van der Hoop.(1949), para seniman Indonesia sekarang harus mempelajari jiwa dan arti seni yang lebih kuno, tetapi mereka harus mencari jalan baru sendiri.
Jika dilihat dari ragam hiasnya, motif batik Indonesia banyak bersumber dari seni hias zaman prasejarah seperti ragam hias geometrik dan ragam hias perlambangan. Penerapan ornamen dengan berbagai motif geometrik pada batik tidak banyak bedanya dengan pola ornamen pada hiasan perumahan dan benda kerajinan di daerah pedalaman. Pola ornamen ini selalu menjadi ciri dasar dan selalu berulang pada karya seni rupa tradisional di daerah .
Ternyata kesenian yang dianggap primitif dari zaman prasejarah justru mempunyai kekuatan batin dan dasar-dasar rohani, yang tidak terdapat pada bentuk-bentuk seni yang lebih sempurna pada zaman berikutnya. Dalam seni budaya primitif, arti ragam hias lebih penting bila dibandingkan dengan seni budaya mutakhir, yang lebih mengutamakan keindahan/ (estetika) belaka. Kalau kita mempelajari ragam hias dari berbagai bangsa dan dari berbagai zaman, maka kita akan merasa kagum melihat penyebaran secara luas menurut tempat dan waktu dengan ragam hias yang sama. Mengapa dengan ragam hias yang sama, bisa terdapat pada daerah yang sangat berjauhan serta rentang waktu yang sangat berbeda?
Ada tiga teori yang mungkin bisa menjawab tentang penyebaran ragam hias di berbagai benua :
1. Teori Difusi (Diffusion Theory) menunjukan bahwa penyebaran ragam hias berasal dari satu pusat/daerah tertentu ke berbagai benua, sehingga ragam hias di berbagai benua tersebut mempunyai kesamaan atau kemiripan. Namun teori ini menemui banyak sanggahan untuk bisa diterima.
2. Teori yang kedua berasal dari seorang ahli berbangsa Jerman bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 M) yang menyatakan bahwa persamaan ragam hias di berbagai negeri yang berjauhan letaknya (paralelisme) karena pada dasarnya jiwa manusia di mana-mana adalah sama pula. Teori ini dinamakan Elementargedenken.
3. Teori ketiga dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dari sudut ilmu jiwa yang memperkuat teori kedua. Ia mengatakan bahwa selalu munculnya lagi lambang yang sama adalah akibat dari archetypen yang terletak jauh di dalam alam bawah sadar tiap-tiap diri manusia.

Permasalahan tersebut di atas berlaku pula bagi Indonesia. Ambil sebagai contoh: ular. Ragam hias ular, yang biasa disebut naga dalam pewayangan, bersesuaian dengan ragam hias dari India yang berbasis kebudayaan Hindu. Padahal ragam hias ular sudah dipakai oleh orang Papua, jauh sebelum masa kedatangan Hindu. Demikian pula dengan gambaran-gambaran ular yang dipakai orang Dayak di Kalimantan, lebih mirip dengan naga dari Tiongkok. Hal ini berlaku pula untuk ragam hias yang lain seperti burung. Orang Indonesia dengan mudahnya menerima berbagai ragam hias Hindu, justru karena mereka telah mengenalnya dalam kebudayaan mereka sendiri yang lebih tua. Tetapi justru inilah yang menjadi sebab perubahan makna pada motif yang sama dari periode waktu tertentu ke periode waktu selanjutnya.
Indonesia telah lama sekali didiami manusia. Di zaman es, negeri ini belum menjadi kepulauan, tetapi masih bersatu dengan daratan Asia. Sudah hidup orang primitif seperti Pithecantropus erectus dan Homo soloensis yang hidup 200.000 tahun yang lalu. Kita tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang seni budaya orang-orang tersebut. Lama sekali setelah itu, nenek moyang orang Papua dan nenek moyang orang Melanesia harus berjalan melalui kepulauan ini, untuk tinggal pada akhirnya di Papua dan Melanesia. Di tempat kediaman mereka sekarang, mereka mempunyai kebudayaan sendiri. Akhirnya, kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang lain merambah memasuki wilayah Papua. Kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi, terjadi imigrasi nenek moyang orang Indonesia yang berasal dari Yunnan (Tiongkok Selatan).
Dari sana mereka berjalan ke pantai barat dan timur Hindia Belakang, kemudian mereka berjalan terus ke selatan dan pada akhirnya tiba di Indonesia yang sekarang. Orang-orang Indonesia yang paling pertama ini belum dapat menulis. Jadi mereka hidup dalam tingkat kebudayaan zaman prasejarah. Juga mereka tidak dapat mengerjakan logam, tetapi mereka membuat perkakas-perkakas dari batu yang digosok. Karena itulah zaman mereka hidup kita sebut zaman “batu muda” atau Neolithicum. Mereka mulai menanam padi di sawah, terbukti dengan ditemukannya mata cangkul/pacul yang terbuat dari batu. Kemungkinan mereka sudah berternak kerbau, bertenun, dan membakar periuk. Mereka mengerjakan kayu dan menghiasnya dengan ukir-ukiran serta membuat perahu. Terbukti dengan ditemukannya kampak beliung batu, pahat-pahat lengkung, dan sebagainya. Juga telah dibuat oleh mereka arca-arca leluhur untuk pemujaan ruh leluhur mereka. Pada tahun-tahun 500-300 sebelum Masehi, mulailah ditemukan logam perunggu dan sedikit besi yang berasal dari Tonkin bagian utara Indo Cina. Dengan segera orang Indonesia belajar membuat perunggu dan menempa besi. Kebudayaan yang memiliki kepandaian mengerjakan logam disebut kebudayaan perunggu atau kebudayaan Dong Son, menurut nama tempat penemuan Dong Son di Tonkin. Batang-batang perunggu itu sangat bagus, penuh dengan ragam hias. Dengan demikian kebudayaan Dong Son mempunyai pengaruh yang besar atas seni budaya Indonesia.
Di zaman Neolitikum, seni budaya Indonesia kuno bersifat monumental dan bersifat lambang. Pada saat itu, orang sudah menatah batu dan kayu dengan gambar-gambar tertentu seperti pintu kayu dengan pahatan cicak atau biawak. Kepercayaan tentang cicak atau biawak pada awalnya adalah jelmaan para dewa yang ditaruh di atas pintu lumbung untuk mengusir hantu dan mencegah malapetaka. Jadi, disain seni budaya tidak digunakan untuk perhiasan, tetapi menjadi usaha spiritual (perbuatan sakti). Justru karena itu kesenian primitif ini menimbulkan kesan yang khusus.
Dalam kebudayaan perunggu atau Dong Son, niat menghias semakin tampil mengemuka dan bidang benda-benda dihias. Namun untuk ragam hias ini, lambang-lambang tetap digunakan seperti yang sering kita lihat pada pilin berbentuk huruf S atau pilin berganda, swastika, meander, atau banzi. Ragam hias inilah yang menjadi ragam hias alam dan ragam hias peredaran matahari, yang dalam hal ini berhubungan dengan pemujaan matahari pada zaman itu. Ragam hias ini banyak terdapat dalam seni budaya kita sampai sekarang.
Kebudayaan Neolitikum dan kebudayaan perunggu kedua-duanya menjadi dasar bagi kebudayaan Indonesia. Yang umum terkenal adalah pengaruh besar yang diberikan budaya India kepada budaya Indonesia.
Batik Keraton Cirebon adalah suatu karya seni yang dilukis pada kain melalui teknik celup rintang, menggunakan malam dengan corak dan gaya Keraton Cirebon, yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat Keraton Cirebon. Batik tradisional Keraton Cirebon yang merupakan produk seni, dalam sejarah perkembangannya yang panjang hingga masa masuknya Islam di Cirebon, telah diwarnai dengan pemaknaan dari sudut pandang tarekat yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan di Keraton Cirebon.
Ungkapan batik menurut kalangan petarekan Cirebon (para pengikut tarekat di Cirebon), merupakan singkatan dari ba titike ning esor, bagiya sing andhap asor, Artinya, huruf ba (huruf kedua hijaiyah Arab) mempunyai titik pada bagian bawahnya, berbahagialah orang yang berlaku rendah hati. Huruf ba menurut kaum petarekan sangat penting karena merupakan huruf awal dari kalimat Bismilaahirrohmaanirrohiim seperti yang tertera pada bagian pangkal dari batik bendera Cirebon, yang mempunyai arti “dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Batik juga merupakan suatu alat untuk menyimpan “suatu semangat atau cita-cita tertentu” yang disampaikan sebagai risalah atau pesan untuk generasi berikutnya atau generasi penerus, sehingga cita-cita bersama itu akan tetap hidup dan tidak pudar. Hal serupa sebagai media penyimpan pesan tersebut juga tertuang pada produk seni tradisional Cirebon lainnya, antara lain pada batu (nisan), kayu (seni ukir), lukis kaca, serta keramik atau gerabah, di samping tertera pada naskah kertas daluang maupun lontar.
2. Batik Secara Umum
Beberapa pengertian batik yang bisa ditampilkan sebagai berikut:
Definisi batik Keraton Cirebon menurut penulis, Batik Keraton Cirebon ialah suatu seni kriya yang dibuat dengan cara melukiskan malam pada sebuah kain, yang dipergunakan oleh kalangan Keraton Pakungwati /Caruban Nagari, beserta keturunannnya sampai dewasa ini yang tersebar di wilayah Cirebon.
Seni Batik Tradisional Keraton Cirebon adalah keahlian membuat corak atau gambar pada kain yang bermutu tinggi, yang pembuatannya secara khusus selalu berpegang teguh pada adat dan kebiasaan yang ada secara turun temurun, sejak masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.

3. Pengelompokan Batik Cirebon.
Berdasarkan perkembangan sejarahnya batik Cirebon dibagi menjadi batik Keraton Cirebon dan batik pesisiran Cirebon. Penggolongan tersebut dibedakan berdasarkan pada sifat ragam hias dan pola pewarnaannya, serta ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatannya.
Baik motif batik Keraton Cirebon maupun motif batik Cirebon persisiran banyak dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan kebudayaan di Cirebon. Hal tersebut tidak lepas dari benturan, perpaduan, asimilasi dengan kebudayaan kerajaan-kerajaan kuno, kebudayaan asing seperti Cina, India, Arab, dan Persia serta kebudayaan yang masuk kemudian seperti budaya kolonial (Eropa). Salah satu unsur penting pembentukan kebudayaan tersebut adalah letak geografisnya yang terletak di persilangan jalur lalu-lintas antara benua Timur dan benua Barat. Jalur pelayaran tersebut melintas sepanjang pantai utara Pulau Jawa (“jalur menyusur pantai”) dan Jalur Sutera Darat, sehingga produk budaya yang terbentuk di Cirebon merupakan hasil dari pluralitas kebudayaan bangsa-bangsa yang singgah di sana.

• Batik Keraton Cirebon
Bila di Keraton Yogya dan Solo, batik keratonan dikenal dengan sebutan Batik Vorstenlanden,-yaitu seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan pada zaman penjajahan Belanda.-maka batik keratonan di Cirebon sudah berkembang sejak awal perkembangan agama Islam di daerah Cirebon. Lebih awal atau mungkin hampir bersamaan dengan perkembangan batik di Mataram, karena dari sejarah pendiriannya, Keraton Cirebon telah berkembang lebih dulu dibandingkan Keraton Mataram yang berkembang di kemudian hari, sehingga kerajinan batik di Cirebon diduga telah berkembang sebelum berdirinya Kerajaan Mataram di Yogya dan Solo.
Kalaupun ada kemiripan antara batik Cirebon dan batik Yogya dan Solo, bukan berarti batik Cirebon meniru batik Yogya dan Solo, sebab deskripsi sejarah Cirebon, jauh lebih tua daripada Keraton Mataram. Begitu pula bila terdapat penggunaan batik Yogya dan Solo yang digunakan dalam wisuda Jumenengan Sultan Cirebon, itu karena terpaksa atau dipaksa. Hal itu berkaitan dengan kepemimpinan Panembahan Adining Kusuma atau Panembahan Ratu Akhir, yang naik tahta pada tahun 1649 dalam status tawanan Raja Mataram Amangkurat I di ibukota Mataram selama tidak kurang dari dua belas tahun hingga wafatnya. Pada saat itu, segala aspek sosial budaya diharuskan berkiblat pada aturan Mataram.

• Batik Pesisiran Cirebon
Batik Pesisiran Cirebon yaitu batik yang berasal dari luar keraton-keraton di Cirebon. Pada saat itu para perajin batik membuat batik keratonan, namun mereka sendiri tidak boleh memakai hasil batik mereka, karena motif-motif keratonan hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton, sehingga mereka menciptakan motif pesisiran yang inspirasinya diambil dari pengamatan alam sekitar, misalnya budaya masyarakat, pemandangan alam yang sifatnya lebih naturalis, dinamis dan bebas. Aktivitas membuat batik juga pada awalnya bukan pekerjaan utama masyarakat pesisir yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Kebebasan seniman batik yang didominasi oleh kebutuhan pangsa pasar batik, membuat batik berfungsi sebagai barang dagangan.
Motif batik Pesisiran Cirebon lebih bebas baik motif maupun pewarnaannya. Motif-motif yang digunakan pada batik pesisiran biasanya berasal dari alam, seperti motif flora dan fauna, baik darat maupun laut. Ragam hias burung, kupu-kupu, udang, ikan, mimi, ganggeng umum kita jumpai pada batik ini
Batik Pesisiran Cirebon ini kental dengan pengaruh budaya asing baik dalam ragam hiasnya maupun pewarnaannya. Batik Pesisiran di Cirebon memiliki warna yang lebih cerah. Banyak menggunakan warna bang-biru, hijau, kuning dan putih. Bang-biru artinya abang atau merah merupakan pengaruh dari budaya Cina dan biru merupakan pengaruh dari budaya Eropa. Batik Pesisir yang paling banyak berkembang di Cirebon adalah batik yang mempunyai pengaruh dari budaya Cina. Sampai sekarang ragam hiasnya masih banyak dijumpai seperti motif flora dan fauna, meliputi bunga, burung, binatang laut, binatang darat, ikan, pepohonan, dan daun. Motif-motif Eropa seperti Batik Kompeni sudah jarang kita temui lagi.
Contoh-contoh motif Batik Pesisiran Cirebon di antaranya: kapal minggir, kapal kandas, kapal keruk, piring hias selapandan, karang jahe, kopi susu, lengko-lengko, puser bumi, daro tarung, angen-angen, banyak angrem, tambal sewu, banji tepak, iwak mangrup, tikel balung, gunung giwur, supit urang, pucang kanginan, pangkalan anggrek, mato daro, dan masih banyak lagi motif yang lainnya.
Bentuk-bentuk yang diadopsi oleh batik keratonan di Cirebon di antaranya bentuk naga, wadasan, mega mendung yang berakar dari budaya Cina. Pengaruh ini tidak lepas dari salah satu istri Sunan Gunung Jati yaitu Ong Tin, perempuan asal Cina yang peduli dengan budaya dan kesenian lokal. Bentuk singa yang berakar dari budaya Cina, Arab, dan Persia, serta bentuk gajah dan trisula yang berakar dari budaya India (Hindu-Budha), dan tumbuhan rambat yang berakar dari budaya lokal.
Motif batik keratonan biasanya mempunyai pakem-pakem tertentu dan mempunyai ciri yang khas yang terletak pada motifnya. Contoh khas motif Batik Keraton Cirebon sebagian besar menggunakan: wadasan, mega mendung, dan pandan wangi yang merupakan hiasan pokok batik Cirebon. Hiasan-hiasan pokok tersebut merupakan pengaruh dari budaya Cina. Ada pula beberapa yang menggunakan ragam hias pohon lam alif, singa barong, paksi naga liman, dan macan ali, serta motif lokal tumbuhan rambat seperti kangkung.
Ragam hias pokok motif batik Cirebon didominasi oleh pengaruh Cina yang sudah distilisasikan, namun lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam seluruh ragam hias batik Keraton Cirebon. Meskipun motif tersebut merupakan pengaruh budaya Cina, sehingga secara fisik Cina, namun pada perkembangannya motif tersebut ruhnya bernafaskan ajaran Agama Islam.
Ruh Islam di dunia Batik Keraton Cirebon merupakan pengejawantahan dari tarekat di Cirebon. Keindahan tarekat dituangkan dalam keindahan motif batik Cirebon, dengan menyimpan risalah pesan yang secara implisit tertuang dalam corak motif batik.
Muncul sebuah pertanyaan: “mengapa Islam?”, karena semenjak berdirinya, Caruban Nagari adalah sebuah negara yang bersifat multi kultur, merupakan melting pot dari budaya-budaya Arab, Persia, India, Cina, maupun lokal nusantara, yang semua itu disatukan dalam ruh Islam. Hal ini dapat dilihat dari kondisi dan jumlah masyarakat Cirebon pada awal didirikannya.
Wilayah Cirebon memiliki kekayaan khasanah budaya batik yang variatif, baik yang masih tetap ada sampai sekarang, maupun yang sudah punah tinggal kenangan.
Pengelompokan batik berdasarkan sentra-sentra pembuatan dan sekaligus ciri khas masing-masing, bisa kita berikan sebagai berikut:
1. Batik Keraton.
Di dalam perkembangannya Keraton Cirebon dewasa ini terbagi menjadi empat keraton yang masing-masing mempunyai ciri khas sendiri, yaitu Keraton Kasepuhan mempunyai khas batiknya adalah singa barong, Keraton Kanoman mempunyai khas batiknya adalah paksi naga liman, Keraton Kaprabonan juga mempunyai khas batiknya yaitu dalung dan motif tanpa gambar hewan, dan terakhir Keraton Kacirebonan, yang mempunyai khas batiknya yaitu yang berhubungan dengan bintulu.
2. Batik Kenduruan.
Batik Kenduruan diproduksi dan dipakai oleh komunitas Tionghoa, terletak di tengah-tengah Kota Cirebon. Kenduruan dihuni oleh masyarakat Cina yang murni, yang dalam proses asimilasinya mengambil batik sebagai bahan pakaiannya. Corak khas Cina seperti banzi, swastika, anjing laut, burung phoenix, kapas, dan tentu saja lokcan . Seperti yang dipakai pada batik pesisiran lain, warna yang digunakan adalah yang umum digunakan pada keramik tensulam Cina, antara lain biru dan putih atau merah dan putih dengan kelibatan hijau, kuning, jingga, dan merah. Batik Kenduruan sekarang sudah tidak diproduksi lagi.
3. Batik Plumbon.
Plumbon merupakan suatu daerah yang terletak di Kabupaten Cirebon, berasal dari kata palu amba. Pimpinannya bergelar Ki Gedeng Palu Amba, murid Sunan Gunung Jati. Di daerah ini terdapat pemukiman masyarakat yang pada suatu waktu mempunyai hubungan penting dengan keraton-keraton Cirebon. Ki Gede Palu Amba dimakamkan berdampingan dengan Ki Gede Kuningan. Ki Gede Kuningan adalah murid Sunan Gunung Jati yang setia. Batik Plumbon sudah tidak diproduksi lagi, tetapi batiknya masih disimpan pada beberapa keluarga dan dikenal dengan warna merah mengkudunya, serta motifnya yang kuat atas pengaruh motif lung-lungan dan utah-utahan.
4. Batik Trusmi.
Trusmi adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten Cirebon. Batik Trusmi dewasa ini sudah sangat terkenal, baik lokal, nasional, bahkan sampai mancanegara. Di samping itu pun ada batik Kali Tengah yang kedua-duanya merupakan pusat para perajin.
5. Batik Paoman.
Paoman adalah nama salah satu desa di Kabupaten Indramayu, yang terletak ditepi sungai Cimanuk sebelum alirannya dipindahkan karena sering banjir. Semua batik Paoman masih dibuat dengan teknik tulis (painting), umumnya para pengusaha dan pengrajin batik di Paoman adalah wanita, sedangkan kaum laki-lakinya mayoritas berprofesi sebagai nelaya dan dahulu para nelayan Paoman berangkat ke laut lewat sungai Cimanuk.

Penulis: Drh. Bambang Irianto, BA. Penata Budaya Keraton Kacirebonan

***Catatan Akhir:
Batik termasuk jenis seni klasik, maka pengetahuan tentang ornamen dan desain hiasan batik dan arti perlambangan dari motif hias dituntut bagi seorang pembatik. Tuntutan itu diperlukan agar nilai perlambangan yang ada pada setiap hiasan tidak lenyap. Demikian pula tata warna pada batik klasik tidak dapat sembarangan diubah karena setiap warna yang tampil mempunyai pula arti perlambangan. Arti perlambangan dari hiasan batik, ada yang tampil pada ragam hias geometrik secara murni di samping ragam hias yang bersifat geometrik dari hasil rekaan bentuk-bentuk organik. Lihat, Wiyoso Yudoseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama (Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008), hlm. 217.
Ibid., hlm. 216.
Ibid., hlm. 215-216. Sementara para ahli berpendapat bahwa batik merupakan salah satu khasanah kebudayaan asli Indonesia, terdapat juga dugaan lain yang menyatakan bahwa batik berasal dari luar Indonesia, seperti dari Turki, Mesir, Persia, dan India. Yang jelas, seperti halnya keris dan wayang, batik telah menempuh sejarah perjalanan yang lama. Dugaan bahwa sejak zaman prasejarah pembuatan batik sudah dimulai adalah berdasarkan kenyataan bahwa tradisi batik kuno sampai sekarang masih dipakai di beberapa pedalaman yang terasing dari kebudayaan luar. .
1. Menurut William Kwan, kata batik berasal dari kirata bahasa Jawa yaitu amba dan tik. Amba artinya menggambar. Tik artinya titik-titik. Jadi yang dimaksud dengan membatik adalah kegiatan menggambar titik-titik.
2. Batik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
a. Corak atau gambar pada kain yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
b. Cak (ragam percakapan) kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
3. Menurut Kamus Bahasa Cirebon – Indonesia, batik, membatik, batikan adalah lukis, melukis, melukis pada bahan kain (lawon) untuk tata busana (batik nganggit gambar rerupa endah ning lawon bakal tapih, tumrape tata busana batik paoman duwe ciri warnaning rupa biron lan putihan, utawa kulit dukuhan).
4. Batik menurut kamus bahasa Cirebon karya T.D Sudjana, dkk. adalah karya seni pada kain.
5. Tidak terdapat pada kamus Kawi-Indonesia, karya Prof. Wojowasito.
6. Menurut buku “Batik Cirebon” karya Casta, M.Pd. dan Taruna, S.Pd, yang menyebabkan munculnya istilah batik adalah isen tutul yang bercirikan titik-titik. Suku kata tik pada kata “batik” disebabkan batik banyak mengunakan isen-isen yang berbentuk bintik-bintik atau titik-titik.
7. Menurut “Buku Tekstil”, oleh Cut Kamaril Wardhani dan Ratna Panggabean, batik merupakan cara menghias latar kain melalui teknik celup rintang. Cara ini telah dilakukan sejak masa pelukisan dinding-dinding gua. Batik kemudian berkembang dan menjadi sarana untuk mengekspresikan diri, kepercayaan, serta perlambang.

Lokcan bukan nama motif tapi merupakan bahan yang digunakan untuk membatik. Menurut Sewan Susanto, lokcan berarti lok = sutra, can= biru, atau sutra biru yang dipakai untuk bahan membatik. Motifnya bisa terdiri dari motif burung Hong, bunga, dan daun seperti yang terdapat dalam selendang juana. Hampir semua batik pesisir memiliki corak yang terdapat dalam lokcan ini.

Naskah Babad Dermayu (Naskah Kertasemaya)

BABAD DERMAYU
NASKAH KERTASEMAYA
TH. 1959 A 1378
(Kode Naskah 36.B-4)

Pusat Konservasi dan Pemanfaatan
Naskah Klasik Cirebon
Jl. Gerilyawan No. 04 Kesambi Cirebon
HP: 081312 017567 – 081322 990419

Alihaksara
Oleh
Muhamad Mukhtar Zaedin
Cirebon, 14 Maret 2010

1. (1) # sinom # wonten kandha kang carita/ caritanne du
(g)hing dhingngin/ turunipun wira lodra/ lara kalar hasal neki/
/ laki jaka kuwat mangkin/ pejajaran putra ratu/ pe
putra (ra)den mangku yuda/ jumeneng haneng metawis/ hapeputra
(5) / hangabehi wira seca/ # / wira seca pan kagungan/ karta
wangsa putra mangkin/ jeneng tumenggung metaram/ wedharre turu
n puhiki/ kanthos dhateng majapahit/ pan sanak kadang se
dulur/ panembahan kibethara/ kang sumareh gunung kumbang (sumbing)/ hingkang
katha/ wedharre kang para putra/ # / hanulya kagungan pu
(10) tra/ jeng pengeran hadipatih/ luwano (luwanah) kang peparab/
bagelen hingkang negari/ kagungngan putra malih/ ga
gak pernnala tumenggung/ hing begelen lumangantiya/ la
jeng hapeputra malih/ kathahipun sekawan para/ bo
(14) patya/ # / putra pemajeng punika/ pan raden gagak ku

2. (1) mitir/ hing begelen kang negara/ gagak wirawijayeki/
hing tanggelen kang negari/ hanulya katiga nipun/ ga
gak pringga hadipura/ kang ganti para bopati/ para seka
wan/ den ganti wira handaka/ # / dadi bopatih nega
(5) ra/ karangjati kang negari/ putra kang pemajeng hika/ pa
n raden gagak kumitir/ hanulya peputra mali/ hanang ba
nyu hurip kedhu/ den ganti wira kusuma/ hanulya peputra
malih/ gagak singa lodra kang dadi bopatya/ # / pe
majeng wangsa negara/ wangsa yuda rayi neki/ wira lodra
(10) kaping tiga/ tanu jaya hingkang rayi/ tanu jiwa kang wura
gil/ hing begelen dalemipun/ kang putra wira loddra
ka/ sangnget sangking nyandang king kin/ nulya kesa/ remeni
pun/ hamertala/ # / hanneng sahinggilleng mlaya/ pernah
(14) hingkang sepi sepi/ gumulling hana hing kesma/ hanu

3. (1) hun hing yang widi/ sarengat tarekat mangkin/ kakeka
t maripattipun/ tan sanes hingkang de(n) tingal/ ha
menneng hing wujud tunggil/ jaba jerro supaya dadi sa
tunggal/ # / tinggal sare miwa dhahar/ tigang
(5) tahun lami neki/ kantak gagraha husika/ sampu
n hical wujud tunggil/ medal caya hing kang wehing/ ta
ndha tinarimmeng hagung/ kang den suwun hing yang sukma/ muga
muga hantuk mukti/ saturunne muga hantukka kamulya
n/ # / sareng nuju malem jumngah/ hingngalli wonten hing langi
(10) t/ sunar padhang kadi lintang/ sareng sing wetan ninnggalli/ bumi
byar padhang nelohi/ yahiku caya handaru/ caya ti
nima yang sukma/ hical kang pepadhang mangkin/ nulya ganti ki
nanthi hingkang tinembang/ # / kinanthi/#/ hantuk marmane yang
(14) hagung/ suwara kang kapiyarsi/ heh kacung pan wira lodra

4. (1) lamon pengen mulya kaki/ saturun turunira/ babadda
hing halas kaki/ # / hing kulon hungsinen kulup/ hing hala
s cimanuk kaki/ halas gedhe hiku nyawa/ pan bakal dadi ne
gari/ kanggo turun turunira/ dugi turun pitu
(5) mangkin/ # / kaki hanak putuhemu/ mila henggal lungnga
ha kaki/ nulya henggal wira loddra/ ngelilir gonira
guling/ tumunten cahos jeng rama/ ngaturraken himpen ne
ki/ # / sedaya sami tinutur/ hing jeng rama hadipatih/ nu
lya jeng rama ngandika/ kaki hanak hingsun gusti/ teka hi
(10) dini dehing rama/ mugya tulussa mangkin/ # / sun
srahhaken hing yang hagung/ sangking sakarsane kaki/ putra
hingpun hadhuh nyawa/ rinangkul dipun tangngisi/ putra nga
mbung suku rama/ miwa hanang hibu neki/ # / kahi dinna
(14) n sampun kondur/ ngarsa hibu rama neki/ sami medal to

5. (1) ya waspa/ handres mijil den tangngisi/ kaliyan kang pandakawa
n/ kyahi tinggil wasta neki/ # / medal ngidul pinggir
gunung/ malebet dateng wanaddri/ lali dahar miwa nendra
/ mampan dereng hantuk warti/ kali cimanuk kang pernah
(5) / hing pundi panggennan kali/ # / kantos hantuk tigang tahu
n/ henggene manjing wanaddri/ mampan dereng hantuk warta/
pitulung yang maha widi/ lajeng tumuli hanglampah/ ka
ntos dumugi hing kali/ # / kali hagung hing citarum
/ halinggih hing pinggir kali/ hingali toya geng prapta/
(10) nulya hawecana haris/ hana hing pandakawan
/ kang kekasi kyahi tingggil/ # / haddhuh paman susah hing
hingsun/ kali gede ngliliwati/ yen nyabranga karo
hapa/ humatur kiyahi tinggil/ mangke bendara ha
(14) sowan/ kula turi sabar krihin/ # / kranten lami

6. (1) pukulun/ lumampa bendara gusti/ mila sranto
ssena bendara/ hanyenengna hinghati/ la puhiki gusti
dara/ kathah wowohan ta gusti/ # / kula kinten bekas dhusu
n/ hutawi kebonan jalmi/ sareng heca genya lenggah
(5) / wonten kaki tuwa prapti/ hingkang mindha kaki tuwa/ buyu
t sidhum ti(yang) krihin/ # / raden wira loddra dulu/ wo
nten kaki kaki prapti/ sangnget bingah manahira/ bagja teme
n hawak mami/ bakal hingsun holi warta/ sangking kaki
tuwa hiki/ # / henggal tinubruk rinangkul/ sesalama
(10) n hasta kalih/ sarwi sareng genya lenggah/ humatur hame
las hasi/ hadhu kaki kula tuwa/ nuhun pitulung
nge kaki/ # / wus lami lampah pukulun/ sangking begele
n negari/ tigang tahun lampa kula/ hing pundi cimanuk kali/
(14) kula dereng hantuk warta/ muga kaki hanulungi/ # /

7. (1) # / ki sidhum wecana harum/ sarwi menggap menggap haris/
dhehem dhehem hawecana/ dhuh ki putu melas mami/ hiku
sira ya kaliwat/ kesasar lampah hireki/ # / puhiki
kali citarum/ krawang bagiyanne hiki/ sampun kalintang
(5) pun tebah/ kedah putu balik mahing/ mesisira lampah dika/
ngaler ngetan lampah neki/ # / nuli hical kaki sepuh/ ka
get wahu hahingngali/ gegetun den wira loddra/ dereng ta
ken jeneng neki/ lan sing pundi hing kang hasal/ kabujeng musna
pun kaki/ # / den wira wecana harum/ dhuh paman kiyahi tinggi
(10) l/ mingngendi kang yahi tuwa/ ki tinggil mangsuli harris/ gu
gup raden gonne mriksa/ boten taken wasta krihin/
/ # / hutawi negari nnipun/ nanging bagja kula hiki/ sema
nten pan hantuk warta/ pitulung yang maha widi/ mila gusti
(14) henggal henggal/ mangka lajeng mangkat malih/ # / wira lo

8. (1) ddra haris muwus/ puhiki margi pun henjing/ hingali wedaling
surya/ nulya henggal pan lumaris/ lampah hipun wira
loddra/ ngaler ngetan lampah neki/ # / hangrempak hing
wanah hagung/ lumampah siyang lan latri/ datan sareh
(5) datan dhahar/ sareng dugi pasir kucing/ ler wetan hala
s siluman/ wonten toyannipun mili/ # / medal sumber sang
king sumur/ wecana maring ki tinggil/ hiki paman kali hapa/ pa
dha leren sami mandhi/ sun tingngali hiki toya/ langkung sahe
toya wehing/ # / ki tinggi(l) sigra humatur/ mangga gusti kersa
(10) mandhi/ kula pengngen sesareyan/ hing handhap wiwitan hi
ki/ hadhem kasilir maruta/ henggal sareh kiyahi ting
gil/ # / lami hantuk kalih minggu/ haneng tengahhe
wanaddri/ nulya mangkat wira loddra/ mang ngetan lampahe
(14) nuli/ nulya manggihi yang gaga/ madhukuwan hing wa

9. (1) nadri/ # / wira setro naminipun/ sing wetan hasal mi
yin/ hing benjang bakal turunya/dalem pegadhen benjing
ki wira setro tetannya/ sami sesalaman hiki/ # /
wira loddra haris matur/ hinggi kakang basa mami/ lan si
(5) nten hingkang peparab/ dhuh yayi hing jeneng mami/
hingkang wewangi kakang/ # /wira setro
jeneng mami/ # / yayi sinten jenengngipun/ wira loddra jeneng mami/
sing begelen hasal kula/ ngilari cimanuk kali/ hangrangkul
setro kusuma/ la yayi badhe ming pundi/ # / karuna sami
(10) rinangkul/ hadhuh bagja temen mami/ pinanggih kali ya
n kadang/ kakang sing wetan nekani/ banyuhurip dulur misan/
wira kusuma dipatih/ # / hanulya binakta wangsul/
/ hing wesma peranahhineki/ sinubah subah hadhahar/ sami
sadha suka hati/ sampun lami tan hadhahar/ tiyang tiga
(15) sami bukti/ # / ki tinggil nuli humatur/ dhuh bendara ne
mbe habdi/ dhahar sekul kali hulam/ selaminne boten

10. (1) bukti/ hamung dhahar gegodongngan/ hi(ng)kang kula dipun bukti/ # /
/ hadhuh gusti kula suhun/ hingkang lami manggen ngriki/ badhe
nglemokkaken badan/ lan handugekken daging/ daging ku
la katah hical/ hamung tambah weteng blending/ # / ngayagga
(5) yag lir wong busung/ hamung hasta halit talit/ yen lumam
pah sempoyongngan/ kula hasring tiba tangngi/ kasrimpe
d hanang lawatan/ milanne sing lami ngriki/ # / tiyang kali
sami guyu/ hing rungu/ haturre tinggil/
hiya paman tinggil bagja/ pinanggi lan kakang mami/ sarta rejekine paman/
(10) kine paman/ bisa wareg dika bukti/ # / ki wira setro
hamuwus/ hanyambungngi sabda manis/ du kebagjan ku
la paman/ manggen tengngawanah mami/ harang harang keta
muwan/ hora pisan sampe hiki/ # / henggenne
(14) bungah wakkingsun/ humatur kiyahi tinggil/ hadhuh

11. (1) bagja kula dara/ kranten kali nyema riki/ sampun kemara
ssen kula/ sadinten dhahar ping kalih/ # / raden wira lo
dra wahu/ pikantuk hangsal sasasi/ nuli matur hing
kang raka/ panarima hing kang rayi/ muga den nidini kula/
(5) badhe pangkat dinten hiki/ # / hing pundi panggennannipun/ pernah
hipun hing kang kali/ cimanuk wangsitte sukma/ wira setro
muwus saris/ muga sun jurung pandongnga/ mugya hengga
l pinanggih/ # / sarta rinaksa yang hagung/ nulya se
salamman sami/ ki tinggil nuli hanembah/ sarta ma
(10) tur kelawan liri/ nun bendara nuwun kula/ daging kula du
gi mali/ # / ki wira setro hangguguk/ gumuyu
hasuka hati/ heh tinggil sun dongaken/ heng
galla sira pinanggi/ saking dara mu pikersa/ be
(14) suk gampang sanja mahing/ # / tiyang kali mangkat jugjug/

12. (1) ming wetan hingkang den hungsi/ maksi hageng hing kang wa
na/ nulya pinanggih lan kali/ klangkung sangnget habingah/
lah paman tinggil puhiki/ # / tek duga kali cima
nuk/ ki tinggil humatur liri/ dhuh dara manawi nya
(5) ta/ hamung hewuh gih pun nabdi/ boten wonten pe
dhusunnan/ kangge taken yaktos neki/ # / nuli ti
yang kalih mlaku/ nuruti hing pinggir kali/ kali sasih
hing laminya/ ming ler paranira hiki/ kyahi sidhum sange
t welas/ hingali tiyang kekali/ # / lumampah nrejang
(10) rerungkud/ hanulya nyipta kiyahi/ kebon lega pala
wijah/ langkung sahe den tingngali/ tanemane warna warna/
kara sabrang terong cipir/ # / boled sagu gundem jagung
/ pare gajih putih putih/ bonteng timun heme
(14) s kacang/ kol lobak lawan kubis/

13. (1) kebon lega jembar wera/ hing wetan tannana tinggil/
/ # / pinggir kali wesmannipun/ pinuter kembang srigadhing/
tongkengnge mlengkung hing lawang/ kanan kari mandha kaki/
mara dalu hing ngajengngan/ ki sidhum linggih hing korsi/ # /
(5) ki wira loddra handulu/ hingngali kebonnan mangkin/ ki wira loddra wicara/
dhuh bagja ki tinggil mami/ kebon bagus datannana/
hing wetan kadi puhiki/ # / gemuwe kebonnan wahu
nuli he(ng)gal hamarani/ hing wesma wonten wong lenggah
/ lagi hongngot tongngot deling/ bakal wuwus ya
(10) hulam/ nuli hawecana haris/ # / kyahi kawula
panuwun/ mugi hagung pangngaksami/ badhe tako
n pekebonnan/ kebon sahe hinggih kaki/ sarta
kiyahi kali hapa/ wastenne puhiki kali/ # / hanyenta
(14) k ngandikanipun/ harep hapa sira hiki/ nembe teka

14. (1) hamriksanana/ lah wong ngendi hamarani/ hapa harep ngra(m)
pog sira/ sira teka wesma mami/ # / kali pamanu
kan hiku/ hisun kang duweni hiki/ sira sira takon ha
rep hapa/ kaki tani mali warni/ haran hingsun kang sinambat
(5) tan mingser bari ya lingggih/ # / ki wira lodra hagetun/ suga
l temen kaki kaki/ hingsun takon yentak yentak/ humatur
kiyahi tinggil/ hinggih leres gusti dara/ nembe kula ha
hingngali/ # / nangnging hadate puhiku/ perwantu wong dusun gu
sti/ boten gadah tatahkrama/ kedah dipun manglum gusti
(10) / napa mali tiyang halassan/ nuli dipun pedhek mali/
# / dhu(h) kiyahi kula tulung/ nyatanne kula kya
hi/ tebih sing begelen negara/ tan liyan hingsun hi
lari/ kali cimanuk kang pernah/ hing nembe hingali hiki/
(14) / # / puhiki kali cimanuk/ kula tumut ngebon ngriki/

15. (1) sun nurut lamon di prentah/ mung den pernah henahing riki/ hangrencang
ngi jengngan dika/ welassana kyahi mami/ # / ki mali war
ni hamuwus/ hora harep tulung mami/ krana hingsun su
gih rawat/ tan hares(p) hingsun nulungi/ henggala
(5) sira hamampus/ haku tan sudi hingngali/ # / ra
den wira lodra bendu/ jajabang muka lir geni/ rina
ketan kaki tuwa/ sorah (pa)ngandikaneki/ heh kaki dika
wong hapa/ hora kena tek bedhami/ # / sahiki kebon
sun jaluk/ perkara kebonnan hiki/ haweh sun jaluk pa
(10) ksa/ hora kena sun bedhami/ ngiseni dika wong desa/
kaki grendaka sun wani/ # / hingkang mindha kaki wahu/
hangadeg hana hing korsi/ langkung sora hawecana
/ malangkrik hanudingngi/ mampan haku hora serab/
(14) hahingali hing sireki/ # / bermula halas dijaluk/

16. (1) kari kari kebon mami/ bener temen wo(ng) brandhal/ ra
den wira loddra mangkin/ hanubruk hing kaki tuwa/
surung sinurung wong kalih/ hing pernah kebonnan wahu/
hangadu sakti linuwih/ binanting hanulya hical/
(5) musna kebon lan si kaki/ musna mampan dadi wanah/
nunten (nulya) wonten kapiyarsi/ # / heh wira loddra ki putu/
bok hora weruh hing mami/ buyut sidhum ha
ran hingwang/ pan dudu cimanuk kali/ pin pinasti karsa hing yang/
besuk dadi desa hiki/ pamanukan hingkang dhusun/
(10) cipunagera kang kali/ henggal sira hanyabrangnga/
mangko lamon sira manggi/ kidang mas hinten kang so
ca/ henggal burunnen kaki/ # / hing pundi hicale hi
ku / ya hiku cimanuk kali/ benjang lamon si
(14) ra babad/ poma kaki wekas mami/ tetapaha

17. (1) haja nendra/ pasthi turunnira mukti/ # / tiyang kali nya
brang sampun/ hing cipunegara kali/ henggal lenggal la
mpahira/ surya hingkang den tingali/ yen henjing tamtu sing
wetan/ yen sonten hing kulo(n) lingsir/ # / lajeng ma
(5) lebet hing wanah hagung/ kepapag lan macan hiki/ ha
ngadhangngi hanang marga/ hanggebeg kiyahi tinggil/ dhuh
tulung kula bendara/ hing pundi gon nusup habdi/ # / ha
na macan langkung hagung/ hanulya wecana haris/ mampa
n raden wira loddra/ man tinggil mengnengnga hiki/ mangko hing
(10) sun harep tanya/ macan hapa karep neki/ # / si ma(can) ke
kirig hing ngayun/ nulya hanubruk tumuli/ nuli
hindha wira loddra/ macan tinabok tumuli/ sang macan nu
li hamusna/ wonten taksa ka(ha)geng prapti / # / lajeng menthang
(14) cakra nipun/ den lepassaken tumuli/ hing raden ki wi

18. (1) ra loddra/ musna hula dadi kali/ raden wira loddra hera
n/ hingngali kali geng hiki / # / lajeng mentang cakranipu
n / den lepaskan tumuli/ hing raden pan wira loddra
/ kali musna tan kaheksi/ wonten pawestri hayu
(5) hendah / teksi nonoman marani/
/ #/ sinom /#/
/hing raden pan wira loddra/ ngasih hasih melas sasih/
/ dhuh raden bagus jandika/ tiyang bagus pinanggih ngriki/
hing selebette wanaddri / dhuh welas temen kateng sun / pan badhe
(10) ngilari napa/ sarta kang sinedya pundi/ mangga raden / tam
pinen panyethi hamba / # / mampan kula maksi kenya / de
reng hanglampahi laki / lara wanah wasta kula / mangka je
ndika turutti / punapa sakarsa neki / kula sanggup ba
(14) dhe tulung / kasugiyan kadigjayaan / hangsal kula

19. (1) dipun kawin/ mangka raden turutana seja kula / # / ki ting
gil majeng hingngarsa/ sarwi humatur haliri/ dhuh bendara de
nhingngetta/ puhiki tengngahe wanaddri/ wira loddra ngandi
ka haris/ tan gingsir paman wakingsun/ mangko harep hing su
(5) n periksa/ bisa temen ngomong hiki/ hamit kula badhe
hamangsulli sabda / # / sampeyan wonten hing wana/ datan pa
ntes tiyang histri/ hanang tengah tengah wana / ngangken kenya dereng
laki / pan kawula datan hapti / badhe krama kula hiku/
senadyan sira hayuwa/ tan harep seja hakrami /

(10) langkung gampang wong krama yen wis mulya / # / mangsuli
nyi rara wanah / suma keyan raden pekik / hanganto
hantuk kamulyan/ buru dadi kaki kaki / huntu lung
nga kempong pipi / kuping tuli gigir bengkuk / panu
(14) wun kula samangkya / yen sampeyan tan nurutti / pasthi peja

20. (1) sarenga lawan kawula / # / hangadhangngi hing ngajengan / raden nyi
mpang nganan ngeri / nulya nyandhak lara wanah / dateng wira loddra
mangkin / kinipattaken tumuli / kalumah hanulya nu
bruk / malempat ki wira loddra / den bujeng sami prang liri /
(5) ngadu sakti gumareget nyi rara wanah / # / wira loddra de
n priyatna / tan kena sun neman hiki/ sukamati hawakking wang
/ yen nora dadi sawiji / candhak cinandhak pan sami / melajeng mi(ng) we
tanhiku / wira lodra den priyatna / senjata rante su
n pusthi / tanpanana tiyang pekik kaya jandika / # / pinenthang
(10) senjata nirra/ wira loddra hanadhahi/ senjata rante tumiba
hananging tanpa sah mangking / putri gebes hahingngali / wi
caksana wong ngabagus / heran temen wira loddra / wong ba
gus tur guna sakti / mangka raden malesa dateng kawula / # /
(14) sigra raden wira loddra / hasta cakra tumuli / ki tinggil ma

21. (1) rani henggal / dhuh rade(n) kang ngatiyati / kinten babar pisan mang
kin / keranten pamurung laku / nuli pinenthang kang cakra / nyi
lara wanah nadhahi / kenging musna hasipat kidang kencana / # / ha
nulya raden tumingnggal / gumebyar saliraneki / tan samar
(5) kidang kencana / nulya hangandika liri / hing paman kiyahi tinggi
l / paman den waspada dulu / hikapan kidang kencana / payu pa
man sun tuturi / hiku paman hing pundi puruge kidang / # / tiyang
kalih bujeng kidang / den segati nganan ngeri / tinubruk tu
bruk tan kena / yen tebih kidang ngenteni / sampun lepas lampah
(10) neki / ming wetan kidang lumayu/ tiyang kalih tan ketingga
l / hanututi kidang mangking / siyang dalu hambujeng kidang
kencana / # / nulya dumugi hing lampah / kersane yang maha
suci / kidang kencana pun hical / katingngal hujude
(14) kali / toya deres tur ya mili / puhiki kali cimanuk /

22. (1) nulya leren sor wiwitan / kajeng kiyara geng hinggi
l / nulya nendra hing ngandhape kajeng kiyarah / # /
wonten suwara kapirsa / hiki kacung haran kali / cima
nuk kang den pilala / wus bagjamu kaki benjing / hing tu
(5) runnanira hiki / karsane yang maha gung / mampan holi ka
muktiyan / wus katrima hing yang widi / nulya wungu ki ti(ng)
gil lan wira loddra / # /sanget tungngahe kang manah / suwara kang ka
piyarsi / welan welan hasung warta / raden wira loddra mang
kin / ngandika maring ki tinggil / dhuh bagja paman wak king
(10) sun / pan hisun sareh lan dika / supennah pan hasung war
ti / nyata hiki cimanuk nyata kang pernah / # / wus terrang
wa(ng)sitte sukma / ki tinggil humatur hinggi / bendara ye
n makaten / mangga pundi karsa gusti / kang kepanggennan
(14) hing pundi / raden wira loddra wahu / nuli hangilarri pernah

23. (1) hing ngeler hing pinggir kali / manggih pernah tana jembar turane wera /
# / nulya damela hingkang wesma / ki tinggil damellanneki / hanu
lya hamasu raga / raden wira loddra mangkin / henggenne ba
bad wanaddri / sima bantheng warak wahu / mampan bubar ketawur
(5) ran / pribawanne panas perri / hiblis setan priyangnga
n bubar sedaya / # / mangka raja budi paksa / miwa patih
bujang rawis / hakumpul sabalannira / miwa kang para pra
jurit / miwa sakeng senah patih / gedhang muwara ci
manuk / kelangkung sanget dukanya / sakeng bala bubar mang
(10) kin / kenging raden wira loddra babad wanah / # / nulya
kalurug den wira / kapethuk hing wesmaneki / budi paksa
hangandika / hestriya wong ngasing gih / paksa lancang kuma wani /
hidin sing sapa sireku / gawe rusak bala hing wang/ henggal nying
(14) kir raden gelis/ nulya ngadeg wira loddra hawecana / # /

24. (1) / # / ngadeg wira loddra ngucap / heh drubiksa sira hi
ki / ngiseni bala penawungan / kuma wani ngusir mami /
dikira hisun hawedi / bragah brigih ngarsa hingsun /
ngiseni gandarwo baya / hing kene majuwa jurit /
(5) mampan hingsun tan ngoncati maring sira / # / sakeh ge
gedhen muwara / pan sami hangngrubutti/ sangking gendheng gi
ri muka / sabalanne sami ngiring / sangking wongkang bajul rawi
s / cemara pan giri bajul / tempalong badha wang
kara / pan rameh pajunne jurit / samya timpu hing
(10) yuda lan wira loddra / # / kinarubut wira loddra / hama
sang dongnga ki tinggil / suleman serabad winaca / sarta ma
ca hayat kursi / pan wicaksana ki tinggil / pan dhakacan
sakti punjul / nulya wonten haputusan / sangking tung
(14) jungbang puna(i)ki / bala cungkring hulukbalang langlangjagat /

25. (1) / # / duging hanang sultan hemas / haja pada den henggoni / hiku
raden wira loddra / krana turun majapahit / becik den rak
saha hiki / supaya hakunnen sedulur / krana masih pernah
cangga / lara kidul gusti mami / nulya henggal werdinata ca
(5) hos henggal / # / sarwi manemba hingngarsa / ngasihyasih melas
sasi / dhuh raden gusti jandika / kesasaran bala habdi / mugi
den hapura gusti / ngandika den wira wahu / mangke sinten
pan jandika / krtambetan habdi gusti / werdinata sultan hanang
pulo hemas / # / dhuh kasuhun jennggandika / rayi sultan ba
(10) sa mami / sukur bagja rayi sultan / padha kekadangngan mami /
dumugi saturun rayi / sahanak putu sedulur / kakang
mampan gawe yasa / wangsitte yang maha tinggih / samya bubar se
daya pan hiblis lanat / # / nuly siyang dalu babad /
ki tinggil kang dadi koki / miwa nanem palawijah / bole
(15) d jagung kara cipir / palawijah manca warni / gundem juwawut lawa

26. (1) n triggu / boten wonten kekirangngan / ki tinggil humatur har
ris / dhuh bendara / hanembe seneng kahula / # / boten wonte
n kekirangngan / palawija tan kabukti / kawentar kabonna
nnira / lamon bagus tanah neki / katha tiyang sami prapti /
(5) tumut wesma hanengng riku / hawit tanemanne gemah / lu
mintu tiyang kang dugi / sami gemu kekebonnan warna warna /
# / kathah tiyang damel wesma / manca negari nekani / ki
tinggil kang dadi lurah / tan wonten kang kirang tedhi / hing ki
len cimanuk kali / sampun hantuk tigang tahun / lami dame
(10) l padhukuwan / raden hangan dika harris / dhuh man tinggi
l sampun lami lampah kula / # / sanget pengngen pangi
ya / kali rama hibu mami / mila pamana kariya / tenggaha
hing kenne dhingin / bokan hana tiyang dugi / trimanen di
(14) kon malebu / haja den tulakka paman / ki tinggil kari

27. (1) basuki / henggal mangkat sigra hangungsi negara / # / koca
ppa hing lampah hira / sampun dugi hing negari / hanjugjug hing
pedalemman / begelen hingkang negari / rama hibu sami ling
gih / sumandhing putra tetelu / kaget hibu miwa rama /
(5) ningngalli kang putra prapti / pan rinangkul tinangngissan melassarsa /
# / hadhuh nyawa putraning wang / hora nyanna teka kaki / siyang
dulu pan katingngal / hibu mampan sami bintip / hanang
ngis hing siyang lattri / kengetan hing sira kacung / mara hana
k hingsun nyawa / lelampahan puttra mami / ceritaha
(10) hing ngarsanne hibu rama / # / putra matur kanjeng rama / sam
pun katur lelampah neki / sengsaranira punika / tigang
tahun boten nedhi / hibu rama sami nangngis / welas sangking
lampahhipun / dhuh putra hingsun bethara / sangking marmanne
(14) yang widi / muga muga lulussa hangsal kamulyan / # /

28. (1) # / ki tinggil hingkang hatenggah / kang dadi lurah hire
ki / sekawane putraning wang / sahiki pan sira hiki /
mengkuwa begelen neggri / supaya dadiya werruh / hatur
ran ngurus negara / hambi wru dulurmu kaki / wangsa yuda ka
(5) liyan si tanu jaya / # / miwa si wangsa negara / lan ta
nu jiwa sireki / gampang mangke yen dadiya / hing kulo
lon dadi negari / sami matur rama haji / handherek
saharsa hulun / dhawuhhipun hingkang rama / sedaya ca
kap hikardi / kadang kadang henggenne ngurus negara / # / ki
(10) tinggil hingkang den tilar / langkung kathah tiyang parpti / tu
mut manggen padhukuwan / cacah limangngatus jalmi /
/ mampan mukti kiyahi tinggil / kawulabala hakumpu
l / ki tinggil haris wecana / kadang kula sedaya neki /
(14) bayantaka jayantaka surantaka / # / wanasara

29. (1) puspahita / miwa ki pulaha kyahi / cakep hagawe
gelaran / / margi hageng lurung neki / pinetha kadi negari /
tempat penjagiyan gardu /saban lurung penjagiyan/
tiyang haliwat senengngati / saban dinten tiyang dugi dame
(5) l wesma / # / nunten hana tiyang prapta / hayune hang leli
wati / hindhang darma hingkang nama / lir masih kenya sang puttri
denniring pawongngan kalih / manggul gandum kali pacul /
tani tani kang pawongngan / hanjugjug wesma ki tinggil /
pan kepanggih ki tinggil ngaturri lenggan / # / ki tinggil ha
(10) ris wecana / hamit palamarta habdi / hing sema kang nembe pra
pta / punapa seja puniki / lan sinten hingkang wewangi / ha
sal sing pundi den nayu / nyi hindhang matur wecana / dhuh paman ta
mbet hing habdi / hindhang darma hasal singngumbaran kula / # /
(14) badhe dherek pan kahula / tumut damel wesma ngriki/

30. (1) kahula ningali senang / badhe ngebon kula nyahi / hu
tawi kula hanyabin / mugi deni dini hulun /
ki tinggil hambales sabda / sumanggah handhendhe
rek habdi / dateng pundi sumanggah kapilih karsa /
(5) # / hing kulon hutawi wetan / sumanggah kapilih
gusti / tana hingkang rada jembar / nyi hindhang hamriyossi
ki / hing tanah kang seneng pilih / tana tani derek wa
hu / sampun medal dateng wesma / ki tinggil getun nningnga
lli / nembe temen nningngalli wong wadonnika / # / hayu
(10) mulus kang wanodya / mandenapa gusti mami / kangge gar
wanne bendara / nanging benjing bendara mami / yen rawuha
hannengriki / tamtu kawula kang matur / manda bungah
he bendara / ningali wong hayu luwih/ mampa
(14) n sampun hindhang darma damel wesma / # / pan gemah

31. (1) hing pakebonnan / hing kang kerja muridneki / hindhang darma
mulang kejayan / kedhot guna sakti luwih / sakeh
murid mapan sami / ngajeng ngajeng hingkang mungsuh / sekathahe
muriddira / kawentar liyan negari / hamiyarsa pangnge
(5) ran palembang / # / sangnget dukanne pengngeran / ha
na wadon ngelanangngi / ngandika hing muriddira / padlikur peng
ngeran hiki / heh sakeheh murid mami / mapan
hingsun wus hangrungu / hana wong wadon hamulang / me
madha hing jeneng mami / guro kena ngilmu kaya je
(10) neng hingwang / # / sahiki murid sedaya / padha sira dangdan geli
s / hingsun ngungsi pulo jawa / hanangkep memadha mammi / hingsun ngrungu
hora sudi / sampun numpaka hing perrahu / nuli sira babar
layar / sampun dugi prahu neki / hing muwara mentas pengngerana
(14) n sedaya / # / pangeran pan wicaksana / sakedha

32. (1) p netra perrapti / hanang wesma hindhang darma / kaget nyi hindhang ningngali
wonten tiyang kathah prapti / nulya haris genya matur / dhuh bagja
kula semahan / tiyang hagung hangrawuwi / mangga gusti katur
ran lenggah sedaya / # / pangngeran heran tumingngal / ciptanne sa
(5) jronning ngati / hiki wadon hayu hendah / heman temen tingka(h)
neki / pawestri hanglelanangngi / nulya nyi hindhang humatur /
dhuh hamit hing palamarta / ningngalli hing hakrama
gusti / sami rawuh hing compok perdesan kula / # /
sangnget kumejot hing nala / bawinne wong dhusun ha
(10) bdi / lan badhe kersa punapa / sarha sinten hingkang wewengi /
hasal sangking pundi gusti / kados wonten karya hagung / sapra
pta rawu(h) panduka / sakaprabotte wong jurit / ka
dos wonten den bujeng lampah panduka / # / pangngeran mangsulli
(14) sabda / hema(n)t temen sira hiki / wong ngayu sira wanodya/

33. (1) hora ngrungu beja warti / kang lagi hanggelar ngilmi / hing
pelembang negara hingsun / tedhak haryadillah sultan / pang
ngeran guru kang nami / mulang ngelmu sakeng para pengngeran / # / mam
pan hiki murid hing wang / hingkang ngiring marang mami / perlu
(5) hamriksa hingsira / yen sira gureken ngilmi / ha
ja mungkir sira nini / memadha hing jeneng ngingsun / kawentar sa
ban negara / suyud pangngeran hing mami / hakeh padha
geguruhhing hing jeneng hing wang / # / kari kari hindhang darma /
paksa lancang kuma wani / dadi guru kaya hing wang / hapa
(10) kadiran sireki wong hayu tur lenjang kuning / hera nena padha
nipun / kaya hayu hindhang darma / dha pangngumbaran sira hi
ki / hora nganggo tatakramanne wanodya / # / kaya sakti
sakti sira /kaya guna hangluwihi / lancange kaliwat li
(14) wat / datan karuwan kang negari / tannanna manusa hiki / kaya ting

34. (1) kahhira hiku / hambales sabda nyi hindhang / hadhuh heman ru
pi gusti / langkung sahe pindek sarupi sumbad / # / hana nging
sugal wecana / boten wonten basa liri / munggu pendakwa
sampeyan / matur hestu kang sayakti / badhe punapa
(5) gusti/ mampan wesma datan nyambut / hutawi kahe
reh karya / hing wewengkon dika gusti / bade napa sumanggah
dherek pikersa / # / hindhang darma datan serab /
hutawi hajri ningalli / sakayu kayunne wong ngadang / semanedha
den suguwi /bedhama pucukke kerris / hutawi saktinne gu
(10) ru / manggah gusti kersa dika / sagendhing kula ladosi / lamon kawon mampan hingsun hora wirang / # / henggal nubruk pengngeran / wengsa geni jeneng mami /
brama kendhali kalinya / brata kesumma kang rayi / melempa
t medalling jawi / marani papan kang hagung / kinten jembar yudabrata /
(14) sarwi nguwu nguwuh tandhing / dhu pengngeran hing riki papan kang

35. (1) jembar / # / sampun rucah jeng ngandika / heman rupi hadi hadi
perrang tandhing ngadu gunna / sampun gugup ngadu sakti / kaya hu
rahana perrang neki / nyi hindhang darma pinunjul /sasasi laminne
yuda / sedaya kasorran jurit / datan wonten sedaya mante
(5) lling yuda / # / pengeran guru kang bala / sakehe perjurit murid /
kang sumareh hing setanah / sawingkinge hingkang masjid/
wisa geni brama kendhalli / brama wijaya katelu/
brama hudaya sekawan / brama tanaya puniki /
brama kesuma kaliyan brama berrata / # / wolu kesuma di
(10) laga / jaka kesuma punniki/ pengngeran rokmat punika/ kali
yan wahu kang rayi / boten hucul hastaneki / kaliyan ra
yinne hiku / miwa pangngeran winata / suma laga rayineki / brama de
nta / kaliyan berrama suganda / # / pengngeran hadi negara / pengnge
ran kusen kang rayi / miwa pengngeran hammad / kelawan pengngeran nga
(15) li / lawan girinata mangkin / hamilahga tigalikur / mampa

36. (1) n raden sing ngantara/ sedaya ngemasi jurit/ wicaksana pawe
stri nyi hindhang darma/ # / kelangkung rame hing yuda/ henggene
pajune jurit/ tandange nyi hindhang darma/ kelawan
sakanca neki/ gegaman patrem manik/ sangking cucuk
gelungipun/ kelawan senjata wrayang/ hora nana wong
teguh sakti/ datan kiyata sedaya para pengeran/ # /
ki tinggil sanget hajrinya/ ki pulaha den timbali/
sampun cahos hanang ngarsa/ miwa sakancane hiki/
/ ki tinggil ngandika haris/ ki pulaha susah hulu
n/ kangge wong tani tempatnya/ kasenengan lampah tani/
/ kari kari kangge tempat yuda brata/ # / sedaya para peng
ngeran/ pan sami ngemasi pati/ sangking negari pelembang/ ta
k duga maksi wargi/ kaliyan gustiku hiki/ sedaya
pan kancanipun/ kariya tunggu negara/ hingsun hare

37. (1) p matur gusti/ sampun kantos hantuk dukane bendara/ # / nulya
mangkat gegancangan/ lumampah siyang lan wengi/ perwantu ki tinggi
l lampah/ najan pandhakawan saksi/ tinggil wicaksana luwih
sakedhap pan sampun rawu/ hana hing begelen negara/ tu
munten cahos hing gusti/ samya kaget praptane ki tinggil ngar
sa/ # / tinubruk pandhakawan/ sarwi den rangkul tumuli/ dhuh
paman welas kawula/ sun tinggal kari ki tinggil/ toya mata
handres mijil/ karuna sesambat ipun/ duk dihing sanget
sengsara/ ki tinggil hangguguk nangis/ sareng henget penggalih
cahos hing ngarsa/ # / nuli kang rama hanabda/ hadhuh hanak king
sun kaki/ sekalih padha menenga/ wus jamake sira kaki/ sun donga
kaken yang widi/ muktiya wong kulup/ si tinggil lan turu
n nira/ muktiya dugi hing benjang/ hiya hingsun si tinggil hingsun per
riksa/ # / dhu maspa wong ngahing wang/ linggiya haso rumihin/

38. (1) legakena hingkang manah/ sarta matura hing mami/ sere hing
den tinggal kari/ tinggil haneng pagustenmu/ hapa holi ka
senengan/ kancamu padha basuki/ mara tinggil matura hing ngarsa
hing wang/ # / kasinggiyanipun dara/ henggene tunggu negari/ ha
ntuk marma hing yang sukma/ pinaringan harja gusti/ dala kedadosa
n gusti/ gemah raharja hing dhusun/ sarta winangun negara/ ge
laran pengaturan margi/ berkah dalem putra tuwan kedadsosa
n/ # / nanging humatur kahula/ katiwasan habdi gusti/
kedugen nyi hindhang darma/ maksi kenya hayu luwi/ derek da
mel wesma gusti/ hindhang darma pan pinunjul/ dalah katah tiyang
prapta/ hindhang darma mulang ngilmi/ kapiyarsa hing gusti pengeran pe
lembang/ # / hamulang ngilmu kagunan/ nyi hindhang memedha gusti
/ nulya linurug yi hindhang/ pangeran guru ngrawuhi/ bakta
Saprabote jurit/ pan badhe hanangkep wahu/ nyi hindhang

39. (1) darma den nakwah/ dadi guru mulang ngilmi/ sarwi bakta muri
de para pengeran/ # / mampan sami yudabrata/ nga
ben sakti hing ngajurit/ kelangkung sakti kelintang/ pengera
n sami ngemasi/ tan kuwata hanandhing jurit/ kan to
s hangsal pan santun/ mila habdi gegancangan/ matur
huhinga teng gusti/ kados pundi sakarsa gusti panduka/ # / kang
gusti pan singa loddra/ tumenggung begelen negari/ dhukulu
pan wira loddra/ hiku heyangira gusti/ sing pelembang guru ngi
lmi/ turun majapahit kalup/ poma kaki den tangkep/ hi
ndhang darma tiyang histri/ nanging kaki den alus peangkepira/ # / gawa
nen pan kadang ngira/ siwang sanegara kaki/ wangsa yuda tanu jaya/ ta
nu jiwa hingkang rayi/ hindhang darma luwi sakti/ heyang musamya lampus/
/ kang putra dherek pikarsa/ nuwun nidin rama habdi/ hingkang rama
hanjurung pandonga pasrah/ # / sedaya samiya nembah/ hing hibu

40. miwa ramaji / dipatih hamaca donga / kapasrahake
n yang widi / kitinggil humatur haris / gusti hing pamudhe
dhel hulun / di dongakaken kahula / habdi suhun ber
kah gusti / hinsa hang ling tinggil sun jurung pandenga / # /
(5) / tan kocapa lampah hing marga / jungjang krawat cohos ngarsi / bayan taka
hiku malih / miwa ki pulaha hiku / puspa hita wanasa
ra / hing gaskara surantaki /hangandika rahaden hing ki pu
laha / # / paman kiyahi pulaha / hiringen lampah kitinggi
(10) l / kangge ngaturi nyi hindhang / kinten kebakta sahiki / la
n kanca dikaja kari / sumanggah dherek puku hulun /sa
mpun kondur heneng ngarsa / hanjugjug wesmani reki /gega
njangan ki nanti ganti ne tembung / # / kinanthi / # /
// sampun prapta kang hing hing ngutus /hing wesma nyi hindhang mangkin /

41. nyi hindhang kaget tumingal /hamarani kaki tinggil /dhuh
Bageya mandika /lami paman tau kahaksi / # / kitinggil
Haris numatur / raden nayu hestu habdi / lepat boten tur
Huhinga / sahestu kawula lali / hingali wong yuda brata
(5) / raden nayu habdi hajrih / # / raden singidan puku
lun / kalunta wangsul pan nabdi / haneng wesma haneng we
tan / sareng wangsul wesma habdi / bendara tumut hing kula /
miwa kadang rakayayi / # / mila habdi pun putus / ra
den nayu den naturi /linggih dateng compok kula /
kedah kering dateng nabdi /miwa jungjang krawatika henggal nyi
mas den naturi / # / nyi hindhang ngandika harum /
mangga bade dangdos krihin / nyi hindhang ngrasuk busana /
pepahes lenga sesuri / rema cemeng handan handan / kulit kuhing nemu
giri / # /pryoga hing dedegipun / langkung hayu tan nana tanding
kados nyahi hindhang darma / sakancane kiyahi tingil / ha (n) de

42. rek nyi hindhang darma / hayune hang leliwati / # / raden ha
Wecana harum / bageya kang nembe prapti / mangga katuran lingga
/ kula sema dugi hiki / pangeran hingsun kapanggiya / nyi
hindhang hature haris / # / raden sawupan kasuwun /
(5) hugi raden nembe dugi / rawuh hing dhusun punika / mampa
N gusti kula mangkin / habdi hing kang dherek numpang / dateng
tapak hasta gusti / # / milane den timbali halun /
dateng paman kiyahi tinggl / gegancangan lampa hamba / sang
king sanget hajri gusti / # / hugi raden pangeran nu
(10) hun / bakti habdi nu (hu) n ketampi / sanging sambrana ka
Wula / perwantu pawestri habdi / kaliyan miskin kahula / dhe
Ret tumut basuki / # / wira loddra ngandika rum /
/ hera dadi hapa nini / pan hingsun hamungparentah / hing pa

43. man kiyahi tinggil / sapa kersa gawe wesma / hingsun pre
ntah hangidini /# / hamung hingsun hingkang parlu / tebih sing be
gelen negari / miwa kadang kadang kula / kersa mriksa hing parkawi
s / krana kuwajiban kula / muga matura hing mami / # /
(5) pan heyang pangeran guru / sami yuda brata hiki / hing
sun harsa mirengen / kang dadi kawitan neki / # / nyi hindhang
mara henggal hatutura / haneng ngarsa hingsun hiki /
nulya humatur /dhuh raden humatur habdi / sumpah hing
ngarsane radyan / datan wantun hngkang kungi / hutawi ngurang
(10) ngi kula / matur hestu kang sayakti / # / bermulane pun pu
kulun / siweg linggih wesma habdi / kaget sarawuwe penge
ran samuride sami prapti / dumateng compok kawula /
lajeng bendu ngliwati / # / pendak wahe pangeran guru // ra
hing kula sugih jalmi / hanak tujang damel sawah / hutawi ke
bonan habdi / perwantu hestri kahula / damel hakal ha

44. bdi gusti / # / majeng guna tani hulun / tiyang hingkang hambant toni
/ nyabin miwa hing kebonan /dendekwa memadha habdi /me
jang ngilmu kadigjayan / badhe katang kepa habdi / #
/ hajeng pi nejahan hulun / kinepung hing para murid / sake
(5) he para pangeran / petulung yang maha widi / hapes wedene peng
ngeran / sedaya sami ngemasih / /# / wira loddra haris mu
wus / yen bener haturane ki / sanajan wong ttuwa hing wang / hing sun
n hora ha meloni / heyang gru hingkang salah / nurutti
napsuni reki / # / hana nging hing karsa hingsun / tekjaluk
(10) suka hing ngali / rehing gawa jago hing wang / tekjajale ka
ro nyahi / totowan jiwa lan raga / nyahi kalah da
di rabi / # / yen menang dadi bujang mu / bonggan lanang kalah
histri / yahiku penjalukahing wang / supaya huhinga mami / ting
ka polahe nyi hindhang / hingkang hanyak seni mami / # / hindhang dar

45. (1) ma kawelas hayun / humatur pan sanget hajri / dhuh
Ndara raden kula / hampan sanget hajri habdi / nuwu
ngesang hing paduka / hestu ngawunten pun habdi / # / wira
loddra haris muwus / hiku nyahi haja hajri / mampa jing sayang man
(5) n sangking hidihing wang / seja hingsun hahingali / dadi
bara / hadihing sun kang kebagih /# / prang tanding rebut hunggu
l / hindhang darma karo rayi / yen mekaten dherek karsa /
kumedah maju hing jurit / nanging sanget panuwan hamba
/ sampun dados manah gusti / # / hindhang darma nembah ngayun /
(10) kondur sangking ngarsa gusti / hanulya rahaden medal /
sekalih dangdos sang jurit / tanu jiwa tanu jaya / hang ngedeli prang
tanding / # / raden medal nguwuh huwuh / tanu jaya haran mami /
wong hayu paranyahi hindhang / payu padha ngadu sakti / lamon kasor
ran nyi hindhang / prasthi bakal hingsun kawin / # / mampan dadi

46. bojo hingsun / nyi hindhang metu kaprang liri / sili huki nga
du guna / raden sinabet tumuli /tanu jaya kapisana
n / gumuling hana hing siti / # / ki tinggil hambakta sa
sampun / tanu jiwa majeng malih / wus hayuna yunan yuda
(5) / hayu nya hi hindhang golis / nya sakti mandraguna /
/wong hayu hanarik hati /# / haja hinda dhuh wong
Ngayu / pengene ngemek bahe gusti / nyi hindhang nuli hingge
blag / kabur tiba ngarsa gusti / hing ngarsane wira lo
dra / mesem hahing ali rayi / # / pandelikane soca nipu
(10) n / menggap menggap napas neki / smbate hora sanggup kakang /hindhang
darma luwih sakti / dhuh kakang pasrah kawula / ke (tdk jelas)
nyi hindhang golis / # / wira loddra ngandika harum /
/ priwen rayi rasa neki / pajune wong yuda brata / tekra
sa seneng kang hati / wong nom lok doyan mangan / hesuk

47. hesuk wedang kopi / # / ngadiraken rama hitu / sugin banda
kaya mangkin / putra gegeden negara / gagah pekayane
rayi / sawitana hatur pakeyan / perang kalah lan pawes tri
/ # / lamon kalah hawak king sun / wirang kathah kang hingali / ta
nu jaya sa (na) bda sugal / cobi kakang kang ngendali / mengke
kula hingalana / hindhang darma luwih sakt / # / nuliden natur
riwahu / raka sayuda mangkin / manggah sampeyan hakar
sa / medal yuda medal kalih / hindhang darma manggah kakang wang sa yu
damatur haris / dhuh rayi kakang tan sanggup /nyi hindhang
tandangi reki / lirsikatan nyamber walang / rayi kalah pan kajo
dhih / kawirangan yuda brata / haja kakang kang ngawiti / # /
hemong kakang susah kelangkung / mirang mirang rayi mangkin / ka
timbalan konang kapa / haneng hindhang darma mankin /sedaya
kalih jagonya / kakang pasrah hing kang rayi / # / kang ra

48. yi samya humatur / dudhuh hindhang golis / munggu kakang
menang rama /sampun wangsul hing negari / mangga nganclong sabaparan /
/ bagjane hangungi hukir / raden wira loddra muwus /
Sarwi mesem ngandika haris / lahadate wong prang kalah / wirang hi
(5) sin yen hamulih / nyambung sabda wong sayuda / hora guna hing
sun hiki / # / gawa jago loro hiku / kuku lu
ruk samargi margi / teknyana solot tarung nya / nembe
sun hedu lan bibit / kari kari hora guna (ta)
rung kekeyokan mangkin / # / nyentak tanu jaya muwus /
(10) lo kakang wis yuda / manceni hing rayi kalih / mangah
kakang hage yuda / mengkin rayi kang hingali / # / lamon
hunggul yuda hingsun / kalih hndang darma mangkn / ku
la kahul gendong kakang / sing riki dugi negari / bege
len hing kanjeng rama / bagjane genti wong kalih/

49. # / wangsa yuda pan gemuyu / latah latah belik belik / seka
Lih raka wecana / kakang tandha hora wari / kalih thothet
t wedi pisan / nulya ngandika haris / # / raden wira loddra
wahu / hing kadangi reki / wus rayi denbari sana / mangko
(5) kakang maju jurit / yuda brata lan nyi hindhang /nyi hi
ndang hingsun timbali / # / haja dadi maras mas hayu / jamake wong mangun
(10) jurit / sapa kala sapa menang / rebut hinggil hinga jurit/ wira loddra
hangandika / coba nyahiden turuti /
/ kari kambi hawak hingsun / yentedak pengen ngrahosi
Manis legine sapira / nyi hindhang darma haris / dhuh bendara gu
sti kawula / kados pundi polah habdi /# / hora nyahi wus ja
makmu / mudung bahe den turuti / henggal nyahi medal jaba /

50. nyi hindhang manembah lirih / medal wonten hing payudan /mundura
tur melasi / # durma # / sampun medal si
ya gi hayuda brata / raden lan hindhang golis /sampu
n hayun nayunan / hing gon brata yuda / perawanta sekali sa
(5) kti / hamandraguna / pansali hanimbali / # / mampan sa
mi surung sinurung yuda / tarik tinarik wani / nalin pa
(10) t nyi hindhang / raden hamburu sigra / hindhang darma den turuti /
/ saparanira / hical pandadi wari / # / dados taman ha
wehing toyane hika / cinakra tamani reki / hical
pan dadi nala / hambujeng hing raden wira / mampan raden dadi pa
ksi / paksi garudha / sinamber naga nandoni / # / prang

51. rameh taksa kalawan garudha / sigra naga buru gelis /
nul matur sang garudha / sinamber naga hilang / garudha hi
cal malih / datan karuwan / garudha gahib malih / # /
/ hindhang darma manjing wohe jambu hika / mampan den dadi pak
(5) si / bade nucuk kutilang / hng buah jambu hiku / nulya
hikal jambu neki / hndang sesambat / hadhuh susah hawak ma
mi / # / mampan raden saktine kalwat liwat / su
n humpetan kapangi / hingendi parahing wang / nyi hindhang hewed
hing marah / raden mampan hanututi / saparanira / nulya
(10) prang pinggir hukir / addi watu saputri sagunung hanak / cam
pur kelawan hukir / nanging raden tan samar / juwet temen
nyi hindhang / nyipta gelap simbar glis / nyi hindhang honca
t / hanggebur hana hing kaki / # / raden ngucal nyahi hindhang haja
wangkal /nyahi nututa mangkin / heman hnh hayu

52. nira / bareng muktilan hinwa / dadya sekare puri / kelawan hing
wang / kula kang saged kerami / # / hawit kula kersane yang maha
mulya / maksi panjang lampa habdi / hamung hanuhung nama /
sampun hical nama kula / hawit babad cimanuk puhiki
(5) / sareng babad lan kula / raden kalyan habdi / # / lamon sa
mpun hing benjang dados negara / hing kulon cimanuk kali /
mugi den nama nana / darmayu benjang negara / nyahi hi
ndang silem hng wari / hanang tuke / cimanuk hukr / # / ra
den wira gegetun sajro hing manah / nyi hindhang darma ngonca
(10) tti / kasmaran yen hing ngalana / nulya hingilen lampah / hng pega
dhen kang den hungsi / kang wira setro / nulya ngrangul pinang
gi / # / haddnuh rayi wus lami nembe pinanggya / sangking pundi sang
kan rayi / kados pundi lampahan / henggene ndamel nega
ra / hing wanah cimanuk kali / punapa pun dadya / hang rayi hu
53. matur haris / # / pan sedaya katutur dateng kang rama / kang rama
nulya ngamini / sukur bagja harinta / muga tulus hing be
njang / dadya negari yayi / kangge turnira / hanak putu
ni reki / # / hing pegadhen wira loddra tigang dina / gone si
(5) sini siyan sami / nulya matur hing raka / nuwun nidin hing raka /
/ kang raka sampun ngidini / hanulya pangkat / wangsul haneng
egari / # / sareng dugi hing wates cimanuk wetan / kage
t hana mriyem muni / surak hambal lambalan hapa sura
k hing setan / mampan raden hamarani / dhateng barisan /
(10) / barise wong mangun jurit / # / pan barise pangeran
harya kuhingan pan sejane mrik sani / kulon cimanu
k wetan / hana wong gawe negara / sing wetan nasali
reki / pan wira loddra / nanulya dugi hing baris / # /
# nulya metuk kaliyan harya kunngan / wira loddra ta

54. nya hagls / dhuh nila hng hakrama / puhiki bars punapa / si
ya gisamakta jurit / kiwaru hingga / matur kang sayakti /
/ # / kawula bala sedaya sangking kuhingan / nangiring hing
gusti mami / badhe namriksa nana / tiyang hingkang wangu
(5) n negara / lan sinten hingkang wewangi (un) / wani hambaba
da / negara ge (tdk terbaca) wenggoneki / yen ngucap ka
beneran hawaking wang / kadi paran yen wis manjing / haneng
negari hingwang / sapalawak yuda brata / maksi bakal kang negari / sa
hestu kahula / habdi hingkang hamimiti / # / wira loddra pan kahula
(10) hingkang gadhah / gampil cahos hing gusti / yen sampu
n dados negara / srahing dereng petha / benjang kula hatur ba
kti / mring gusti sunan / yen sampun dados negari / # /
krana waktu puhikipan maksi bakal / pati waru hingga
nangling / lah kebenaran noing wang/sukur bagja pinanggya /

55. sumanggah sahos hing gusti / hara kuhingan nuli sa
hos tiyang kalih / # / sampun katur hing gusti karya kuhingan /
dalem ngandika haris / bagja waru hingga / cahos
hing harsa hingwang / lah agwa kanca sireksi / lasapa hika /
(5) / matur waru hingga patih / # / milah cahos gusti kahula hing
ngarsa / panbadhe matur hing gusti / tiyang kang wangtun negara / pu
hiki wing kng hamba / wira loddra kang kekasih / sumanggah
karsa /ngandika harya kuhingan / # / ketambetan kahula
(10) Sinuhun holya/ketimbalan wangun yuda / mapan menta
Stas / parang tandhing / lan dalem kiban / sangking
galuh prajurit / # / mapan kula kangutus dateng jeng sultan / kon
mriksa puhiki / wantun gawe negara / hanang wewengkon su
ltan / grage hingkang negari / hidin sing sapa / wira lo

56. dra hamang suli / # / matur lepat kula hing jeng ngandika / hawit
dereng matur gusti / # / hang sultan holya / leres tepat pan hambal /
/ hamung nuwun / hidin gusti / sekarsan dika / dherek tiyang salah
gusti / # / ngandikane kuhingan langkung sagaluga / yen mengko
(5) non sira hiki / tan katon gusti sultan / sun prajuri
t kuna / sangking kuhingan negara / pan wicaksana / hingsun harya ku
muhing / # / wira loddra permantu putra sing wetan / turun sang
king majapahit / lah wong ngapa kuhingan / haku jalu pang
ngapura / teka sembrana ta hiki / wecana nira / ngadiraken yen
(10) prajurit / # / pan gisini kuhingan sira wong sunda / tanduwe
tata krami / wong sunda sembrana / ngakune prajurit kuna / pengrasa

nne hingsun wedi / hing rupa nira / kumuhing hingsun wani / # /
nulya nyentak kuhingan hing wira loddra / lah cobah tanding lan mami /
kang rupa kaya sira / waru hingga nyandak / wira loddra hing

57. nginggati / sinepak henggal / waru hangga kalu lintang / # / panke
dhako (m) kiwaru hungga hing lemah / kumuhing nrajang wani / surung
sinurung kang yuda / genipun ngadu guna / perwantu tiyang hajurit
(5) hing ngangge karepra piyangga / sinuhun tan ngidini / prang hatawa
ngusira / hing tiyang gawe negara / muji sukur hanambahi / gawe
jajahan / kuhingan hing ngalancangi / # / pan sinurung ku
muhing tiba kalumah / sinepak pan kajumpalik / mrang kang
hangungsi kuda / si windu titi nira / si windu dipuntitihi /
(10) delengen hing wang / pesthi sira hangemasih / # / yen hanyepah siwi
ndu panjaran jimat / mangsa kuwata siraki / krana hakeh luwang
nya / wong galuh hakeh kang pejah / siwindu hingkang nyepaki /
/ hayu majuwa / nulya cinandhak wani / # / dhateng wahu rahade
n ki wira loddra / kendhali dipun cekeli / tan bisa hobah
58. polah / jimat tawah wus camah / nalika galu duk dhingin /
Prang lan kitan / binirat haneng ngukir / # / mila windu tan
kiyat hayuda brata / hing gebeg salira neki / den wira
kelangkuna welas / windu ngereng sira /yen ngucapa siwindu
(5) mangkin / hadhuh den wira / hucul kena gusti habdi / # / pan kawula
tan wani kalih sampeyan / nuwun hampura gusti / sdhekuh sukunya
/ sujud windu hing ngarsa / pan raden welas hingali / nulya den lepas /
mundur siwindu tumuli / # / gurawa / lan kuhingan pangucap sira / he
rantemen windu hiki / mampan sira sering perang / heng gempur wong
(10) sa negara / bareng hiki wong sawiji / sireku kalah / siwindu
hambesat haglis / # / kinenceng ngantan kam (?) h plajengan /
hemantemen windu hiki sampe muride nglawan / hinh ngereng
hapus sinebrak / tan kiyat harya kumuhing / tina
hantar kena / lir kilat lampa hireki / # / sareng du

59. (1) gi hing wates negara nira / kenipatakan tumuli / hing kanggu
sti kuhingan / kantakane muta / gumuling wonten hing si
ti / siwindu malompat / hical jro wanaddri / # / merkayang
ngan siwindu sajrohing halas / perwantu kuda kuna dhingin /
turun sing buda prawa / turune sihab brapuspa / mangka wi
(5) ra loddra mangkin / sampun panggya / lan waru hingga pati
/ # / waru hingga lajeng manembah henggal / dateng wira
loddra mangkin /sawi hamastra hana / hing jiwa raga hamba / wira
loddra ngandika haris / hing waru hinggal / wus rayi henggala bali
k / # / hambujenga tung gusti nira henggal / sampun hanang
(10) negari / waru hingga manembah / dateng ki wira loddra / kelang
kung bunga kang ngati / ki wira loddra / nyata tuhu praju
rit / # / sampun bubar sedaya bala kuhingan / nulya
reden wira mangkin / seja nunten hing lampa / hing pu

60. (1) ndi dipun seja / hing grage kang negari /hing gusti sultan /
sampun cahos kanjeng gusti / # / nulya nyembah hangambung hing
suku sultan / nulya den candak tumuli / dhuh wira loddra sira /
kebeneran pan pinanggya / panu jukumpuling wali / ba
(5) gja sira / kasuwun barkah jeng gusti / # / nuwun dukama he
wu hewu duduk / pejah gesang ngepun habdi / damel negari / pasra sapan jeneng
ngan tuwan / sedaya karsanne nata / kelawan takdirne widi
hing lancange hamba / habdi damel negari / # / hangan
dika sultan maring wira loddra / kangge turun nira benjang /

(10) hanak putu turun sultan / majapahit turunya / sangking brawijaya dhingin /
/ turun nira / dhang dhang gula kang gumanti / # /
/ # / dhang dhang gula / # / wira loddra matur hing jeng gu
sti / nuwun barkahing rama holya / badhe wangsul gusti mangke
sedaya hidin sampun / wira loddra mundur sing ngarsi / gega

61. ncangan lampah hira / dugi hing cimanuk / mampan sa
sami pinanggyan / kadang kadanga kang den tinggal haneng riki / kadang
ngrakul sedaya / # / hadhuh kakang langkung sangnget kawatir / ka
dang sedaya kang den tinggal / boten wonten beja beja ne
(5) / hindhang darma pinunjul / kados pundi hing semangkiri / werni nipun
hindhang darma / ketangkep wahu / kang raka haris ngandika / hadhuh
yayi / hindhang darma / hilang hing kali / lumuh nglakoni krama /
# / hing tukkr cimanuk kali / nanging hindhang weling nge suwara / ye
n dadi negara mengko / konmastani darmayu / huga rayi hing
(10) sunturuti / krana nyi hindhang darma / hestu tiyang punjul / data
n kotor yuda brata / hindhang darma tandangira mapan hali
ri / tuhu wong wicaksana / # / wus pinasti karsanne yang widi /
senajan kang ngawiti kakang / kang gawe negara wong loro / hindhang
darma mampan tumut / hing gelar hawe negari / dadi campur

62. wanita / hadatte wong dermayu / benjang hanak putu kakang /
yen lelungantan ngilo wasiyate benjing / keris hatawa hing pe
dhang / # / benjang negara dermayu yayi / dadi pengungsen segala
bangsa / tanah sabrang dugi mangko / si(ng) wetan kulon rawu /
(5) perwatetke hing sale histri / sami brumah tanggah / hing darmayu
hiku / nuli rameh hing negara / hamung susah benjang hanak pu
tu mami / haeh kang padha sengasara / # / hamung kakang sedaya pan
rayi / hatur kula kadang sedaya / karsa ngatur gelar ranne
/ nulya sami hamangun / wesma katemenggungan rayi / te
(10) mpatte wong ngatur karya / miwa tarub hagung / kangge ngise
ni negara / # / kadang kadang sedaya nireki hummatur sumanggah ka
kang / hamit rayi medal mangke / kakang ngidini wahu / pan seka
lih medal ling jawi / hanepangngi hupacara / kaki tinggil iku

63. ki pulaha bayan taka / hanggas kara wanasara mantri/ handhar pepeking
ngarsa / # / wus bedhami sedaya neki / badhe mangun karya negara /
cakep siyagi sekabeh / wangun tarub hing kang hagung / kangge tempat
kajat benjing / kumpulle hing kawula / pan hantuk saminggu / jaler
(5) histri kumpulena / kidang sameejangan banteng lan sapi / hantuka
hing kawula / # / gamelane hangklung calung lan suling / miwa tetembanga
n suka sua / ki tinggil pengiringe / ki tinggil ngibing sampun /
megat megot weteng blendhing / kinepokan hing nayaga / cingke
me macucu / wong gumuyu latah latah / kang sawene gumuyu
(10) haniba tangi / surak kadi hampuwan / # / hahingali pola
he ki tinggil / pencen lucu yen tihingalan / gumuyuh sura
k suwarane / hajeng halit sami kumpul / nuli medal kajat ne
ki / sedaya kumpulng kajat / nuli ngandika rumarum / mampan
raden wira lodra / heh sanaku sedaya kang haneng hiki / mugi

64. den saksenana / # / henggene sami wangun negari / mampa
n sampun dados negara / kalawan karsane yang manon / negara da
dos sampun / sami dika serta nakseni / pan hingsun
hawe jenengan / negara demayu / humatur sedaya tiyang
(5) / hanakseni jengengan negari / kawula suka sedaya / #
# / pan sepuh supaya ngamini / sarta mawa adonga sela
metan / gumuruh hamin suwarane / pun maca denga ra
mpung nulya raden ngandika haris / edaya rayat kula /
sami linggih wahu / mangga kula turi dhahar / bismillah se
(10) daya nireki / rameh gene hadhaharan / # / sesa
mpune gene bakti / mangka tinggil nyambungi sabda / ha
dhuh sanak hingsun kabeh / sedaya kula suhun /
saban sasi kados hiki / hurnan rayat sedaya / ku
la kambingah blendhuk / dedengkengan pola hira / tiyang

65. kathah sedaya sami nngepoki / tunjang harebut bareka
t / # / sami bubar sadya neki / kadang kadang sami dhahar /
kitinggil tukang mejane / dhahare suka sampun / tabu
wane / cilimpung suling / rebabe bareng lan senggak /
(5) tembange muluk muluk / kang dhahar suka kang manah / su
warane calung clempung lan suling / hangklung campur lan reba
b / # # / kajat ngarani negara darmayu / tahun 1610 (?!) /
/ # / hingkang rayi ngrahos pun lami / nuli matur kados pu
ndi kakang / srehing lami kula mangke /pan rama ngayun nayun / da
(10) teng habdi sedaya neki / yen hidin panduka raka / ra
yi bade kondur / kang raka haris ngandika / sarwi ngerangkul /
kang rayi sedaya neki / kaya hapah polah hingwang / # /
mampan kitinggil kang kari rayi / hamung kakang haturena / da
teng rama hibu mangko / hampan sakehe kadulu / rayi

66. sedaya tanah ngriki / gelare gawe negara / hageng haliti
pun / sampun lepat denaturena / mungguh kakang tan bisa wangsu
/ sahiki / maksi dangdos negara / # / sareng henjing rayi mangka
t tumuli / wangsul haneng bagelen negara / kang raka hangater
(5) rakeh / dugi hing wates ipun / nuli sami sesalaman hiki
/ sarta kang wangsa negara / mampan hi(m) penipun / dhuh rayi mugatu
lusa / pikantuk kaslametan teng yang widi / sindinah tembang dur
ma / # / DURMA / # / sakondure kadang kadang mring nega
ra / wonten musuh nekani / badhe ngreba(u)t negara / krana baka
(10) l mulya /dumugi hing jaman nakir / hanak putunya / turu
n pitu / bopatih / # / pan tumenggung sing jepara pelariyan /
deniring sakanca neki / jeneng niti negara / batu haji
kang raka / sampun dugi hing dalem neki / den wira lodra / nuli
den priksa mangkin / # / hiki sinten ngrawuhi teng kawula /

67. boten ngangge tata krami / kang duwe negara bakal / ha
neng satengah hing wanah / mapan dadi digjayani/ hanungganga taya / ba
tu haji hamblesi / / # / ketambuwan hingsun wong hing lela
na / saparan paran mami / dadine hingsun tumeka / pan hanang nega
(5) ra nira / hiki bakale negari / badhe sun tedha / tan suka hi
sun jurit / # / wira lodra mukanya kadi brama / hanuli
mingeh ngeri / ngadeg kiyahi pulaha / miwa kanca sedaya / ci
nanadak binakta jawi / geger curahan / rameh gone ha
jurit / # / kyahi henggalagi sedheng dhemenaprang / baksane
(10) ngleter wani / yen sinabet lan pedang / malempat kadi ki
lat / megat megot hamarani / rameh peprangan / musuh
kathah kang (ka) jodhi / # / ki pulaha hamajeng hanang payudan/
baksane halus manis / dhuhung sinontengan / pedhang hing ngage
m hasta / mapan cakep hing ngajurit / maju jatmika

68. (1) heran tiyang kang hingali / # / musuh lathah kang pejah kenang pu
laha / balane batu haji / heran niti negara / wong teng
ngah hana hing halas / ko padha bisa jirit / lir tiyang
negara / sun kkira tan bisa jurit / # / nulya medal niti
(5) negara hing payu dan / sarwi hangu wutandhing / he wira lodra /
haja suwe ngadu bala / pan hayu maju hing jurit / payu
mapagaya / den wira lodra ngedali / # / sampun mapag hayu
n nayunan hing yuda / heh wira lodra mangkin / hayu hengga
l gitika / keris hatawa pedhang / hayu hingsun tadhahi / den
(10) wira ngandika // hora watek handhingini / # / hayu sira ngabe
t tak lawan pedhang / henggal niti negari / hangasta wangkingan /
hanyu duk ki wira lodra / niti negara binanting / gumulung hing
kesma / den taleni hing ki tinggil gagaya / # / pan binakta bi
nanda hanang konjara / nuli majeng rana malih / sumbar su

69. (1) mbar den wira / pan haneng tengahe ranah / heh prajurit ba
tu haji / majuwa hing rana / tandhing ngena jeneng mami / # /
ngajokaken prajurit hing kang hurahan / yen tahu sira
prajurit / kang jangkar hanang rana / haja gugup gitik kira / pan tu
(5) hu sira prajurit / hayun nayunan / hudreg hasili hu
ki / # / samya benthak bedhama hudreg gudregan / raden pan
haneng jurit / nemu tandhing hing yuda / batu haji lan de
n wira / hasurung sinurung jurit / den wira matekka / medal ti
wi krama / neki / # / hantarane hagenge magunung hanak /
(10) / batu haji ngontuti / melajeng sing rana / mengngidul parani
ra / hing pundi kang dipun hungsi / mampan mertapa / pandadi pandhita
mangkin / # / mampan benjang ki tumenggung lenggi hira / ki gedheng
dhepok mangkin / cisambeng kang pernah / hinggih kedhah carita / pa
n salin nama neki / ki gedhe sambeng nama / hing benjang turu

70. naneki / # / kang ngrusuhi hing darmayu pan negara / susah panti
yang halit / jinarah kebo sapinya / bras pari lan
harta / katahah tiyang den pateni / bubar sasaran / me
dal sangking bantar jati / # / kang kocapa puspa hita
(5) bayantaka / nulya sara ngamuk hing jurit / nulya den wira lo
dra / ngamuki bala kathah / balane tumenggung mangkin / nungkul
sedaya / pasrah maring kyahi tinggil / # / milah rame ne
gara keramba(h) tiyang / hatusan bala neki / sami brumah tangga /
pansami seneng sedaya / langkung rameh kang negari / tiyang kang teka /
(10) pan dame / wesma mangkin / # / pan sumatra plembang kathah kang teka / wii
ra llodra jenenganeki / kyahi dalem jenengnya / lan ngangkat demang
lan ranggah / tumenggung kelawan pathih / pepek sedaya / ponggawa
klawan mantri / # / batu haji kelawan niti negara / hing
kang wade tanah jawi / hanang bangsa blandha / tanah bogor

71. krawang / bala hambral katah mangkin / pun ngadeg jendral
miwa katah soldhat neki / # / lolosi pun hangung
sidarmayu hika / hambakta harta mangkin / pinten pinten gotong
ngan / harta mangewu juta (?) / reden wira lodra kadugi /
(5) kaberan harta / dehing tumenggung kalih / # / hamiruda (?)
bakal kapotong jangganya / niti negara mangkin / wong lo
ro gawe pitnah / hamung salah hing lampah / badhe hambedhah mang
kin / darmayu hika /hiku pan nora becik / # / gemuh
harja darmayu dadi negara /senong pati tiyang halit / kawentar saba
(10) n negara / geris dehingalana / saktine hang leliwati / pan wira lo
dra / mapan manca negari / # / kina siyang hing sultan negri
metaram / mila manca negari / salah katha tiyang prapta / sangking
sanase negara / bakta banda kaya neki / ming darmayu hika /
ginanti hing dhandhang gendhis / # /

72. (1) / # / dhang dhang gula / # / kang kocapa niti Negara
nangis / hanang ngarsane pun wira loddra / reh badhe kinirima
keh / metaram sinuhun / haturipun melas asi / pasthi
gusti kahula / pinotong gula hulun / habdi gu
(5) sti nuwun gesang / wira loddra sanget welas hahingali / batu
haji hingkang dosa / # / sinangon nana harta niti nega
ri / haken kasa kentungsi harga / kon tetapa ngilangake
/ dosa nira kang hagung / nulya kesa niti negari / pun lepas la
n pahira / benjang lenggah hipun / turunanae niti
(10) negara / tumut dherek hing brandha / hiku benjang / leng
gah hing losa hing (rang) hika / # / kacarita ki dale
mayune / mangka sampun sesunuh / pan sekawan katha ne
ki / pemajenge suta marta / wira patih wahu / nyi yu

73. (1) hinten histrinya / wuragile / raden driyantaka mangkin /
kang rama sampun sedah / # / hing kang ganti dalem neki / hing kang
putra raden wira patya / gumanti wah lungguwe / dalem hanang
darmayu / garwane kiwira patih / katha hipun sekawan /
(5) / hinggih garwanipun / hikugarwa kang sekawan / hape pu
tra / tiga las katah neki / hestri pan miwa periya / # / ma
pan raden wira patih / sedherekan ratu pulo mas / werdina
ta jujuluke / pan sanget hasih hipun / den wira lan werdina
te ki / kadi sederek priyangga / silin genti rawuh / lami lami
(10) gadhah manah / werdinata dhateng rayi hinten hiki / blaka matur
hing kang raka / # / hing kang raka sanget jumurung neki / hamung sampun
kabakta rayinta / hing negari rayi mangko / namung satunggil wahu /
sedherek kula kang histri / kang rayi werdinata / derek kersa wahu /
pan sampun dhahupunika / werdinata lan nyi hayu hinten

74. (1) n mangkin / sanget sih sini siyan / # / sareng hing lami la
mi kang rayi / nyayu hintengadhuh wratan / tigal sa
sih lamine / mangka sampun babar wahu / medala kung
pekik hing rupi / sanget bingah sang nata / hanang putra ni
(5) pun / lihing lingling lingkang putra / pan sinareng kakang ra
den wira patih / kang putra pinaringan nama / # / kang pepara
b sirempag mangkin / randen wira wringin hanom nama /
gumilang gilang cayane / kuhing cayane humancur / sanget
hasiye rama kami / pan dateng hingkang putra / humur tigang
(10) tahun / kebak ta dateng kang rama / werdi nata hing pulo
hemas negari / pan sampun wi cak sana / # / nulya ra
den wira patih / den pinang sraya sumedhang / badhe nuhun bantu
mangke / srahing dipun rurug / hing dalem caya misnenggi / miwa da
lem kuhingan / balane lelembut / sangking honom

75. (1) drubiksa / wong sumedhang kathah kenging penyakit / ta
n kiyat yuda brata / # / nulya kang rama nimbali mangkin /
dateng putrane sultan pulomas / pan raden wringin hano
m / kang kang putra sampun rawuh / cahos ngarsa rama haji / bage
(5) ya putra hing wang / kang putra humatur / kados pundi kangti
mbalan / mugi rama bakti habdipun tampi / saha won te
n dhawuh napa / # / nuli rama ngandika haris / heh mas ba
gus putra hing wang / gancang suntimbali mangko / rama tampi
srata wahu / sang dalem sumedhang hiki / rama den pinang sraya /
(10) katempu mungsu / ciyamis miwa kuhingan / sartagawa ba
la dhedhemit / sangking henom drubiksa / # / hingsun pasra ba

la dhedhemit / hingkang nandhing juritira / ciyamis kuhingan
hing ngo kang putra sumanga matur / sampun kuwatir rama haji /
kang putra naggeling yuda / mungsu hing lelembut / kang rama
surya dihingrat dalem ciyamis / brata kumuhing dalem kuhingan /

76. (1) nulya ngndika / yen makono hing sun pangkatdina hiki/
kang putra dherek pikarsa / # ? tiyang sumedhang karta hingkang
padha ngili / mapan bibar kengingi drubiksa / gumarenggeng suwara
ne / tiyang ngetan kadulu / milah sanget nahrih neki /
(5) dugi dalem wira loddra / cahos hanang ngayun / hinggar
sa dalem sumedang / sareng dugi / rinangku sarya hansngis / na
dhuh putra bantonana / # / tan riyat mungsu dalem ciyamis /
mapan balanipun drubiksa / mampan raden wringin hanom /
lan jangkara tumenggung / hembanipun kang putra mankir /
(10) putra hing karsa / katur negri hukum / nulya raden wira loddra /
hatur sembah / nu(hun) nidin samapun habdi / sampun kuwator jeng
ramal / # / sareng henjing mendaling jurit / hing
kang putra ngusir drubiksa / mampan raden wringin hanom /
lan jongkara tumenggung / hembanipun kang putra mangkir /

77. (1) ramen tempuh hing perang / bala honom larut / niba
tangki pelajengira / tinggal kanca gusti / bubar
kang bala kuhingan / # / nulya wong sumedhang mangkir /
sareng ngrahos mulya sedaya / prajurit medal sekateh / nang
(5) rang seg prang pupuh / sami ngusir tyang ciyamis / kathah prajurit pejah /
tiyang ciyamis hiku / pengemuke tiyang sumedhang /
wong kuhingan miwa dalem hing ciyamis / sami hamapang
yuda / # / surya dingrat brata kemuhing / wahu
raden wira loddra kinarubut hing yudan / pan sanget binga hi
(10) pun dalem darmayu pan sakti / nulya dalem wira loddra /
tiwikrama wahu / hantawis sagunung anak / sareng hingal dalem
kekalih puhiki / melajeng lir kadi kiyat / # / bubar wadya bla ciyamis /
den bujeng dalem wira loddra / so ca kembar lirsergenge / siyung thathit dinulu / rema

78. (1) nglamprak hing siti / suwara kadi hglas / gager hing
kang lumayu / pisah gusti lan kawula / rebut gesang bala
kuhingan ciamis / dugi hing pawatesan / # / wringin
hanom bujeng dhateng dhedhemit / nulya mehuk kelih kangro
(5) ma / kalih jongkara rencange / loh keberan sira ku lup /
kaya priyen musumu kaki / berkah panjenengan rama/sida
ya lumayu / huya musu we kang rama / wus sami bubar ka
beh tan kari / siyamis lawan kuhingan / nuli kang putra matur haris /
minawi hidin jeng rama/ putra badne loangsul
(10) make/ kalih paman tumenggung/ hawit ku canos negari/ jan priogi
kang jaga/ roma hidin sampun/ nulya menambah kang putra/ kalih
paman jeung tumenggung jongkara mangkin/ sigra mlesat hing nagara/
# / nulya kang rama miyarsa wardi/ bala ciamis lan kuhingan/ pan sampun Bubar sakabeh/

79. (1) kang henggal kang rama mathuk/ serta bakta putra nistri/ nih jolijem pana/
Maka sampun mathuk/ dhuh putra sarenga numpak/ #/ punika putra rama
Pribadi/ kangge juru sapu miwa
hadang/ hanak hukir langkung hawon/ kang putra langkung kasu
usun/ numpek hanang jempana gelis/ samargi dados/ sedheng hayu nipun/
sareng dugi cinawisan/ dipun papag game lan miwa prajurit/ pangula sampun
siyaga/#/ sareng turun sing jempana mangkin/

(10) para histri miwa hibu nira/ nambakta mas sabokor/ hisi dinar hsasrta waha/
cinampuran lan kimtali/ tinawar aken kang harta/ wong akeh padha luruh/
hana king kang holih papat/ holih lima/ hana hingkang holih siji/ lir rengat
kang pertala/#/ sedaya nipun para prajurit/

80. (1) /miwa senah pati ngelaga/ miwa kawula sekabeh/ pan sa
mi hormat wahu / sanking banget bungah neki/ handher kawula
hing ngrasa/ dalem ngandika harum/ hing para kawula bala/ sakes
nana sangking pangandika mami/ langkung sangking katarima /#/
(5) /maring putra wira loddra mangkin/ lenggah dalem darmayu
negara/bawa hana hingsan teka (ka) beh / pesisir hing kandhang
ngahur / hingsun psara hing putra mami/ dadi sawiji negara/ ka
wula/ prajurit samya nakseni/ mantra hiku sedaya.

(10) #/ nulya dalem wira patih/ mundhun sangking palinggiyan/ sar
wi ketampi sihe/ gih rayat ku kula sedaya rum/ hing kangsami linggih
hing riki/sangking sih panduka rama/ kasuwun mahewu hewu/
kula trima sih jeng rama/ kandhang ngatur/ pesisir lor kula
tampi/ nulya sami sesalaman /#/ lajeng sedayane para ma
(15) ntri/ miwa bala bala ngelaga/ suka bungah sedayane/

81. (1) samya dhdha haran wahu/ rameh gede bukti/ kinte
n hantuk pitung dina/ nulya sami kondur/ handrek kake
n sedaya/ dating dalem wira loddra kondur hiki/ dugi hing pa
wentasan /#/ kang lajeng hing darmajeng negri/ kang para ka
(5) dang miwa rangga/ nulya pinethuk rawu he/ kang garwamiwa
putra nipun/ sanget bingah rama prapti/ hantuk nugraha hing wong/
ra harja hing pupu/ serta pinaringan garwa/ hiku lawan pesisir
kandhang ngahur mangkin/ langkung kasih hingkang garwa/ garwa
sumedang tan kari kari/ pan kinanthi hastanira/ sanget nasih
(10) hing garwane/ hing wingking para weru/ putra dherek sedaya neki/
sanget bingah hing manah / sedaya pen runtut/ apra waru maru miwa putra/
sanget mukti henggene lenggah negari/ name nipun hingkang putra/
/#/ kang pamajeng raden kowi / raden timur miwa suwedinya / wira
ntaka sakawane/ wira hatmaja hiku/

82. (1) / mapan gansal kagungi reki/ nulya putra histerinya/ harsa suka hiku/
sa kalira diwangsa/ naya wangsa/ wira laksana nireki/ hadi wangsa
naya hasra /#/ puspa taruna patrana yeki/ sampun jakep putra tiga
lan/sedaya dadi pangkate/ samiyah mukti sampun/ para pu
(5) tra sedaya reki/ nulya wapet dalem rama/ pan ginan ti wahu
hing raden suwardi / putrane jumeneng pangkat/ dalem sam
pun peputra malin/ pansekawan nipun/ nanging benggala beng
(10) gala/ putra kakung hingkang sekalih hineki/ mapan sampu
n gegarwa /#/ lajeng wamamulih ngajal neki/ hingkang ganti re
bat pangkat/ kang rayi sanget pengene/ dadiya hing da
lem lungguh/ benggala jeneganeki/ singa loddra kapan ga
gagan/ wilaksana punjul / kangraka raden benggala / ha
(15) liyas singa loddra kajenenganeki/ pan handhere

83. k hing karsa/ nanging rampage para bupatih/ miwa para pembesar/
/ kang ganti kedah raka ne/ nanging kangrayi wahu/ lamon kakang
kang ganteni / dakem lungguh nipun rama/ pasthi hingsun ngamuk/ ba
gjane tumeka ngaja/ lamon sun tanda di dalem puhiki/

(5) gumantri lungguwe rama /#/ klangkung sesah para ponggawi/ li
mang sasi tanana dalem punika/ nulya monten putusane /
sangking betawi wahu/ kang den hutus tuwan puhiki/ pandhe
bos jeneng ira/ pangkate kumdenur (?)/ hambaknta satambar
soldhat/ hutusane gupernur jendral betawi / kang raka kanggu
(10) mantiya /#/ nanging tigang tahun lami neki/ dadi dalen pangkat nika/
kang rama wahu lungguwe/ nuli kang rayi matur/ raden singa
loddra ka hiki/ yen mangkonon nurut hingwang/ raka dherek
sampun/ hingang raden singa loddraka/ mapan tumut handhe
rek hing lahut mangkin/ deteng gupernur tuwen /#/ kembang

84. kampu hing hiki/ sampun mentas hing betawi
ya / nembakta hanak bojone/ kang raka hing darmayu / june
neng dalem puhiki/ hingingtan hanak hing manah/ hongot
hingrayi nipun/ siyang dalu ngatos kurhan / nulya dhateng
(5) wates neki/ tigang tahun lami nira /#/ nulya mantra histeri
neki/ den timbalipun wonten hing ngarsa/ nulya haris pang
ngandikane/ sakeh para penggawa/ mampan pasrah hingsun/ perka
ra hiki nega / kresna huwis tumeka nanjine hiki/ karu
(10) napan penggawal /#/ hahingali welese kang gusti / nu
lya patih hasra suta tanaya / nanyambungi sabda mangko/
miwa truna jaya tumenggung/ yentan henget hing kadang gu
sti/ sanggup hing patih sedaya/ bupatih sanguyun/ da
lem haris hangandika/ sanak mami sadaya nuruta

85. pasthi/ karsane yang maha mulya /#/ nulya kondur sedaya
neki/ pansemi nyambung sukunya / hanumpang pangaksamane/
dalem wira loddra wahu/ kagungan kathah putra neki/ wo
lu nunggal kang putra/ kemajeng den lahut/ genjur lan purwa
(5) din eta/ karta wijaya / naya srapinggsal neki/ ge
mbruk lan toyibah /#/ ngayu mengko wuragi neki/
putra wayah rume bending dhahar/ sanget sakit hing mana
ne/ pan ngantos siyang dalu/ hane nuwun hingyang widi/ mu
gi kandel himah kula/ pitulung yang hagung/ kang putra karta
(10) wijaya/ hingkang sanget boten hanak hana penggali/
ngirangi sereh lan dhahar /#/ yen dalu sareh hing setana
neki/ setanane buyut heyang heyang / jam papat wong
sul hageh / karsane yang hagung / kang rama dipun timba
li/ sultan carbon pengngeran/ mampan sampun/

86. (1) matur/ chaos hanang kasultanan/ hanang gusti panembahan
sunan jati/ nulya sunan hangandika/ # / dadine hingsun ti
mbali/ wira loddra ngarsa hing wang/ hingsun hangrungu wartose/ mapan lengser
hing lungguh/ kedaleman hapa sayakti/ humatur pan wira loddra/ hestu
(5) gusti sinuhun/ kersane yang maha mulya/ kang gumanti hestu rayi ha
bdi gusti/ singa loddraka kang nama/ # / sultan welas hahingali/ dating
paman wira loddra/ kalintang sabar hatine/ hanuli ngandika harum/
sultan hing wira loddra mangkin/ sahiki jeng ngandika/ tulungen
hingsun supaya hing kasultanan/ hamejanga hing paman putra kon ngaji
(10) / hing kitab kaliyan kurhan/ # / tajug balong hingsun siyagi/ miwa
wesma cawisan paman/ hampan wus siyagi kabeh/ nulya kida
lem matur/ sumangga dherek pikarsi/ pejage sangipun hamba/
pasra hing sinuhun/ nanging hing panuwun hamba/ gadhah putra karta
wijaya mangkin/ semutan henak hing manah/ # / tan sareh

87. (1) miwa datan bakti/ perwantu tiyang masi taruna/ menawi h(s)awon/
kaliyan pamanipun/ mila nuwun pitulung gusti/ mampan pasra
hanak hamba/ ngandika sinuhun/ perkara hiku paman/ hingsun tirma pa
srahe putra puhiki/ namine karta wijaya/ # / karta wijaya den timba
(5) li/ sampun chaos hing gusti sunan/ handhekukom jemukane/
hing ngarsane sinuhun/ nulya sinuhun ngandika haris/ hanang kar
ta wijaya/ heh karta wijayaku/ sahiki pan hawak kira/ hing
sun hangkat/ dadi mantri pecalang kaki/ panggenan hanang panjunan/
/ # / karta wijaya matur hing gusti/ gih sumanggah handherek karsa/ pu
(10) napa gusti karsane/ sultan ngandika harum/ pernah hing pejagahan hiki/
klawan hiki haturrena/ gawanen surat hingsun/ kanggo raka
hing panjunan/ raden karta sampun tampi srat hing gusti/ nulya ko
ndur sangking harsa/ # / sampun lepas lampa hira margi/ mangka matur hing gusti pa
njunan/ tinampa wahu seratte/ lajeng wirahos sampun/ nulya

88. (1) nulya sunan ngandika harris/ hana hing karta wijaya/ sukur pan sireku/
barengnga lawan hing wang/ penjaga hana hing panjunan sira kaki/ katingngal cakep hing
karya/ # / langkung haris pengngeran hingngali/ hanang raden karta wijaya/ nulya kadhahup
pageh/ kaliyan wayah hipun/ ratu hatma hingkang name/ jumeneng hing panjunan/
(5) wesma nipun wahu/ manggena hanang kejaksan/ lamon jagi hing wates darmayu nenggih
/ prajuritte kawan dasa/ # / wonten malih wahu kang winarni/ pan kiyahi dale
m wira loddra/ lagi pesta rameh rameh/ gamelan mampan kumpul/ rameh rame
siyang lattri/ mantri patih lawan demang/ sami suka sampun/ ki dalem nulya nga
ndika/ hanang para mantri pan bopatih/ kabeh ponggawa hing wang/ # / du
(10) k dadi dalem haneng riki/ hora pantes dadi dalem kakang/ wong santri cilik
hatinne/ wedi dosa kang hagung/ miturut prentahe nabi/ hiku se
pi kang negara/ hadat santri hiku/ senadyan dulur tuwa/ mampan
hingsun hora nurut karsa neki/ hengngettanne hing ngakerat/ # /
kanggo hapa hanang dunya hiki/ lamon hora suka suka/

89. (1) hasar suci hing hatinne/ surak mapan gumuruh/ tiyang halit suka
hingngali/ satingkah polahe nata/ gagah turan bagus/ lagi sedheng
ngtur garwa/ lamon ngibing lagunne sajak kinanthi/ sodherre pan cindhe
kembang/ # / pan mantri sami ngepokki/ nayaganne rameh senggakkira/ ye
(5) n kirang senggakke mangko/ hanjejek hapan hiku/ nayaganne den si
rammi/ sodherre den kipatteda/ ronggengnge rinangkul/ wong hingngalli
langkung suka/ sapolahe pan bagus tandangngireki/ dedeg sedheng padhe
gsa/ sesampun nipun lebaran sami/ wahu dalem singnga loddraka/
hanjenengngi dalem mangko/ lah mapan tigang tahun/ nuli wapat du
(10) gi jangji/ hingkang gumanti kang putra/ ya radeng semangngun/ langkung
rusuh rerame poggan/ tiyang halit kelangkung susah kang hati/
kathah tiyang pinatenan/ # / hingkang sugih bandhakaya neki/ ri
nampoggan para durjana/ datan kiyat panjaginne/ hupacara si
siyang dalu/ patih hastrasuta keliling/ henggene jaga durjana/

90. (1) kadang misannipun / putranne purwadinata / Jeneng Patih Ributte hing kang ne
gari/ wonten malih kang kecappa / # / wonten malih hingkang kawardi / ti
yang ngraman makumpullan / bantar jati kupernahe / tiyawak jati tu
ju/ wong kuli nyarpanca ripis / sesek latha(r) hipun tiyang / langkung pitung (hatus) hewu
(5) / juraganne bagus kandar / bagus rangin sura peksandha puhiki / bagusse na
lawan reja / # / miwa para senoh patih jurit/ para putra putra seda
ya/ bagus seling rangin putrane / raden nurralim hiku / paman misan nirra
hiki / kyahi betawi hika / gedheng kandhang ngahur / pang ngiwakana wakan / ba
gus jari sedaya sing pemayahan mangkin / nanggung prang hing ngalaga / # / siyang dalu
(10) rameh rameh sami / henggen nipun pesta tayuban / tiyang dugi sadina
ne / hang rempug badhe nempuh / pan dhateng darmayu neggri / pan rempag

padha sedaya / hanempuh darmayu / siyagi tumbak bedhama / bedhi
l tulup bandring panah lan suligi / jolen miwa tumpakkan /ngelajeng
ngakin lampah hireki / wahu raden kartawijaya / jumagi wonten wa

91. (1) tesse / datan henak halungguh / ngandika hing para prajurit / heh
sanak kula sedaya / benjing hing dermayu / hatinjo kadang kawula / rayi – rayi
miwa pisan dalem mangkin / pan raden wira loddra / # / kanca – kanca kang para
prajurit / sarwi matur sumanggah kersa / sareng henjing bidal mangke / kor
(5) nel kang hanang ngayun/raden kartawijaya mangkin/hageng hinggil dede
ggira / kuhing wahu/ngangge pakeyan tamtama/hombiyok pe
dhang / hermas sorrotte kuhing/kethah tiyang hing ngaltana/ # /
sareng dugi hing dermayu mangkin / pan hamireng surak hambal lambalan/
campur kaliyan senjatos/sinelek lampah hipun / samya
(10) kaget para prajurit / hingali wong yuda brata / hestri
warna nipun / jeneng nge ciliwidara / putra putri / sangking banten kang
negari / tiyasa ngamba geganna / # / praprajurit dermayu mangkin /
miwa putra senapatya / datan bisa nyepeng mangko / keng nging wicaksanan
nipun / kathah resak para bopatih / miwa para putra putra

92. (1) sareng dulur wahu / kartawijaya ngrawuhana / huwa karta saprajurit tireki / sa
reng pethuk raden krestal / # / lumajar hanyang kemmi pada neki / hadhuh ra
ma karta wijaya / karruna dateng ngarsanne / hadhuh hawa kula nuwun / langkung
resak kang negari / dhuh mas putra hingsun / wong sing ngendi hiki musu / rebutan wani teme
(5) n/ hangrusak maring negari / sapa prajurit kang nama / # / ciliwidara kang nami /
ngangken putri sing banten negara / mala putra rama mangko / kathah hing kang
sami lampus / surya putra surya brata nenggih / miwa raka surya wija
ya / hangemasih wahu / dehing ciliwidara ka / panden panah / kang ra
ma medal waspa nireki / lajeng sangget duka hira / # / heh kang rayi ha
(10) stra suta patih / miwa putra hingsun krestal / besuk kaki sun candhakke / ci
liwidara hiku / sahiki rama rep pinanggih / mampan kambih rama nirra
/ nuli mangkat wahu / malebet hing pedaleman / nulya panggih kali
yan hingkang rayi / raden dalem wira loddra / # / nulya ngrangkul kang ra
yi puhiki / sarwi karuna sambat tira / dhuh raka pitulung mangko /

93. (1) putra rayi kathah lampus / pan sangking musu nekani / bedhe
hang rebat negara / tan kuwawi tulun / ha nadhahi yuda brata /
langsung sakti ciliwidara puhiki / sumanggah rayi hing karsa / # / ben
jing henjing rayi sun netohai / hanandhing hing yuda brata / sapira ha
(5) bok saktinne / wong siji wani musuh / pan kalih wong sa nega
ri / hanandhing hing kadigjayaan / hanang wong darmayu / sareng henjing
binaris san / wadya bala penggawa klawan mantri / bendara
tinarik henggal / # / sarta bendhe tinabu nitir / mangka
ciliwidara / henggal / dangdan busananne hage / gelang kalung
(10) jumer rut / panah miwa bedhama keris / pan cakep hing ngayu
da / perwantu wong hayu / nulya sira sumbar sumbar / wong dermayu wa
ni musuh maring mami / lan sapa tung kang hamapag / # / ketembu
wan sira hing mami / hingsung sedulur kang tuwa / kartawijaya je
neng nge / wani hang rusak dermayu / sira ciliwidara hahing / kadirran wong

94. (1) hayu sira / dureh sira punjul / ngani haya lampah hira / pa
la ciddra ngandika sang rata hanjing / menawi daten cuwa sira / # / nulya
pan menthang senjata ni reki / sarwi wecana den priyatna / pancen wong ce
ndhek humurre / ngrasani panah hingsun / panah kang haran si blabar ge
(5) ni / mampan datan mindhowa / yen nita hang nguyun / hanang getiye
manusa / sigra lepas senjata wus hangenani / hobah beba
lunge hika / # / meh sanalika di bengsiti / hang rasapeteng kang pahing
ngal / henggal hanyangking pedhang nge / nyata prajurit sare
ku / ciliwidara den rubetti / hudreg pedhang pinedhang / sekalih
(10) pinunjul / tan wonten hasor hing yuda / tiyang surak lir kadi
reng ngat hing gummi / sirna datan karuwan / # / heh kartawi jaya
sireki / ngiseni sira prajurit lanang / kurang titi peprangnganne /
mangka ngandika nne hasruh / raden kartawijaya mangkin / sundel dha
yang ngumbaran / haper kang haneng sire ku / ditakenna hanang hing wang /

95. (1) hawak king wang mapan hingsun datangingsir / hanadhahi tingkah hira / # / cili
widara tan kuwawi / henggon musuh karta wijaya / langkung habot
sesangganne / karta wijaya hiku / sayah kumareket hingg
alih / matek haji tiwikrama / cinandak sampun / den he
(5) dek hanang pertala / ciliwidara hambles hana hing bumi / sirna da
tan karuwan / # / karta wijaya cuwa hing galih / samusna nne ci
liwidara / ngandika hing prajuritte / kon jumaga hiku
/ hicalle ciliwidara hiki / mampan sami jinaga / siyang mi
wa dalu / nulya raden karta wijaya / wadya bala bubar mu
ndur puhiki / nonoman para putra / # / sinom / # /
mampan sami pinanggiyan / kang raka miwa kang rayi / miwa pu
tra putra sedaya / kalih kang rayi dipatih / hastra sutra jeneng ne
ki / sedaya cahos hing ngayun / ngaturaken kasusahan /
ressikke tingkah negari / nanging bagja pitulung nge hingkang raka / # / kang raka

96. (1) haris ngandika / hing kadang kadang ngi reki / ting putra – putra seda
ya / dhuh yayi masih basuki / karsanne yang maha tinggi /
henggal pan kakang rawuh / boten huhing nga yen su
sah / yen saweg hamangunjurit / heran pisan hi
(5) lang nge ciliwidara / # / kang rayi materring rama / kabagja
ma kethi – kethi / karsanne yang maha mulya / raka henggal hing rawuwi /
mila kasuwun pan rayi / sangking barkah raka wahu / la kados pundi
pikarsa / menawi haso rumiyin / dhateng rayiming dalem katurran lenggah /
# / kang raka haris ngandika / tek trima karsanne yayi / hananging sejanne kakang
(10) / gih badhe wangsul rumiyin / hawit hing lancang ngi gusti / tan se
ja raka habantu / hingrayi yuda brata / mila badhe matur
gusti / lan kuwatir hilang nge ciliwidara / # / perwantu tiyang digja
ya / menawi malebu rayi / hing penjagahan kakang / hang grage
negari / mungrayi kang ngati yati / jagane hilang nge wahu /

97. (1) la kados pundi pikarsa / jaganen ponggawa yayi / hiki kakang ba
dhe wangsul sapunika / # / sedaya sami rangkulan / para putra hangebakti
/ nulya ngiring lampah hira / dumugi hana hing jawi / nulya henggal pa
n lumaris / ponggawa dherek sanggulun / malebu hing padaleman /
(5) / nulya bubar masing masing / hantuk hidin sangking karsanne bendara / # /
sareng nuju dinten jumah / dalem wiraloddra mangkin / saweg sineba hing
rama / patih hastra suta mangkin / jumarog jog hingkang prapti
/ nyi jaya cahos hing ngayun / sarwi menembah hing ngarsa / ki da
lem ngandika haris / dhu bageya janur gunung kadingaren yayi
(10) prapta / # / tek kira hana sugarwa / nyi jaya haturre riris / dhu
gusti matur duduka / katiwasanhabdi gusti / sangnget sa
mpun duka gusti / badhe matur kang sahestu / ki dalem ha
ris ngandika / mara (ng) yayi sun hidini / hamaturra saking ha
pa lepat tira / # / habdi den pethuk hing kadang / sahiki nembe

98. (1) ne dugi / dereng wangsul wesma hamba / habdi sangking bantar jati / para kadang
sedayeki / kumpul damel tarub hagung / sampun kathah tiyang pra
pta / hantawis sanambang gusti / badhe ngraman hing resak neggri pandu
ka / # / darmajeng badhe den resak / pan habdi kaperdi gusti
(5) nangnging kukuh gih kawula / tan niyat cidra hing gusti / badhe tumut nu
sup gusti / dumugi hing hanak putu / sumanggah sedaya karsa / jangga pa
ti saksi habdi / datan seja / badhe tumut tiyang salah / # / ki
dalem haris ngandika / sukur bagja sira yayi / mugi yasa turun ni
ra / daiya sawiji benjing / kali saguru lan mami / tek ta
(10) rima sejanipun / wus rayi henggal mundura / henakka hing wesma
rayi / lan sun halih / nama resik hiku jaya / # / nulya
nembah hareng ngarsa / humatur kasuhun gusti / mangkana ki wira lo
ddra / ngandika hing kakang pati / kados pundi kakang hiki / haturrne nyi
jaya hiku / punapa kakang hing karsa / humatur pan kakang patih / kedah gusti /

99. (1) kapriksa tiyang ngraman / # / nanging bakta prabot yuda / siya
gi praprajurit / miwa pesang ngonhing tiyang / sasat musuh haneka
ni / hawit hing wewengkon gusti / yen kukuh di rangkep hiku / kang gu
sti henggal ngandika / punapa karsa kang patih / benjing henjing kedah
(5) kempal senapatya / # / henjing miyos hing payudan / lenggah
hing paseban jawi / ngempellaken para bopatya / sentana mantri pra
jurit / truna jaya hingkang rayi / niwa wangsa truna wahu / tanu
jiwa kang raka / jiwa suta kang prajurit/ tanu jaya mi
wa wangsa naya demmng / # / suta wangsa kang prajurit/ tanu jaya mi
(10) rit neki / ngandika kaya hipatya / dhuh kadang – kadang prajurit / se
daya kang sun timbali / dadiya kawruwannipun / sahiki wonten wong
ngraman / haneng dhusun bantar jati / karsannipun hinggusti hayun kapriksa
/ # / kula haturri sedaya / samakta siyagi jurit / perwantu mriksa
brandhal / sampun kirang pan siyagi / benjing henjing kulaturi /

100. (1) / budhalle ming jati tuju / punapa kang dadi tiyasa / pajunne
tiyang hajurit / bendhe muni kula turri sami bidhal / # /
nulya kondur sing paseban / patih hastra suta mangkin / prawantu
gagah jatmika / hing ngiring para prajurit / konca mawi cindhe ku
(5) hing / kuluk murub hinten jumrut / sinonthe kerris hing kanan /
hing ngampel kerris hing keri / pancen gagah dideggemapan sumba
da / # / bendhe muni sami budhal / hupacara para mantri / demang rangga
lawan harya / miwa mantre lan prajurit / sedaya niti tu
ranggi / nyangking pedhang tumbak bungsur / pakeyanne manca warna / gusti
(10) neniti turanggi / hules napas gambirra gagah hing kuda / # / sa
marga dadi tongtonan / kawula sami siyagi / wedang miwa
dhedhaharran / tiyang dhusun nyinya genni / miwa tetabuan mang
kin / lawan dugan saben pintu / sedaya wong hing ngallana / hing
tembe huhing hing gusti /rameh rameh samargi sami tayuban /#

101. (1) #/ pan lajeng hingkang lumampah / kecappa hing bantar jati / siwe
g sineba penggawa / miwa kadang putra sami / pengangagung ki bagus rangngi
n / kalih kang paman hiku / kasebat kang pini tuwa / bagus serri
t jeneng neki / miwa kadang senah leja bagus kander / # / sumandhing sura
(5) persandha / miwapara senapatih / begus seling hingkang putra / sarta pan ra
den nurralim / miwa kyahi betawi gegedhen hing kandhangngahur
/ sarta bagus pang ngiwa / gana wanggah miwajari / senapatya se
daya putra mayahan / # / sedaya pepek hing ngarsa / mapan hiya
senah patih / bagus rangngin handika / hanang paman kadang reki / ka
(10) dos pundi gelar reki/ sampun cekap bala nnipun/ punapa haki
ntun serrat / # / bagus serit hangandika / dhuh putra
sedaya reki / kula haturi kang sabar / kedah mangke dinte
n kemis / kemis keliwon puhiki / keleresan tanggal lipun /

102. hesa henggenne caturran / pecalang cahos hing harsi / ng
Turraken wong darmayu ngrawuhan / # / hing jatituju kang pernah / ba
Gus rangngin ngandika ris / dhah bagja yen mangkonowa / sukur bagja ha
Nekani / nulya matur rama mangkin / kados pundi lampahhi
(5) pun / dalem darmayu saprapta / kinten pangkat dinten pundi / la
mpah hipun sahe hartawa halangan / # / kang rama mangsulli sa
bda / leres jaya putra mami sangking lor dugine mangsah / kados
hapes hing ngajurit / lah gelarre kados pundi / nepa wangngun bari
ssagung / putra napa karsa rama / pajunne hamapak jurit / nanging
(10) putra sahe baris kahormattan / # / saban sasak jinagiyan /
/ pinangka hormat hing gusti / sarwi mahi plengkungngan / miwaja
nur godhong wringin / wong seket sasak sawiji / tina
ro prajurit telu / yen kuda miwa ponggawa / sampun linta kinte
n lebih / henggal sasak binubrakan pan sedaya / # / supa

103. (1) ya wangsul ling kuda / hanggebur wonten hing wari / gampil hing ngenggo
King / sampunn bedhami pesagi / miwa kadang kadang neki / sa
miya ngatur gelar wahu / bagus (se) rit haturan nira / gelar peng
ramoggan mangkin sampun bibar samakta bala sedaya / # /
(5) / rampung bedhami gelaran / limang pulu bala neki / hing
dalem sasak satunggal / mapan tiga hingkang prajurit /
damel / tetas (y) uban mangkin / siyagi methuk pengngangung / kanna
jaga pawatessan / # / kirangngin pesanggrahan / kalih pama
(10) n bagus serrit / siyagi tiyang semahan / naming samaktanne ju
rit / sakan canne brandal mangkin / ngajeng ngajeng rawuh hipun / si
yang dalu tetayuban / rameh rameh kang prajurit / kawuwus
kocap bala darmayu hika / # / samya dalem pesanggarahan / jati
tuju hengko nneki / samya kempel pangrempuggan / hingkang lajeng

104. (1) kakang patih / hastra suta prajurit / mampan sakti prang
Pupuh / kahutus meriksa nana / hanang dusun bantar jati
/ pernah hira sagung tiyang hingkang ngraman / # / sareng nenjing sa
miya bidhal / den niring para prajurit / semakta gega
man perrang / bandring tulup lan suligi / ki patih niti
turangga / hules cemeng kudannipun / sareng dugi pawatessa
n / rameh gamelan hing rangin / pelengkungngan bendera bari
s hing marga / # / sedaya pan hasung hormat / nulya ngandi
ka kipatih / heh wong ngapa hiki padha / nulya nembah matur
harris / dhuh gusti hamba puhiki / mampan kon methuk pukulan /
/ rawu he gusti jandika / sumanggah sekar sagusti / habdi sa
Mpun siyagi menawi karsa / # / ki patih nulya ngandika
/ ketarima sanakmami / krana hiki lampah dika / katrima sa
Nak mami / krana lampah gelis / hing ngendi perkahe hiku

105. (1) humatur prajurit hika / punika katinggal gusti / benda
/ a bangseret kuhing miwa pethak / # / nulya lajeng lampah hira /
/ pati miwa praprajurit / sampun tebih hingkang lampah / handeder
Hingkang turanggi / hangungsi hing bantar jati / haneng pesanggarahan hagung
(5) / nuli sasak tinubrakan / hing ngobar tanana kari / maka sampu
n rawuh hanang sesanggarahan / # / den papag prajurit kathah / male
bet hing tarub mangkin / nulya hangormati / rammeh gamelan tinabuh /
surak kadi hampuwan / perwantu hormat hinggusti / nulya pati
(10) mariksa jahungkur hung kuran / # / pangkur / # /
/ heh sanak kula sedaya / hing kang sami makuwon wonten hing
riki / bendera lan humbul lumbul / gelarre tiyang kathah
mampan kula hantuk dhawuh hingsang ngulun / ken mriksa beja
nne warta / nulya hestu kang sayakti / # / la kados pundi gelarnya /

106. (1) rehing padha siyagi jurit / tumbak pengrampogan hiku / punapa
Hing kang sinsedya / bagus rangngin hanulya nganjukki hatur / hestu ba
dhe hangresak / darmayu dalem mangkin / # / nulya ki patih ngandika
/ lamen kenging sedaya sanak mami / sampun diturutti napsu / panse
(5) ja badhe ngresak / hanang gusti / negara darmayu hiku / yen kang
nging ngakula penggah / kran negari mangkin / # / nedyan cili
k rupanya / mampan wrat sangganne hiki / lan mangko sengsara hi
ku / temahan dadi rusak / wong mangsuh wong negari / # / ki
(10) rangngin humatur sugal / hanang kyahi hastra suta pati / ha
kutan harep kon mundur / lah hora gila tumingngal / wong
negarri hingkang kayasireku / perwantu kyahi patya / talingngan kadi
sinebit / lah rangngin celathu nira / ngiseni cangkeme brandhal ba
bi / mangsa wediya pan hingsung / wirang yen hingsun mundura / tek
(15) lawani / remek howor kelawanlenga / yen durung kacekel sira / ki pa

107. (1) ti medal ling jawi / # / para mantri pan jumaga /pan kirangngin prang ta
nding lan ki patih / surung sinurung hiku / kaliyan wahu ki petya / da
tan kiyat ki rangnging prangnge hiku / para kadang maju perrang / sedaya
kedher ring jurit / # / perwantu prangnge brandhal / tanpa hurus
(5) pajunne hing ngajurit / ngandika ki serrit hiku / he sanakku
la sedaya / siyagi kepungngen bahe puhiku / haja kongsi bi
sa medal / kira dalu sun hebyukki / # / krana pengengamuk kira /
patih hastra dudu wadinne hiki / pan kathah mungsun kang lampus /
bantar jati lan biyawak / wong kulinyar bubar tetawurran
(10) hiku / sapa arah sapa pejah / jam nenem sonten hing wanci / # /
nulya serrit ngandika / sanak kula sedaya pun hiki / haja ngringse
g sira hiku / kawanen hundur hunduran / hangan tossa /
mangke wanci jampa puluh / sedheng peteng tan katingal / nuli de
n byokki jurit / # / sareng sampun jam sadasa / wong kuli nyarpanca

108. (1) ripis bantar jati/ hing nyembyok ki prang pupu/ kinepung binuwaya mang
gap/ jiyan satunggil langkeng ributan kadula/ sampun ngartos bo
tn kiyat/ jibanne tumbak lan keris/ boten kun
ing lokan wetan/ langkung rebut parwanta prangwangi / paramantri
(5) Panlumayu/ nanging bada kulinyar/ mampan datan perduli pe
layu nipun/ nanging patih kertasuta / dipun perihpejane
ki/ nulya ki serti tumandang/ hangagen tumbak sengkalap
dhan neki / salin busana hacampur/ sampun saya hastra su
ta/ hanadhai wahu haprang pupuhi/ badhe mlajenghuhinga/
(10) /Lor wetan prang hing wengnggi/ / wecana sajro ringmanah/ lah sa
Hiki ewis pasthi jangjimami/ jamak ke wong ngawula ratu/ na
Mbelani hing Negara/ perrang karo brandhal kina ribut/
Hingsun pan hera kuwat/ ki serif medal lingwingking/ #
# sinarang sampun waspada/ dipuntumbaj kipatih sangkig wingking /

109. (1) mampan kehing sampun lampus/ dipun byok ki tiyang kathan/ mam
pan sampun hajur kuwanda nipun/ purwantu prang brandhal/
suralir rabun kang langgit /#/ sareng henjing mulya bibar/ ma
kumpulan hing pasanggrahan neki/ sami nayut ramh wahu/
(5) para madya miwa brandal / katha mali tiyang dugi taru bagung/
Kacoppa mentri kang lumajar/ sampun dugi jeung kangusti/#/
/kumatur wonten hing ngarsa/ sarta nangis melas sasih hing gusti
/katiusasan habdi nipun / panraa dalam panduka/ kanggu
(10) sti ngandika haris/#/ heh mantra hingsun sedaya / yen mangkono
n becik hingsun balik/ sarwi nyijil kang ngeluh/ nulya bi
bar sedaya/ sareng dhateng hanang banga dhuwa dhusun/ kinepung hing
tiyang kathah/ den sanggu brandhal nekari/#/ sareng prang hanang marga/dalem wonten bala kang keni/den bedhl pamayung ngipun/ pejah

110. (1) wonten hing marga/malannipun wonten nami renggas paying/nulya majeng
Lampu hira/ sampun dugi hingnegari/#/duginne hanneng ne
Garra/pangarwa miwapara kadang neki/ sami methuk jawi pintu/
Sareng melebet wesna/ hangandika kidalem hingarwa nipun/
Dhuh yayi katiwasan/ kakang patih hang ngemasi/#/hing
Kang garwa miwa kadang/ sareng miring pangandika nne gusti/sedaya ka
Runa wahu/ pan sarwi sesumbat/ hadhuh kakang horanyanna hingsu
/#/ gegergumuruh karuana/ miwagarwa para putra putri
Neki / sarta kadang kadang nipun/ hingnget hing sengsara nnira / pati
Nipun kinarubut pati nnipun / wonten malih kang carita/
Kocapa brandhal bantar jati /#/ rameh rameh gon tayuban/
Saban dina mati smida kebo sapi / hantuk merayah saban dhusun/
Siyang dalu dhedhaharran / rupi rupi sat ingkah polahe hiku/

111. (1) Neki/ sarta kadang kadang ngipun/ hingget hing sengsaranarie/ pati
Nipun kinarubut patipun/ wonten malin kang cerita/
Kacopabrandalle bantar jati /#. Rameh ramweh gontuyuban /
Satan dina mati smida kebo sapi/ hantuk ngerayih subandhusun/
Siyang dalu dhedha haren/ rapi satingkah polah hetiku
Parwantu brandhal desa/kirangin ngandika haris /#/ hananging rama pa
nya/ kyayi kadang kahula nuhun/
miwa kadang kadang kula/ hangalpangkat benjing hing darmayu/ sa
mpun helar lampah hamba/ sumangguh sedaya ngirng /#/ sareng
(5) Henjing sami budha/bendhil kalawan tumbak/ harit go
Masing masing gamanipun/ bndhil kalawan panthung/ sagadhah – gadhah he tiyang / sandheng
Nganne warni warni/ deleng ghunung dleng jawa/ hana hing kang ngang
Go poleng tapih/ conthong slendang sareng paleng dammar wulu
(10) nbagnggo srowal/ conthong slendang sarung paleg dammar wuru
6/ mikul kandhek hisi bras/ surak surak hing margi
Sarwi ngibing/ satingah tingkah ne hiku/ perwantunne hiku
Brandhal / turut marga/ hang rampogi sabendhusun/ haya

112. (1) m wedhus lawan harta/giiniringan kebo/#/sapi sareng du
Gi king pedesaan/ hing lobener para cina siyagi/ hanok rabinne
darmayu/ hamp[an sami kandhang/ babeh kuwi bongheng sana nengli / Cina
(5) kalih dasa/ hingkang wani siyagi patih/ cina beban kalibaru/ nulya grandal remapak
Perwatunne tiyang kathah digoya wanton/ bodhe ngrayah bareng harta/ miwa
Nyonya cina neki/ #/ sareng rempak nulya pasang para cina prang lan brandhal / neki/
Lebur brandhal padha lampus/ dan hamuk hingpara cina/ kathah hingkang pada pecah
Hendhasipun / den namuk hingparacina/ hibur palayaneki/#/ sedaya
(10) mireh grandha / bagus hurang persandha nuli papengagi/ babeh kucibeng sareng
Dulu/ lah kang hurang dadi brandal/ napa hora henggetsalawase butur/ (?) ca
Na sura parsandha/ dadie hingsung nepangi/#/ tekjaluk sukanne sobat/ ni
Ki haja lali/ senakmami/ mampan hingsu hoa ngrush/ hatwa seja ha layat/ hanang para cina sobat kaku/ mungguh bandakayane
Layat/ hanang para cina sobat laku/ mungguh bandhakayanne
(15) sobat/ kang hurang ngraksa sampe becik/ #.

113. (1) nulya tatabean cina/ bagus hurang persandha mangkin/
Paracina kondur sampun/ para cina kondur sampun/ bu
Bar hinnggar mayu lampah/ nulya brandhal nulya mlajeng lampah
Hipun/ mahu wonten pemayohan/ damel pasangrokan mang ki
(5) n/#/ kirangin matek sikirnya/ pangabarran dugina paraja
/mi/ sadinananne telung puluh/ hingkang tiyang sami prapta/ sejabadhe
Hingresak neggri darmayu/ hantawi kaheh tiyang ngipun/ siyang dalu
(10) tetayuban/ perwantinne brandhal tingkahe hiku/ hana hingkang
Hing rerawa/ rerampigan ngrayohdhuwit/ #/ langkang susah
Wong perdesan/ sebandina ngrampangi tiyang halit/
Yen rabinne hiku hayu/ mila sangget kasangsara/ tinuro
Nanten purun pinaten hiku/ wong cilik kelangkung susah/ sia

114. (1) Mbat hing gusti heki /#/ hadhuh gusti kawula sedaya raya
+ / hing dalem dar (ma) yu mangkin / kawulanne nuwun tulung / rese kawu
la sedaya / dipunrayah kebo sapi lawan wedhus / brandhal para
n bagusan / nora wirang gawe sakit / mangkana dalem puni
(5) ka / sampun / nora mireng sekat ha he brandhal dugi / pemayahan pernah n
pun / hing rewayah sabangina / langkung rusak sekat hahe saba
n dhususn / ki dalem sigra hutusan / hunjukan jendela betawi /#/
th 1608 jenengnge guper mu jendela /panjanengengan
kin / ngasta dadi gupernur nur / hanang neggri batawiyah / langkung ga
(10) gah prakarsa sumbeda hagung /lan msuka hambantonanna / su
sahe saban negarri #/lan benci hing tiyang bangsat /lah
trus pinaten yen kenging / tan priduli sinadyan / kincan nipun /hadatte
dhendheles nika / mila katha soldhatle kang bener hiku /
yen tan nurut hing hajudhan /pinotong prajurit pri

115. (1) badi /#/kecappatuwan jendral / trima surat sangking
dalem dermayu mangkin /wus winaca surat tipun / hungel lewa nu
kang surat / tuwan jendral kahula hendha bantu / rehing kula ke
dhatenggan / brandhal kathah handha tengagi /#/hanuwun pitulung tu
(5) wan / rehing hamba bdanhal kartha sangget negari / jendral prentah
hing gupernur / sarta kirim bala soldhat / tinidhing yan kali
yan gupernur kahut / tuwan postur nama nirra / sangking hinggri
s hasal welandi /#/ kondi bedhami hiku brandhal / pura pu
ra hiku dihangat dadi /bopatih neggri darmayu / pan kagung
(10) ngan nipun jendral / hing betawi dalem nora kuwasa hiku
/dadiya supaya bubar / bala brandhal / puhiki /#/
/sarah dadu miwa tuwan /sampun dugi pinanggih lan dalem tu
Wan deler kumendur / neggal pangkata hing ringgira / tiyang nga

116. (1) tus soldhat hiki /#/ supayanne wong nika / hing ngalanna / hing
soldhat tandange hiki / bedhit pedhang wira hangkus / pinilih
soldhat nika / hingkang rata punika hing dedeggipun / gino
tongngan mimis pekakas / miwa sangngon lawan dhuwit /#/ sa
(5) tus gotong ngan tiyang/ sarsa mriyem tinarik kebo hiki /
supaya brandhal handulu / hing tingkah polahe perrang /ta
ndang ngira nutawi hajar prang hiku /sareng dugi pemayahan /
/ kaget brandhal hing ngali /#/ nulya matur wong brandhal /
/ hing juragan wonten saradadu nekani / hambakta samaktanni
(10) pun / pekakasse hing wong yuda / nulya baggs rangngi
n kandhar mapag sampun /kepapag kelawan tuwan /tuwan de
lerbis jawi /#/ tetabe yangdeler tuwan / bagus
s rangngin kandhar bagus serit / tuwan deler nghandika harum /
hehe bagus rangngin jandika /sampun hajrimampan kula

117. (1) dinpun hutus / hing tuwan gupernur jendika / kang kuwa sa
neggri betawi / sarehing dalem, masra hana / negaranne hing
gupernur mangkin / dadi hingsun dipun hutus /kanggo
medhami kula / mampan dipun sewak dalam nama nipun /
(5) lamon karsa panjandika / kula hangkat dadi demeng mangkin /
#/ mangka para kadang kula nagkat / sedaya mantri jru hulin /
kuwasahan sami wahu / saperti dalem pangkat tira / bagus rangi
n matur trimakasih nuluh / yen makaten legakang manah / sedaya
dipun salini /#/ pekeyan laken sedaya / celana laken ka
(10) lambi laken topi neki / miwa pas menmas murub / tuwan deler
sedaya / nulya rameh tabuwan muni gumuruh / pesta hang
ngistreni demang /demang rangin para mantri /#/ pemahayan akde mangngan / siyang dalu brandhal tayuban mangkin / pangkat de
mang jenengngipun / suka suka gonne pesta / sangnget bingah ki

118. (1) rangngin suka kelangkung / dadi ring mantri sedaya / pakeyan sangking
betawi /#/ tiyang kathah hingngali welanda / langkung garis hing
ngali pekakas neki / behil pedhang miwa hangkus / saba
n sore hajar perrang / kornel jidah / seresan lan sarada
(5) du / hajar mriyem lan kolawang / brandhal kathah padha balik /
/#/lamon dalu padha minggat / sarta kathah tiyang kang kirang
tedhi / perwantu wong khatah hiku / badhe ngrampog pan jina
ga / wong brandhal hantawis mung pitung ngatus / nulya de ler kirim surat / hing dalem darmayu mangkin /#/ sadi
(10) weng yen surat / hing dalem darmayu mangkin /#/ sadi
gelarre deder pun kukuh / nulya dalem kintun serrat /
/ dateng kakang karta wijaya hiku / hing grage ponggawa
sultan / seratte sampun kerampi /#/ sareng winaca
kang srat /lamon rayi hastra suta mangkin / nenggipun ni

119. (1) kapun lampus / kina rocok hing brandhal / hiki
brandhal sampun jinaga hateguh / dateng kumendaur tuwan /
/pinang sraya sing betawi /#/ henggal panduka
jengraka /kulaturi nangkep brandhal kang jinagi / karta wija
(5) ya bendu / nulya matur hing sultan / sedayanne / sampu
n katuru sangnguyun / gusti sultan haminyarsa sampu
ngandika harris /#/ yen mangkonon karta wijaya / hangga
/ lengga tangkepan brandhal laki / yen kena dandal nen hiku
(10) sira raden weleng / bareng kambi karta mangkin /#/ karta
n bangga patenanan / pantugde gulunne drandhal luni / sarta
wijaya den welang / sumanggah handherek gusti / sultan nanggidi
ni sampun / marembah kondur hingngarsa / medal jawi / bendhenne
tinabuh sampun /prajurit siyagi sira /samakta pra
bate jurit /#/ nulya sira raden welang / heh se

120. kabeh para prajurit / sahiki mangkata sedarum / ka
ro hingsun raka karta / seja ngrurug / hing brandhal hingkang
hang rusuh pamayahan hingkang pernah / henggal pangkat rade
n kalih / # / lengawa hakancumira / kang pinilih sakehe
(5) para prajurit / mampan sampun budhal hiku / mangka
prajurit sedaya / sampun dugi prajurit hanang darma
yu / pinanggih rayi lan raka / kang rayi hing rangkul hagli
s / # / hananga is dateng raka / mapan hingget hing kang sam
pun mati / karuna kang raka wahu / sawi pan ngandikanya / dhuh
(10) yayi mas / wus waktu berayi hiku / wapat yayi hasata su
ta / tan mundur tiyang ngajurit / # / durma / # /
/ nulya hinggal pinukul bendhe hanging kang / pan sampur
na siyayi jurit / sedaya para ponggawa / gambira
para mantrinya / pan badhe bela hing patih / hing kang sa

121. (1) mpun sedah / den hasta suta patih / # / nulya
bidhal gumuruh suwaran hing bala / tumbak pengrampogga
n mangkin / langkung pengku barinya / mampan kang kang haneng ngarsa /
dalem miwa raka neki / miwa den welang / pun nika putra
(5) selir / # / mampan sampun dumugi hanang mayahan /rang
ngin mampan niyarsi / lamon dalem rawuh sarawunya / samakta pra
bopati prang / ki ranggin kinapung mangkin / hing deler tuwan /
kirangngin ginelar mangkin / # / kidul wetan lor kulon
panjinaga / hing kulon para prajurit / sami pengkuba
(10) rinya / brandhal hana hing tengah / # / kali raka ra
den karta wijaya / ngayunan pinanggih / para brandhal sedaya
/ pangandika nirang sorah / he hanjing rangngin sireki / sira bra
ndhal / nututta hingsun taleni / # / bagus rangngin kandar / sana
miwa leja / hiya hisun dipun gelar hii / hing tuwan deler

122. (1) hika / sugal wacananne brandhal / hanulya mangsuli
mangkin / den welang hika / mapan tangila mangkin / # /
/ mapan hingsun dengelar hana hisira / mangsagingsirna mami / kadir
ran sugi bala / mangsa honcatta ming wang /sena hanyandhak tumu
(5) li / hing raden welang / sinem (b)ak kajum palik /# / mapan ra
meh pajune wong yuda brata / boten ngingge tatakra
mi / perwantu nnebrandhal /kadi ngepung sato galak /
/ pan masing masing jurit / henggonne perrang / rangngin sakadang
neki / # / mapan sami miruda sangking paprangngan / bendhe ti
(10) nabuh nitir / rangngin sampun tan nana / sedaya sami miru
da / den welang ngandika haris / heh kunyuk brandhal /
/ wedi mati sira hanjing / # / mampan binelag bagal bra
ndhal / hantawis nem hatus mangkin / pan kiniriman ha
hanang darmayu negarna / binuwi brandhal sami / datan kamo
(15) ta / hanang sajronne tuwi / # / hingkang langkung binakta hing

123. prahu kapal / sakehe brandhal mangkin / hikang hing tuwi
hika / sampun brendel sedaya / kang hing kapal kon ngirim hing beta
wi / brandhal kon ngilarrana / yen kena dikon materi / # / kon ma
tenni hageng halit histri lanang / nulya mangat ngilarri /sara
(5) daddune den welang / miwa karta wijaya /pan bubar sedaya neki
/ hing lampah hira / sareng wonten warta malih / # / mapan sampun bari
s tutur para brandhal /hing kedhodhong gonne garris / hantawis
sanambang / rangngin kandar kepalanya / hingkang nanggung hing ngajurit / ser
ta bakta bala / brandhal sing lose hang prapti / # / bagus kandar
(10) miwa bagus wari nama / bagus hawisem prajurit / hing
kang naggung hing yuda / rangngin sangnget bungah neki / # /
/ hing ngandika rangngin hanang para putra / nganajarri miwa se
lling / jaga hing kang waspada / pajunne hing hadi laga / prajuri

124. (1) t hingkang pnilih / kang nag gung perrang / hawisem lan raden wari
/ # / kon nadhahi pejunne kartawijaya / sarta raden we
lang mangkin / gumuyu suka suka / hadhuh hadhi botem nyan
na / kakang pinanggi lan rayi / kelangkung bingah pesta pan
(5) siyang latri / # / sahantara mriyem maka piyarsa / nyata
nusul maring mami / brandhal sampun sedhiya / mapan ge
lar barissan / pinayungan bagus rangngin / prajuri
t hing ngarsa / handa hawisem wari / # / pan kapethuk kalaw
n karta wijaya / sapa hing ngarsa mami / ketambuwan hing wong
(10) prajurit rangngin hing wang / kang nanggung mapag sireki / den kata
wijaya / rameh gonne hajurit / # / kedi bro
ndong huninne mariyem punika / campuh wongging ngaju
rit / gendel mannengnga hing prang / pejunne raden welang /
lan raden karta wijaya mangkin / pethuk kang yuda /

125. (1) kecandhak raden wari / # / prajuritte lo heng turu
n nira / tumenggung niti negari / rangin kandar turun nira / hing
dhepok sambeng hia / pan kathah hikang kajotdhing /
dehing den welang / kependel hing ngajurit / # / pan ha
(5) rameh siyang dalu mapag yuda / tan mendha gonne jurit / hana
dhahi hing ngalaga / ribut datan kating ngal / henggol binu
jeng wani / baris brandhal / rameh gennah hajurit / # /
kathah pejah brandhal kang binedhilan / dhateng sara dadu mangkin /
den welang wicaksana / he brandhal babi sira / sura
(10) persandha kenging rinante henggal / miwa sena den tale
ni / # / rangin kandar hawisem handami rudha / leja sa
kandha neki / mengngilen lampah hira / ki sena sura per
sandha / rinante giniring mangkin /hing kanjeng sultan / haneng
grage negari / # / baya hambal miwa raden karta wi
(15) jaya / raden welang datan kari / sami bujeng brandhal /
brandhal pun manjing wanah / hambujeng hng bantar jati / wusa

126. (1) hora hana / suwung pan wesma neki / # / hing ngobarran wesma
ne para brandhal / sedaya tanana kari / den rak rak
saban dessa / prawa hayu binakta / hanang darmayu
negari /susa tiyang desa / kasmaran tiyang hing ngalli /
(5) / # / kasmaran / # / mangkana hingkang lu
maris / ki rangnngin serrit lan leja / miwa kandar ha
nda mangko / hengrempak hing wana wanah / sangnget seng
saranne hiku / hanak rabinne binakta / # / samar
gi margi hanangngis / halas benggala luwung sinnang /
(10) kantos halas hici koleh / ramban dalemeng
nglenya / hing cura cura den serang / pegambiran le
bak siyu / hanjong hanang hanang dhulang sontak /
# / mang ngilen hanyerang kali / cilelanang cibe
nuwang / cipendhang miwa cilege / cipancu lan ciwada
(15) ra / sareng nyerrang koceyak / dumugi hing
parung talung / hanyabrang cipu negarra / # / me

127. (1) nawa den bujeng mangkin / pan sinelek lampahira
/ hingli bojo hanak / hanjong hana hing
cigadhung / tengnga wanah langkung jembar / # / hanu
li wecana haris / hing para putra sedaya / dhu pu
(5) tra kula semangko / langkung seneng petanahan /
rawa hageng kathah hulam / rama badhe damel taru
b / jembar pelataran nira / # / nulya tinaneman mang
kin / sarta damel sawah hamba / sampun wiyar pa
kebonanne / ki rangngin pansaban dina / male
(10) bet hing wana wasa / hantuk kidang lamn wangsul /
miwa kaliyan menjangan / # / rameh rameh lamo
n bukti / hana hing tetah hing wanah / kelangkung tebih per
nahe / kilejapan saban dina / tawungilarri hula
m / kaseneng nganne puhiku / hanang rawa nawi citra /
(15) # / kantos damel dhuku malih / winastanan dhukuh ci
tra / kantos samangke wastanne / ki rangngin hadame

128. (1) l pernah / manggih telatah jembar / saki / ene hi
Cigadhung / jati gembol kang satunggal / # / wina
stanan sapuhiki / jati lima hingkang rama / tilase
rangngin dhinginginne / lamon kempel lan punika / hanang
(5) cigadhung kang pernah / panden wastanni cihakur / kate
lan sampunika / # / hing wates pegadhen dhistri
k / kali dhistrik pamanukan / kalih tahu
n hing laminne / nuli sami pirempagan / badhe
dalem petalukan k gedhen hing picung
(10) / ki wangsa kerti kang nama/ # / nuli sami rempag mang
kin / kali kadang miwa rama / badhe damel peta
lukan / ki gedhen hing picung / tiyang saker
ti kang nama / # / nuli sami rempag mangkin / kalih
kadang miwa rama / sigra ngilerri papanne / hingkang priyo
(15) gi hajembar / pan mengngidul pernah hira / bakta kanca te
lung puluh / mampan manggih tlatah / kang jembal / # / turra

129. (1) tatlatah neki / bang lor kulone sing subang /
tegal slawi naminne / halangngujarripun jendral / pa
n dalem pesanggrahan / sampun dados tarub hagung /
tempat tiyang sami ngraman / # / nuli rangngin matek haji
(5) / kang haran pengabaran / pengngabarran sikir pun dado
s / saban dina tiyang prapta / hingngalli pesanggrahan / nu
li tiyang pada lumut / badhe ngaben kadigjayan /
/ # / nuli sampun kathah malih / hingkang badhe tumut prang
/ hantawis tiyang kathahe / langkung sahing sanambang / pesta pa
(10) dha dhidhaharran / rame rame siyang dalu klangkung mandi
sikir hika / # / nuli rangngin ngandika haris / hing kanca
miwa hing kadang / lah kados pundi karsanne / kadang miwa kanca
kanca / hing kang dadi kang sinedya / pun pangungkulli wahu
/ hanggempur hing picung wangsal / # / sedaya pan matur mangkin /
(15) / punapa karsa sampean /mampan handherek karsanne /
/ dinten pundi majeng yuda / sedaya sampun siyaga

130. (1) / kantun tunggu tunggu dhawuh / becik gaweya hing surat /
# / penantang mangngun jurit / tandha hingsun wicaksana / supa
ya siyagi mangko /kangge mapag hing ngayuda / sampu
n damel sengsara / nuli damel serat sampun / kini
(5) rim hing picung wangsa / # / mangkana ki wangsa kerti / mam
pan sampun hamiyarsa / yen wonten tiyang ngraman mangko / hing
tegal slawi subang / harep ngayoni hing hingwang / brandhal weta
n hasal lipun / plariyan wong negara / # / nulya hangum
pullena mangkin / hing kadang miwa hing putra / pan senah pa
(10) tih mang ko / ki wangsa kerti ngandika /heh kacung krutu
g sira / miwa yayi gedheng gintung / sarya kacung sindhang laya
/ # / hutawi nak putra mami / sira jaga patu wakkan /
/ hapa sanggupyuda mangko / kambi brandhal sangking wetan / seda
ya matur sumangga / sanggup hing ngaben pukulan / kali
(15) yan brandhal sing wetan / # / heca henggen gunem mangkin /
praptanne hingkang hatusan / dhu lang sare hing wastanne/

131. (1) / pandha kawan wicaksana / jumrogjog hing ngarsan /
/ ngatur raken serrat sampun / srat nuli tinampanna
n / # / winahossrat tumuli / masuk meng dalem driya /jaja
bang krutug tingngalle / sarwi hawecana sugal / heh hanjing
(5) siya sing wetan / jawa wetan hentu pugu /dhek nga
yonnan hurang sunnda / # / jawa wetan ngasahan kammi / kande
l hipis huras tulang / kana jampe sikir mangko / gu
rah hanjing siya merad / hatur kun juragan siya /
dhewe mana hanu puguh / hurang mapag gus siyaga / # /
(10) /nulya dhulang sare pamit / sarwi mesem hawecana / hanjing
Sunnda hamelotot / panonne pucicilan / krutug nga
dhengnge glendhengna / hanjing siya gerrah mampus / hulane ya
homong siya / dhulang sareh wangsul nully / gegancangnga
n lampah hira / sampun dugi hin ngarsanne / hanang tempat
(15) pesanggrahan / nulya pangan dikan nira / hanang dhulang mareh
/ wahu kayang ngapa surat hingwang / # / dhulang sareh

132. (1) matur haris / ki gedheng picung punnika / sampun siyaga
balanne / mala kathah prajurittira / tur gagah gagah se
n tossa / ngajengngaken rawuh hipun / dateng panduka sa
mpeyan / # / nulya matur bagus rangngin / dateng ki ser
(5) rit hing kang nama / miwa kadang kadang kabeh / seda

133. (1) sangem hing yuda / dados pamucuk king prang / hanandhing ki
gedheng picung / nulya siyagi sedaya / # / gumuruh
kang bala rangngin / si yagi hing yuda brata / bendera
tinarik hageh / surakke menngngambal lambalan / per
(5) bala perang brandhal / bendhe tinitir pinukul /
bala rangngin pun siyaga / # / mangka sampun kapiyar
si / barisse brandhal wetan / hing bala picung bari
sse / nulya majeng prajurit tira / patuwakkan majala
ya / miwa kyahi gedheng grudug / ki geja nulya
(10) tetanya / # /heh sampundha sireki / wani mapag yuda
hing wang / hapa wangsa kerti koweh / katambuwan jawa we
tan / hurang senah patih na / nami hurang gedheng kru
tug /nu barisna liyan siya / # / pelariyan ja
lma nekki / dhine tan hukur dhi teyang / ki leja narra
(15) jang mangko / samya surung sinurungngan / rameh surak hing ba
la / bala rangngin bala picung / nemu tandhing hing ngayu

134. (1) da / # / jaka patuwakan mangkin / hingngali / hing ngali kang raka / prang / tan nana
hasor tunggulle / nulya pinaran nan henggal / ginanti
henggenne yuda / leja hatetanya wahu / heh sapa
kang ganti yuda / # / jaka patuwakan mami / hingngali kang
raka perang / tan nanna hasor tunggulle / nulya pinaran na
n henggal / yuda nnira ginan tiya / leja hate
tanya hiku / heh sapa kang ganti yuda / # / paksa wa
ni sira babi / jaka patuwakan hing wang / hora
telaten dulunne / wong x hudaggudaggan /
(10) payu genti lawan hing wang / pengngen hangrasani hing su
n / gitik ke sira wong wetan / # / ha nulya ne
rajang wani / ki leja hamedhang siggra / datan pasah pa
medhangnge / tinitir gonne medhang / he pa tuwa kan
sira / nyata prajurit punjul / pan sira masih ta
runa / #/ patuwakan sabda liri / dhuh paman leja
dika / kaya wongkemaruk mangko / gonne medhang

135. (1) hora tata / sor dhuwur pan den pedhang / dudu prajurit
sireku / nyata hurakan brandhal / # / jaka patuwaka
n mangkin / saya hanggreget tumingal / laja sine re
g perrangnge / kasilib hingkang pahingngal / hengga
(5) l cinandak sigra / denikal sinupuh bayuh
/ leja tan bisa gulawat / # / sarta hasemba
t nangngis / hampun patuwakan paman / hora wa
ni paman mangko / henggal binanda hing bala / kandar mapag hing
ngayuda / wong tarunna sakti punjul / hiki kandar dulur
(10) rira / # / cobah sun tandhinglan mami / pan sampun ha
yunna yunan / kali patuwakan mangke / hahasta
benta badama / tan kiyat bagus kandar / sinabet penja
lin wulung / gumuling hana hing kesma / # / sami krun se
sambat neki / hadhuh hampun bagus paman / ho

136. (1) ra wani paman mangko / henggal sinalen nan kandar / nula su
rup baskara / ha kondur bala hing picung / sarwi hambakta beba
ndan / # / ngandika ki wangsa kerti / heh hanak kula se
daya / besuk kiki hing pajunne / jigja kerti maja la
ya / supaya hamapag yuda / hanandhing rangin sineku / ji
gja kerti matur hing rama / # / jam nenem bendhe tinitir / ba
la picung saya kathah / pun pirang baris ranginne / kiser
rit hangandhika / kaya hapatingka kita / ki rangngi
n nuli hamatur/ rama sampun cilik manah / # / sahiki
(10) putra nun hamit / badhe majeng hing payudan / ki
srit ngrangkul putranne / karuna sesambat tira / dhuh putra
welas hing wang / sun passra – haken yang hagung / muga me
ntal hing yuda / # / nulya majeng bagus tangngin / sesu
mbar hanang payudan / heh hiki rangngin haranne / papa
137. (1) gen hanang payu dan / padha rebutten hing yuda / wus ja
make hingsun lampus / saba paran handon lanang / #
/ nulya majeng jigja kerti / ki gedhe hing majalaya
/ mampan sampun kapethukke / nulya rangngin hate
(5) tanya / hesa pamapag yuda / sumbada gedhe turduwur /
jigja kerta haran hing wang / # / majalaya pernah mami / ha
nu baris nandhing siwa / kesakten jung paguh mannah / tina ku
lit huras tulang / nulya campu hing payudan / ki rangngi
n hanyandhak sampun / binanting nuli kantaka / # / ma
(10) ja laya den taleni / hing bala rangngin punika / ki gru
dug mapag yudanne / surung sinurung kang yuda /grudug nu
li cinandhak / binanting kantaka sampun / nulya
tinalennan hinggal / # / bala picung miwa ringng
n / surak lir bumi rengat / kesaru kabujeng sore /

138. (1) budhal baris sedaya / hanulya mesanggrahan / ke serrit nu
li hamenthuk / sapraptanne hingkang putra / # / mangkana ki wang
sa kerti /kelangkung susa hing mana / kajodhi putra kali
he / kantun putra mung satunggal / hing kang putra patu
(5) wakan / hadhuh hemas putra hingsun / kaya priwen
polah hing wang / # / hapestan mental ling jurit / rangin
saki mandraguna / musu rangngin digjayanne / jigja kerti ho
ra kuwat / grudug pan sumawon / heca heng
gonne cinatur / gegerre tiyang hing jaba / # / wonte
(10) n barisan hingkang prapti / cangking korlangkung kathah / ki wangsa
kerti tetakon / dipun kinten musu teka / dhu pu
tra hingsun yawa / bakal priwen tingkah hingsun / nulya
wonten mantri prapta / # / ngaturaken srat /di kinten musuh tekanne /

139. (1) / nawala winahos sigra / hininne wahu kang surat /
/ binuka nuli den dulu / sema bingngah hingkang mannah / #
/ ka haturna layang rayi / hingkang sawet mangun yuda / raka
wangsa kerti mangko / sampun dados hingkang manah / rayi du
(5) gi gencangngan / boten mawi kabar wahu / ka bu
jeng hamireng warta / # / yen kang raka mangun jurit /kali
plariyan wetan / hingkang rayi jagi ma (ng) ko / serratte
kadang kahula / sangking darmayu punika / mila rayi sangnge
t nuwus / tumut nyambang hing ngayun / # / nuwun kabar su

(10) rat rayi / hatenggah hidinne kakang / bakta rayi hingkang
ngantos / setrokasuma harinta / dalem pegadhen
harinta / ki wangsa kerti lumuyu / hadhuh bagja putra
hingwang / # / sira patuwakan mangkin / mara henggal lipu
n papag / rayi dalem sing pegadhen / lajeng budhal ka

140. (1) nca nira / metuk wahu hingkang sema / pinanggih suka kelangkung /
/ sesalamman ngaturri / lenggah / # / nuli matur wangsa kerti / dhuh
bageya sarawuhnya / rayi dalem sing pegadhen / kasu-wu
n kakang pangiya / katarina rayinta / kados pundi yuda
(5) nnipun pelariyan sangking wetan / # / wangsa kerti matur
haris / langkung bingah manah kakang / sarawuwe rayi mangko
/kranten kang maju yuda / kepalane hingkang medal / dalah pu
tra kalih hulun / sami kenging tina lennan / # / su
manggah kahula turri / henggal tinangkeppa brandhal /

(10) nulya dangdos dalem mangko / hinggangngen raja busana / ca
kep gagah pideksa / ngangge kuluk sutra mulub / hi
naretes hinten mubyar / # / den hample dhuhung ngireki /
sinonthe kang hanang kanan / hangandika hing mantrinne / heh ma
ntri hing sun sedaya / henggal ngaturra barisan / kang pengku

141. (1) gegaman nipun / hingsun hamengtonni yuda / # / karo pe
gariyan ringin / kaya hapa hing rupanya / gawe rusak hing wang
hageh / hingkang sugih dipun rayah / mapan jaka patuwakan /
hing ngajengngan ngarsa wahu / manembah hana hing ngarsa / # / nulya
(5) humatur harris / hanuwun matur duduka /rama sampun medal mang
ko / hawitputra dereng medal / hanandhing rangngin hing
yuda / gampil lamon putra sampun / kasoran ha
yuda brata / # / wangsa kerti hanyambungi / leres putra
rayinta / hawit dereng manjeng mangkel / keda dituruti
(10) rinta / saking panuwun putranta / hakulup sakarsa
nirra /# / pan hingsun hidin nahaki / sun passraha
ken yang sukma / jayaha putra yudanne / nulya patuwakan nemba/
saking ngarsa dipun rama / badhe majeng hing prang pupuh / kang putra
mundur sing ngarsa / # / dhurma / # /

142. (1) / # / durma / # / # / nulya medal hing jawi
hampag yuda / bendhe tinabu nitir / bala pan siyaga
/ surak hambal lamabalan / jaka patuwakan mangkin / ma
mapan sesumbar / rebutanne bala rangngin / # / hiya hiki
(5) haran jaka patuwakan hing wang / wangsa kerti putra neki / mang
ka sampun kapiyarsa / hanag rangin prawira / hanulya mapag ki
rangngin / hayun hayunnan / nulya tanya ki rangin /
# / sira sapa wong hanom hamapag yuda / heman maksi
tarunni / wangsa kerti hing ka(ng) rama / kon mapag yuda hing wang / ha
(10) ja sira mapag jurit / musuh lawan hing wang / patuwakan
hamangsulli / # / mangko dhingngin tandhingngin bahe lan hing wang / sa
pira sakti nireki / nulya rangngin nyandhak / hing jaka patu
wakan /rangin sinepak tumuli / tiba kabintal
rameh surakke hing baris / # / mapan rame surun sinurung

143. (1) kang yuda / manggi tandhing hing jurit / rangin patuwaka
n /mapan sami prawira / tiyang kalih ngagem kerris /hu
jung bedhama / patuwakan nadha hi / # / patuwakan radi saya hing
ngayuda / dalem hing ganti mangkin / sarwi pangandikarnya
(5) hing putra patuwakan / heh putra liren dihingngin / ra
ma hingkang mapag / yudanne musuh rangngin / # / sareng mireng
hamireh medal ling wuntatan /dalem medal ling jurit / rangngin
hatetanya / sapa kang gantenana / wong gagah sira prajurit /
gaya bopatya / dalem nuli mangsulli / # / katembuwa
(10) n dalem pegadhen hing wang /kang ngolati buron rangngin /
turon negarra / sangking demayu dhingngin / # / mampan
hingsun masih pernah nak sanak / dalem dermayu mami / jeneng
kawira loddra / haku kang jaga sira / hing tembok temu
hiki / sukur subagja / sukur sira sun taleni / # /

144. (1) # / hora wirang kaya mukamu rupannira / sahumur rerusu
hi / gawe lanat hing tiyang / saban desa rinayah / kang
go mangngan sahanak rabi / ngau bagussan / hanjing
brandhal babi / # / nulya nyentak rangin weca sugal /
(5) / dalem sundha sireki / harep naleni hing wang / rangngin
Pan hora gila / hahingngali hing sireki / coba ma
Juwa / hingsun pan hora wedi / # / hahing ngali dalem
pegadhen sira / nula gerajang wani / surung sinurung
sira / mapan sami prawira / bala picung kali rangngin /
(10) rameh wong surak / nging nali hingkang gusti / # / datan wo
nten hingkang hasor haneng yuda / nulya matek hing
kang haji / pan setro kesuma / hawasta tiwi krama
/ hantara hatmaja redi / henggal hanyandhak /
Binanting hical ki rangngin / # / nulya majeng ko

145. (1) serrit hing ranang gana / wangsa kerti ngedalli / sapa mapag
hing yuda / wangsa kerti hing wang / mapag jurit hing sireki /
lah sira sapa / hingsun kang heran serrit / # / ya ka
berran serrit yuda kambi hing wang / wangsa kerti sireki / be
(5) ner mapag sira / henggonne mapag yuda /tuwa karo ka
ki kaki / hayu majuwa / pan kaki sami kaki kaki
/ # / nulya majeng candhak cinandhak hingkang yuda / wangsa ker
ti lan ki serrit / heh serrit pan sira / ngadu pu
cuk ke bedhama / yen hestu sira prajurit / hengga
(10) l majuwa / ruket pucuk hing kerris / # / nulya cam
pu(r) prang hangadu bedhama / runjang rinunjang mangkin / serrit pan
serring tiba / gumuling hana hing kesma / heh serrit wedi mati
/ # / bagus rangngin lan dalem setro kusuma / sami kuwel ling
Jurrit /hangadu bedhama / rangngin serring niba / prangnge

146. (1) meped hing baris / semusesambat / bala rangngin hing nge
byuki / # / samya campu(r) tiyang yuda dadossa tung
gal / hibur katha hing jalmi / rangngin ngoncatana / hica
l datan karuwan / bagus rangngin hingal baris / ngungsi hing
krawang / balane hakah kang mati / # / dalem setro kusu
ma pengamuk kira / kalih patuwakan mangkkin / saminum
pessi bala / rangngin bala brandhal / ki gedhe gintung nya
ndakki / den talenana / balanne bagus rangngin / # / sa
reng telas sami pethuk pinethukkan / kempel dado
ssatunggil / gintung patuwakan / wangsa kerti la
n dalemnya / grudug majalaya mangkin / dados sa
tunggil / suka bungah kang ngali / # / hangandika wang
sa kerti hing puttra / putra kaliyan kang rayi / perkara
hiku brandhal / serrit rangngin pun hical / pan data

147. (1) n kacandhak mangkin / hilang datan karuwan / hing ngendi pa
ra neki / # / putra matur dalem hing purugya /
hical sekalih serrit lan rangngin / kados campur
lan setan / habdigo sektanana / ki dalem ngandi
ka haris / heh kakang wangsa / leja kandar sun kirim mang
kin / # / hingsun kirim hing betawi loro brandhal /
hing gupenur jendral mangkikn / minurut hing prentah / kra
na buron negara / rinante hingkang kakalih / leja lan
kandar / kinirim hing betawi / # / sampun mangkat lampa
he buron negara / hing ngiringngaken hng mantri / bagu
s leja hing ngarsa / nyabrang hing citarum hika / sinebra
k rante nireki /nulya malempat / silem hanang
jalandri / # / kacarita hilang sajronne samudra /
/ bagus kandar ngelarihi / hical sasjronneng wanah /

148. (1) / kang bakta langkung susah / badhe wangsul langkung hajri / hing
gusti nira / bebandan manjing wanaddri / # / langkung susah
bebandan hical sedaya saparan paran mantri / mantri
kang sekawan / sing pegadhen negara / jigja karya sura
karti / jaya menggal / miwa jaya kareti / # / mila
benjang turunne para bagusan / kathah sing kilen mang
kin / pan sarta sing wetan /sangkin turun bagusan /
/ rangngin kandar leja serrit / turun nannira / pellariyan dukking
dhingngin / # / sinom / # / manga kocap raden
karta / kaliyan den welang mangkin duginne hanang nega
ra / hing darmayu kumpul neki / brandhal hingkang nglarihi /
miruda sedaya nipun / karta wijaya ngandika /hing ka
dang kadang ngireki / munggara wing / kahidin nan kondur kakang
/ # / kalih kang rayi den welang / miwa sedaya prajurit /

149. (1) pan kakang bakta sedaya / ngati yakti rayikarri / ngrangku
l wahu kang rayi / karuna sesambat tepun / wangsul kakang pa
n kentas / sareng rayi mukti riki / hamit rayi /tan nana
hingkang katinggal / # / kaang patih mampan sedah
/ sinten kakang kang ngembani / negarra darmayu kakang / hingrangku
l larunneki / putra putri garusa rayi / sedaya karunawa
hu / karta wijaya den welang / toya waspa handres mi
jil / lir sinebrak / linolos pulung hing ma
nnah / # / dhuh ray dalem harinta / haja nang ngis hari ma
mai / pamali wong dadi nata / mangko kakang jalu ka
hidin x haneng sunuhun gusti / hing carbon kanjeng sinuhun /
dhuh rayi dendilan nanna / badhe kendur sapuhiki / sami ngi
ring / garwa putra miwa kakang / # / dumugi hing pintu jaba /
nulya lajeng lampa neki / mang ngidul margi lampahnya / du

150. (1) giya lamaran mangkin / karta wijaya mampir / miwa we
lang wahu / hanang sobat / soldhat hing kang jaga / nulya hateta
nya haris / ta be / kang jaga hing pelima
nnan / # / mamba lesku mendhan sreresan / tabe raden
(5) hing kang prapti / pan badhe karsa punapa / raden sami hangrawa
hi / kula badhe hahingngali / hingkang dipun jaga hiku
/ dateng kumpeni punika / kados punapa kang warni /
Nulya manjing / den karta miwa den welang / # / raden hiki kang
Dan jaga / sumur ti nutup lan wesi / du ka hisinne pu
(10) napa / tan huhing hisineki / raden welang wecana ris /
sobat permisi sunhiku / pan badhe kahula buka
/ punapa hisinireki / hadhuh raden / kahula tan ni
din pisan / # / krana rangnga nne hika / jimbala
n gupenur mang kin / pan datan tuna hambika / datan wonte

151. (1) n hidin gusti / raden welang sabda neki / geh sobat ma
ksa pada hing sun / sresan mangsulle sabda / kula tahan so
bat mangkin / yen mangkono percuma sun jaga hing wang / # /
raden welang badhe maksa / hambuka tutuppe wesi /
/ pan soldhat hanahan sigra / hanyandhak den welang mang
Kin / hing soldhat den talang ngena / hibur geger hing prajuri
t / henggal pasang / mriyem soldhat sedaya / # / sadi
nten habrata yuda / kathah soldhat padha mati /
/ nulya tinutup bentengnya / bala raden karta mang
Kin / ngrangseg hing kutha neki / ngandika den welang
Gupuh / heh sanak sadulur hing wang / wus haja sira
Temeni / becik hingsun pada mangkat henggal ieng
gal / # / pan lajeng hing lampa hira / nuli hing carbo
n negarri / lajeng cahos gusti sultan / susunan ngandi
ka haris / sedaya pan katur mangkin / lampahe bra

152. (1) ndha / wahu / senah sura persandhaka / hical sangking iro
buwi / raden songka / kang bujeng dateng sakitan /
# / mang kana sresan ngumendhan / hanneng palimannan loji / sang
nget getun hing manah / nulya wangun serat mangkin / repo
t hanneng betawi / mampan serat binakta sampun /
soldhat wahu hingkang bakta / gegancangah lampah neki /
kanggo konjug / hing gusti gupenur jendral /
# / mangka sampun cahos ngarsa / srat sampun katur hing gu
sti / hanulya he (ng) gal tinuka / srat binanting pan tumuli /
loh babi carbon hanjing / mohen kurang ngajar hiku /
/ nulya damel srat henggal / kangge sultan carbo
n mangkin / mampan jaluk / ketang kep parasuha
n / # / den karta lawan den welang / kang wis nganiyaya mangkin /
/ hanang loji padimanan / hakeh soldhat padha ma
ti / tihingkem srat hineki / sarta hangandika wahu /

153. (1) hing jidan miwa hing liknan / heh haji dan liknan mangkin /
/ mapan hiki / gawanen surat hing wang / # / kanggo hing car
Bon sultan / langawaha maliter mangkin / datang puluh
kang piliyan / samakta prabot ting jurit / nangkes pong
(5) gawineki / hing carbon sultan punhiku / hing kang ngrusa
k pelimanan / srat mampan sampun tampi / hamit gusti
kahulapan hayun pangkat / # / sampun medal ha
nang jaba / ngempel kendang prajurit / samakta prabo
tti yuda / henggalle pan sampun prapti / srat tinampan ha
(10) glis / dateng gusti Sultan Wahu / sratte sampun winasa /
ngandika jeng sultan mangkin / loh den welang / miwa den karta wi
jaya / # / sun hora wani hing jendral / hanang negara
betawi / krana dados satunggal / pan karo sinu
hun gusti / hing metaram negari / nguku witan bisa hingsun /
(15) mala negara hingwang / hing cerebon hiki mangkin /
panden paksal / seja den jaluk metaram / # / nga

154. (1) na hingsun tampananan / hora kuwat neggri mami / nadha
hi hing yudabrata / malah srat sampe hiki / pendurungsu
n balessi / wus pinasti hiyang ngagung / karta wijaya lan we
lang / nurutta pasti yang widi / sun nidini / hapa hing kang dadi kar

(5) sa / # / basukte kang batawiyah / pinariksa ngarsa neki /
/ gupernur jendral kang nedha / lan hiki hingsun paringi / karo
Wasiyat hing mami / siklewang karo sidumung / nulya tina
mpanan henggal / pun kedhadha jrohing ngati / pasthi nga
muk / hingsun hanang negara hambral / # / tumurun sing paling
(10) giyan / hangrangkul penggawa kalih / handres niji hingkang
waspa / hametik talingan reki / ngamukka hanang betawi /
holiya bela sireku / holiya sewu blandha / bala
hambral hing betawi / gih sumangga / den welang miwa den karta
/ # / heh penggawa batawiyah gupenur pamundhut neki /
(15) mampan hingsung jurungngena / penggawa hingsun kekalih / kang den
dakwa hing sireki / nulya matur sresan wahu / yen sama

155. (1) puntukas timbalan / gusti nuhun den nidini / nulya kondur
/ poggawa binakta henggal / # / gegancang ngan lampah hira
/ tan kocap kang hanneng margi / lampahe hing bala hambral /
Sampun dugi hing betawi /sinelen lampah neki / manjing
(5) maring dalem hagung / nulya ca hos hanneng ngarsa / hing jendral gu
penur mangkin / sampun matur wonten hi (ng) ngarsa / # /
/ # / pangkur / # / / cahos hanang ngarsa / dhateng
tuwan gupenur jendral betawi / hengga hangandika hasru /
liknan miwa sresan / kaya hapa gon hingsun sirasun hu
(10) tus / pan berkah gusti panduka / punhiki ponggawa neki /
# / lo hanjing binatang gila / hapa koweh brani hing jeneng ma
Mi / gupenur jendral pan hingsung / kuwasa hing pulo jawa /
/ hapa koweh / hora mireng hing pangrungu / den karta miwa den we
Lang / gumujeng humatur neki / # / he tuwan gupenur jendral
/ hamit badhe mangsuli habdi / panduka kuwasa hagung / haming
Ku hing tanah jawa / pan kinadang / hing gusti sinuhun nagung /

156. (1) murbengrat hanang metaram / kalipatullo pana
dil / # / njagnging sambranna hing ngakrama / kirang diti pengngagung
bangsa walendi / jeneng ponggawa pukulan / lan dugi batawi
yah / mampan kula badhe handon lampus hulun / sembe
(5) rana / ratu hing hambral / hora nganggotata titi / #
# / durung kawula den priksa den priksa / dedukane lir kadi tiyang
Barang / dipun suguwi pepisu / ngiseni ratunne hambral /
langkung lingsem / gupenur jendral sang ngulun / hanuru
thi dihara panas / hing rasa pan kirang titi / # / nulya jendral nga
(10) ndika / heh ponggawa haku trima salah hiki / kapitan
hadil pan hingsun / krana koweh melanggar / wani
ngrusak / sampe mati sara dadu / hanang loji pe
/ limannan / perlu hapa koweh wani / # / sahiki kowe
Trimaha / hukummanne melangger bangsa welandi / pan sun dre
(15) / sampe lampus / den karta miwa den wellang / kula katri
ma / kang dadi karsanne ngulun / sumangga pun napa karsa / sani

157. (1) ki kula lampahi / # / nulya dipun bakta medal / ha
Nang haluxn nalun betawi / nulya binarisan nagung / sake
he bala belanda / pangkat pangkat / haji dan sresa
n lan hubrus / nulya tiyang kalih pinasang / limang lo
(5) sin mriyem nekil / # / pan peteng kenging sundawa / tan katingal
Hingkang dipun drel mangkin / ki kuwu welas handulu / nulya
Ngrasuk manukma / hingkang wayah / sekalih kangdipun hukum /
Krana pasthi bakal pejah / sekalih ngamuk welandi / #
/ baris meliter sedaya / hampan dipun hamuk kathah kang

(10) mati / hing betawi langkung hibur / he wed pan bal hadbrol /
hakeh perrang / pinerangngan kanca nipun / katah resak bala
hambral / datan terrang hahing ngali / # / kathah resak
para hambral / mampan prang kalih kanca pribadi / nu
li medal kaki kuwu / sangking manuk manir ra / heh waya
(15) ku / sekalih mapan sireku / pan cukup sun belan nanna /
luwih sewu hing kang mati / # / pinasthi kang sali

158. (1) ra / hajallira hana hing betawi / mangkin / hanulya
Jendral gupenur / hingali rusakkeng bala / langkung susah / ba
la nipun kathah lampus / nulya hamendhet serapan/ mi
mis hinten jimat neki / # / loh wong carbon hanjing si
(5) ra / temahan gawe rusak hing negari / ha nulya pinasang
sampun (sing pungkur kang den narah / raden welang kenging wali
kate wahu / kabrannan babar pisan / gumuling pejah
hing siji / # / den karta hahing ngalanna / rayi den welang mangki
n / den candhak kuwanda nnipun / hing para bala hambral /
(10) nulya den buru / den namuk hambralle wahu / gupenur ha
Pasang siggra / kenging nulya ngemasi / # / wasiyat lirris pa
n musna / siglewang kaliyan sidumung mangkin / nulya
kuwandanne wahu / karta wijaya hika / nulya guru /
hambral hing ku wanda nipun / mus na hical kuwandannira / mundur
hambral hing ku wanda nipun / mus na hical kuwandannira / mundur
(15) maliter kang baris / # / hangnging gupenur jendral /
sangnget susah / resake para ponggawii / hanulya ngandi

159. (1) ka nnipun / hing taji dhan saresan / haku hora
trima / hing resak ke bala hakul / sahiki koweh dangda
nna / samakta prabotting jurrit / # / hanggawa hatemung ka
pal / bala soldhat meliker kang pinilih / negri carbon hingsun jaluk /
(5) wewengkon kasultannan / kanggo ganti resak ke hing bala haku / pendhek ha
ku hora trima / ponggawanne ngrusak mami / saresan hajidhan medal /
liknan kornel ko prapal nuli baris / hantawisse pitung hewu / bari
s lahut baris dharat / mangka babar layarre cerbon wus rawuh / sa
mpun mentas hing dharatan / wangun pesanggrahan mangkin / # /
(10) samya geger tiyang kathah / mampan sultan sampu
n miyarsi warti / hanulya siyaga wahu / ka cerbonnan si
yaga / merta singa / para pengngeranne wahu / panjunan caho
s hingrasa / bala peng ngeran barisi / # / sareng hambral hing ngall
na / lamon bala pang ngeran hambarisi / nulya hamatur gu

160. (1) penur wong cerrebon hing lawan / sang nget duka gupenur jen
dral handulu / nulya mrentah barissan / ken majeng
hanempuh jurit / # / rameh gonne yudabrata / bala ha
mbral kaliyan cerbon mangkin / pangngeran maji hing pupuh / pangngeran
(5) surya kusuma / marta kusuma / raden pekik miwa dul / miwa
pangngeran logawa / sedaya sabilling jurit / # / samya bala ha
mbral bubar / numpak kapal babar layar hing jaladri / manengngah pan ka
pallipun / samspe silep daratan / samya ngungsi hing metaram jeng sinuhu
n / nulya mentas hing pelabuhan / ha ngungsi sinuhun gusti / #
(10) sareng pethuk kali sutan / tawa jangngis hing ngarsa gusti / sultan hanga
Ndika harum / heh kadang kula sedaya / wonten napa / sampeya
n karunna wahu / humatur gupenur jendral / karuna sedayane
ki / # / sang nget dukanne jeng sultan / hamiyarsa haturre gupe
nur mangkin / nulya prentah hing tumenggung / ken ngempelaken ba
(15) la / senapatih tamtama peng ngeran wahu / nata bumi bumi na

161. (1) ta / metaram para bopatih / # / sedaya samya budhal / pa
n hangrurug hing carbon negari / hing margi sampun kapengkur /
sampun dugi hing negara / hing cerbon / jumarogjog ca
hos ngayun / pan kaget sultan tumingngal / sing metaram hang
(5) rawu hi / # / jeng pangngeran surobaya / kanjeng pengngeran bumi
nata nata bumi / lajeng ngandika sang prabu / bageya kadang kahu
la / sing metaram / sedaya kang samya rawuh / kados hing nge
mban sukarya / habdi matur kang sayakti / # / gegancangngan ca ho
s ngarsa / hantuk dihawuh gusti sangking metawis / ngemban timballan sangng
(10) uyun / mungguh neggri panduka / pan pinundhut / sedayadha
teng sang ngulun / hamung gusti kelanggengan / maksi jeneng su
ltan gusti / # / sarta pada siyuda panduka / jigang nambang kano
mman miwa jeng gusti / tampi nipun sabda santun / sarta kepa
ringngan tanah / mampan sapos / wiyar pesaginne wahu / bulu

162. (1) bektinne punika / kangge kadang kadang gusti / # / merawi gusti
Tantrima / dhawuhipun sinuhun metawis / habdiken ngelado
Si wahu / sagendhing bala panduka / mampan habdi / siyagi haprang
Pupuh / sultan tan bisa ngandika / hantara ngandika haris / # /
(5) dhuh kadang kadang kahula / sangking dhawu hipun sultan metawis /
tan kangkat kula pan katur / krana negara kula / mampan hali
t hing cerbon wewengkon hingsun / nulya den haturrenna / ha
ndherek karsa hing gusti / # / sareng dhawu hipun sultan / hing carbo
n masrahaken negarri / pangngeran probaya matur / yen makate
(10) n gusti kahula / nuwun hidin / badhe kondurgusti hulun /
pan sangking dhawuh panduka / badhe haturran jeng gusti / # / lam
panya budhal sedaya kondur hanang metaram neggri / sampun katur
hing sang ngulun / pasrahe hing negarra / sang nget bingah / jeng tuwan nagung
gupenur / nulya sultan nampikenna / hing gupenur cerbon nega

163. (1) ri / # / kasmaran / # / (naskah rusak) ta tampi /
Pasrahe kanjeng susunnan / perkawis negara carbon / se
sampunnesih sini siyan / gupenur kaliyan suktan / nu
iya sami pamit kondur / wangsul hanang batawiyah / # / sampu
(5) n rawuh hing betawi / hanimbali wira loddra / hing darmayu nega
rinne / pun rawuh hing batawiyah / henggal cahos hing ngarsa / dhateng
panduka gupenur / hanulya ngandika jendral / # / slametdhateng
dalem rayi / sangking sih pitulung tuwan / ngarabi hingkang kamulya
n / sang nget panuwun yang hagung / muga tulussa hamurba / #
(10) / hangrengku hing pulo jawi / dugi hanaj putu tuwan /
dipun jagi hing yang manon / ya trima kasih harinta / sangking panjung
jung harinta / mugi den jurung yang hagung / hanak putu sareng
mulya / # / lan kakang ngaturi huhing / hing rekehing dhadha karna

164. (1) n hanang (naskah sobek / rusak) kanggo hangrang som soldhat /
Mungguh sang king perbantuwan / sedayanne kula hitung / miwa sakehe pa
Kakas / # / gunggung sedayane dhuwit / sawelas nambang kang har
ta jigang dasa rupiyahe / 1103000 / ku medah rayi ha
(5) bayar / dalem tani basa wecana / hacak datan gadhah watu / har
ta hingkang nenambangngan / # / hanulya humatur haris / dhuh
padhuka kanjeng tuwan / hestu nabdidatan duwe / harta hing kang
nenanmbangngan / nanging katur sedaya / tanah habdi hing darmayu /
punapa karsa padhuka / # / gupenur ngandika har ris / yen meng ko
(10) non sunterima / nanging dalem tetep bahe / nalunggah hing kedale
man / hapa hingkang habiyasa / mungdalem hareken hiku

/ mampan tanah hadhah hingwang / # / nulya dalem neken mangkin /
Hanang surat tanda tangan / selesih tanah tanduwe / hing
Darmayu kang ka lungan / tuwan gupenur jendral / nulya

165. (1) pamit dalem wahu / T.H. 1610 / hing tuwan (naskah sobak / rusak) / # / panwang
Sul haneng negari / babar la yar kang bahita / nulya dugine
Garanne / hing darmayu pan Negara / pinapag sakeng ponggawa / du
Gi haneng dalem magung / kadang putra taken warta / # / nu
(5) lya dalem ngandika haris / heh kadangpan putra hing wang / wus karsa
nne hing yang manon / pan datan langgeng hing benjang / hanak putu
sedaya / lunggu dadi dalem wahu / pan negaradipun rampas /
# / hing tuwan jendral betawi / pan kangge hongkos hing prang / nang
Nging dalem pan semangke / maksi katetepan nama / ho
(10) ra robah biyasanya / naminipun dalem wahu / pan kang putra
kadang kapunna / # / nulya dalem kenging sakit / nuli dumu
gi hing ngajal / hing kang gumanti putranne / hing kang kantun raden
krestal / wira loddra kang peparat / hanulya sesunuh wahu /
pitu nunggal hingkang putra / # / pemajeng raden marngali / nuli

166. (1) nyiwira di (naskah sobek / rusak) hem puka tikanne / nyihayu mung
si sekawannya / miwa nyi hayu lotama / hanjaniwuragi / li
pun / bagus kalid bagus yogya / # / dalan sampun la
mi gadhah martuwa jurjana / harenampog panggo
tanne / langkung susah pan kawula / hingkang gayarina
mpoggan / patih singa truna matur / sangnget wela
s hing kang raka / dhu kakang melaya kasuma / kados pu
ndi lampahipun / tiyang dados dalem hika /
# / tan laman kawula neki / renampoggan renayaha
n / datan den perdulli mangko / punapa rempug jeng kakang
/ rayi badhe ngrakessa / hing tuwan residhen wahu / hing
Carbon negarra / # / kang raka ngrempaggi mangkin / be

167. (1) nerre mengkonon rayinta / mi (naskah rusak) mangko /
Nulya dalem srat henggal / konjug residhen tuwa
n / pan satingkah polah hipun / den hunjuk lebette
surat / # / nulya kinirimaken nag lis / hantawis dinten jeng
tuwan / rawuh hing darmayu mangke / dipun rakrak pedale
mman / tinangkep hingkang barang den kumpullaken wahu / hingkang
dados rampog jurjana / # / ceceg kathah barang neki /
kang den naku den hing tiyang / cecek selebette hing he
kes / nulya dalem kinirimmenna / hing carbon negarra /
/ sang nget susah manah hipun / dipun tahan tigang wula
n / # / tunggu putussan betawi / sareng dugi putu
ssan / dalem di sousak naminne / jeneng jaksa kang nama /
hingkang rayi pennira / wira hadi brata pan wahu / den nangkat da
di rangga / # / singa truna dalem patih / di hangkak dadi

168. (1) wedana / ja (naskah sobek / rusak)) stik ka / hemas melaya kusuma /
/ hantuk pangkat punika / jeneng klektor punnika / guper
Nemen kang kagungan / # / wedana hang rangkep patih / hanang
Darmayu negarra / para jurjana sekabeh / sami hajri hinga.
(5) ilana / mapan sami wicaksana / wedang miwa kellektur
jurjana kathah kecandhak / # / langkung gemu kang negari /
tannanna sakeh jurjana / datannanna perkaranne / dermayu kang
negarra / patih singnga truna hika / pan kagungngan putra wa
hu / gangsal nunggal kathah hira / # / pemajeng patimah mangkin /

(10) nulya nyi hayu juleka brata laksana kakungnge /
mas demang brata sentana / wuragi brata suwita / sedaya pan
putra hipun / jumeneng pangkat sedaya / # / raden rangga pu
tra neki / kawan nunggal hing kang putra / pemajeng jeneng putra
nne / pan raden wira madhengda / raden maduga harinta / nyi sumbadra

169. (1) putra nnipun / wuragi / rade ma (naskah sobek / rusak) putra
ni reki / mampan gangsal hingkang putra / hardi wijaya haris te
n / hingkang histri nyahi mudha / miwa sudirah kang nama / nyahi juned
a/hesti wahu / wuragil nyahi juminah / # / raden karta wijaya
(5) / pan sanunggal hingkang putra / raden karta kusuma naminne /
Hitupun ratu hatma / kagungngan putra tiga / pemajeng
baskal punhiku / cirbon praya wiluna / # / hingkang rayi putra
hestri / karta diprana kang nama / putra nika ping tiga nne / hulu hu
lu hingkang pangkat / hanang darmayu kota / nurunnaken putra
(10) wahu / pemajeng karta hudara / # / pan demang lobener mangkin /
kang rayi pan mangundriya / demang bangngadhuwa mangko / muhada
pan tukang timbang / neji hayu jeni kuwu peman / karta huda
ra punnika / hupas bom hing kang pangkat / jarta hatmaja
wuragi / darmayu pan dipun herpah / (1813) / tuwan pris /

170. (1) hiku je (naskah sobek / rusak) sampun sedah / kang gementi kang
putra / raden marngali punhiku / peparab wirakusuma / # / da
di demang pangkat neki / 1813 / hanang sindhang kademangngan / distrik
pasekan naminne / bagus kalid hing kang rama / wira daksa
(5) na pan damang / hang lenggahi demangn wahu / hing lobenner kademang
Ngan / # / nyanyu mungsi lakin neki / mlana nirja dadi demang /
Hing palumbon duk dhing ngin ne / nyanyu mursi pan lakinya / hek subra
ta kang nama jumejeng pangkat wahu / dadi demang luwung malang / # / ruji
lotama laki neki / hulu hulu hingkang pangkat / hanjani
(10) lakine mangko wira jatmika hingkang nama / dadi mantru pangka
t tira / bagus yogya jenengngipun / peparat karta wilasa / # /
telas tuladha he dados / tammat / # / puhiki kang hingngang dha
p / turun turunipun / masing – masing pangkat / masing – masing dhusun /
/ # / sedaya turunnan nipun / dalem wira loddra / hasal / begelen /

171. (1) puhiki hasal lusul lipun / (naskah robek / rusak) m /
Darmayu sabrang kulon cimanuk /
/ # / lara sekar kang duwe tanah kedhu / begelen / nalaki pu
tra pejajaran / haran jaka kuwat / trus peputra wira seca / nami nga
behe wiraseca / peputra nami / kartawangsa / tumenggung metara
nemi / raden / lo wanah / peputra gangsal /
1. gagak pernala dadi tumenggung begelen /
(10) 2. gagak kumitir dadi tumenggung begelen /
3. gagak wira wijaya dadi tumenggung hing bagelen /
4. gagak prigadipura / dadi tumenggung hing ngayo gaya /
5. gagak kelana prawira / dadi tumenggung hing karang jati /
raden gagak pernada / kagungan / putra sekawan
(15) 1. raden wira patih /
2. raden wira seca /
3. raden kesuma /
4. raden singa loddraka /
raden singa loddraka / kagungan putra tiga

172. (1) 1. raden (naskah robek / rusak)
2. raden (naskah robek / rusak) tumbak bocor
3. raden nyihayu mangku yuda
raden wira seca kagungan putra gangsal
1. raden hayu wangsa negara / histri
2. raden hayu wangsa yuda / histri
3. raden krestal kakung lanang
4. raden tanujaya kakung
5. raden tanujaya kakung
sawuse raden krestal / wira loddra ngelantra ngolati
kali cimanuk / lan wis dadi negara darmayu / sampe kagungan
putra kawan /
1. raden sutamarta kakung
2. raden wira patih kakung
3. raden nyihayu hinten histri
4. raden driyan taka kakung
kang ganti dalem / putranne raden wira pati / jeneng dalem / wira
loddra / pangkat / kagungan / putra digalas
1. raden kakung kowi /
2. raden kakung timur /
3. raden kakung suwerdi /
4. raden kakung wirantaka /
5. raden kakung wira hatmaja /
6. raden histri nyihayu raksa diwangsa /
7. raden kakung suta merta /
8. raden kakung raya wangsa /
9. raden kakung wira laksana /

173. (1) 10. raden kakung hadi wang (naskah robek / rusak)
11. raden kakung wihastre (naskah robek / rusak)
12. raden kakang puspa taruna /
13. raden kakung putra naya /
(5) kang ganti pangkat dalem wira loddra / suwerdi / kagungan /
putra sekawan /
1. raden kakung benggala /
2. raden kakung benggali /
3. raden histri nyihayu singnga wijaya /
(10) 4. raden histri raksa winata /
Kang ganti pangkat dalem wira loddra / raden benggala kagung
ngan putra wolu
1. raden kakung lahut /
2. raden kakung ganjar /
(15) 3. raden histri nyihayu purwa dinata /
4. raden kakung soloya kartawijaya /
5. raden histri nyihayu nayastra /
6. raden histri nyihayu gembruk /
7. raden histri nyihayu toyubah /
(20) 8. raden hayu moka
kang ganti pangkat dalem wiraloddra / hadhinne benggalih kagung
an putra mung satunggal /
1. raden kakung semangun
kang ganti pangkat dalem wira loddra / putranne semangun / ka
(25) gungngan putra kawan /
1. raden kakung surya patih /
2. raden kakung surya brata /
3. raden kakung surya wijaya /

174. (1) 4. raden (naskah rusak / sobek)
kang ganti (naskah rusak / sobek) wira loddra raden kristal dadi
dalem pangkat wira loddra kagungan putra/ wolu
1. raden kakung marta liwirakusuma/
2. raden hestri nyihayu rangga wirahadibrata/
3. raden kakung mada kesuma/
4. raden kakung heka subrata/
5. raden kakung suradi sastra/
6. raden hestri nyihayu hanjani/
7. raden kakung kalid wira daksana/
8. raden kakung yogya kartawilasa/
9. raden kakung prawiradirja/

tutup/

Cirebon, 14 Maret 2010
Alihaksara
Muhamad Mukhtar Zaedin
Ketua Koordinator Pemanfaatan
Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon
HP: 081312 017567 – 081322 990419